NovelToon NovelToon
MENGEJAR CINTA CEO TUA

MENGEJAR CINTA CEO TUA

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Pengantin Pengganti / Nikah Kontrak / Beda Usia / Pelakor jahat
Popularitas:6.9k
Nilai: 5
Nama Author: akos

Kania, gadis yang hidupnya berubah seketika di hari pernikahannya.
Ayah dan ibu tirinya secara tiba-tiba membatalkan pernikahan yang telah lama direncanakan, menggantikan posisi Kania dengan adik tiri yang licik. Namun, penderitaan belum berhenti di situ. Herman, ayah kandungnya, terhasut oleh Leni—adik Elizabet, ibu tirinya—dan dengan tega mengusir Kania dari rumah.

Terlunta di jalanan, dihujani cobaan yang tak berkesudahan, Kania bertemu dengan seorang pria tua kaya raya yang dingin dan penuh luka karena pengkhianatan wanita di masa lalu.

Meski disakiti dan diperlakukan kejam, Kania tak menyerah. Dengan segala upaya, ia berjuang untuk mendapatkan hati pria itu—meski harus menanggung luka dan sakit hati berkali-kali.

Akankah Kania berhasil menembus dinding hati pria dingin itu? Atau akankah penderitaannya bertambah dalam?

Ikuti kisah penuh emosi, duka, dan romansa yang menguras air mata—hanya di Novel Toon.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6. PEREMPUAN SEKSI

Pengawal, koki, pelayan, bahkan tukang kebun berkumpul membentuk lingkaran di depan kamar Nyonya Marlin. Suara jeritan Kania menggema, menusuk hingga ke ujung lorong. Semua terdiam, tak berani mendekat, hanya bertanya-tanya, apa yang sedang dilakukan Nyonya Marlin pada gadis malang itu.

Dari belakang muncul bi Ana dengan langkah tergesa. Menerobos kerumunan tanpa mempedulikan pandangan yang terfokus padanya. Dengan cepat, Bi Ana membuka pintu kamar.

Dalam sekejap, semua mata terbelalak menyaksikan pemandangan yang menyesakkan dada.

Nyonya Marlin menjambak rambut Kania dengan kekuatan yang tak terduga. Tak heran jika jeritan Kania terdengar sampai ke luar. Tangisannya yang histeris menjadi saksi atas penderitaan yang diterimanya.

Bi Ana melangkah masuk, mencoba menghalau amarah nyonya Marlin. Yang lain hanya bisa terpaku di tempat, sebab aturan mansion tegas melarang mereka masuk ke kamar nyonya Marlin. Hanya Bi Ana yang diberi izin mengurus keadaan yang genting seperti ini apalagi menyangkut nyonya Marlin.

“Nyonya, tolong lepaskan Kania,” suara bi Ana penuh ketegasan namun tetap lembut. Tangannya mengusap tangan Nyonya Marlin yang menggenggam kuat rambut gadis itu.

Walau usianya sudah senja, kekuatan Nyonya Marlin masih terbilang luar biasa. Kania sampai-sampai kehabisan tenaga menahan guncangan dan tarikan nenek tua.

“Kasihan Kania, dia sudah sangat kesakitan,” Bi Ana terus saja membujuk dengan lembut, tapi tak kunjung berhasil. Nyonya Marlin semakin beringas, tak bisa ditenangkan.

Dengan cepat, bi Ana mengeluarkan ponselnya dan menghubungi tuanya.

Beberapa saat menunggu hingga terdengar suara di ujung ponsel.

“Tuan, nyonya mengamuk lagi. Beliau menyiksa pelayan dan tak mau melepaskannya.”

“Apa? Dekatkan ponsel itu padanya, biar Aku bicara,” jawab seorang pria dengan nada serius dari dalam ponsel.

Tanpa ragu, bi Ana menempelkan ponsel ke telinga Nyonya Marlin.

Perlahan tapi pasti genggaman tangan Nyonya Marlin melemah. Rambut Kania akhirnya terlepas. Bi Ana memberi kode agar Kania segera menjauh, menghindari serangan yang sewaktu-waktu bisa di lakukan nyonya Marlin padanya.

Tubuh Nyonya Marlin merosot lemah, pandangannya redup. Setelah tenaga habis terkuras, ia terkulai dan tertidur dengan tenang.

Bi Ana menyelimuti Nyonya Marlin dengan penuh kasih, memperbaiki posisi tidur perempuan tua itu.

“Apa kamu baik-baik saja?” tanya bi Ana pada Kania.

Kania mengangguk pelan. Ia terpaksa berbohong agar tetap bisa bekerja di mansion.

“Syukurlah. Selagi nyonya tidur, sebaiknya kamu kembali ke kamar mu. Saat jam makan siang, kamu boleh kembali ke sini."

Kania mengangguk dan keluar, melewati lorong panjang. Beberapa pelayan masih bercengkerama dan menunggu giliran istirahat. Biasanya, mereka memakai waktu itu untuk menelepon keluarga, sebab hanya mendapat satu hari libur setiap bulan untuk bertemu keluarga.

Kania tersenyum tipis, menunduk sopan ketika melintas di depan mereka. Namun langkahnya mendadak terhenti, sebuah kaki terjulur menghadang jalannya.

“Bruk...!”

Kania jatuh, mengundang tawa dari kerumunan pelayan.

Salah satu pelayan, perempuan bertubuh besar dan berkulit gelap, berdiri mendekat dengan wajah penuh ancaman. Ia menghardik Kania agar tak berani membalas.

Dari balik pintu kamar Nyonya Marlin, Bi Ana keluar dengan ekspresi marah. Ia memerintahkan mereka bubar dan kembali bekerja seperti biasa.

Kania kembali ke kamar, mengunci pintu, dan menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya menatap kosong ke langit-langit, membayangkan kembali luka dan penderitaan yang menjerat hidupnya.

“Tuhan… sampai kapan penderitaan ini akan berakhir?”

Air mata mengalir tanpa bisa dibendung, meski usianya masih muda, beban hidupnya terlalu berat untuk ditanggung sendirian.

Pukul dua belas siang, Kania kembali ke kamar Nyonya Marlin sesuai arahan Bi Ana. Makan siang untuk nyonya Marlin sudah terhidang di meja kecil di samping pembaringan, tapi nyonya Marlin masih tertidur pulas.

Kania duduk samping ranjang, hatinya teriris melihat kondisi perempuan tua yang sedang berbaring. Dengan lembut, ia mengusap rambut panjang yang sudah memutih. Sentuhan itu membawanya pada kenangan ibu tercinta yang juga punya rambut panjang dan lembut.

“Andai ibu masih hidup... mungkin hidup Kania tak akan seperti ini, terlunta tanpa arah, tanpa tujuan,” lirihnya dalam hati.

Tiba-tiba, ada pergerakan di tempat tidur. Nyonya Marlin membuka mata perlahan. Kania segera menarik diri, takut kemarahan yang sama akan kembali terjadi.

Perempuan tua itu duduk bersandar, napasnya masih berat namun tampak lebih tenang dari sebelumnya.

“Ambilkan aku makan,” suaranya berat, penuh tekanan.

Kania mengangguk cepat. Ia mengambil nampan berisi roti dan menyodorkannya dengan hati-hati. Matanya terus mengawasi setiap gerakan Nyonya Marlin hingga perempuan tua itu menghabiskan makanannya.

Setelah itu, Kania menggantikan piring dengan gelas susu, diambil dan diminum setengahnya oleh nyonya Marlin.

Senyuman tipis terukir di bibir perempuan itu. Mungkin itu tanda terima kasih yang sederhana.

Nyonya Marlin memijit kakinya yang keram dan tak bisa digerakkan. Kania duduk di lantai dan menawarkan diri membantu dengan pijatan lembut, seperti yang dulu ia lakukan pada ibu.

Dengan penuh kesabaran, ia memijat dari lutut, betis, hingga ujung jari kaki. Sesekali terdengar jeritan kecil yang keluar dari mulut perempuan tua itu.

“Ibumu masih ada?” suara itu terdengar lembut kali ini.

Kania menggeleng pelan, lalu mulai bercerita tentang tragedi yang merenggut nyawa ibunya. Kecelakaan maut di perjalanan bisnis yang meninggalkan wajah ibunya hancur tak berbentuk, hanya pakaian yang jadi petunjuk.

“Tragis,” ucap Nyonya Marlin dengan mata berkaca-kaca.

“Peristiwa yang kami alami juga serupa. Aku menemani suamiku dalam perjalanan bisnis, tapi rem mobil blong. Aku terlempar keluar, sementara suamiku tak terselamatkan.”

Keduanya terdiam, berbagi kesedihan yang sama dalam keheningan.

Kania berdiri, menyentuh pundak perempuan tua itu, menghapus air mata yang mulai jatuh.

Dari luar kamar, terdengar pertengkaran hebat antara dua orang perempuan, yang satu bi Ana dan satunya lagi entah siapa

Bi Ana mencoba menghalau perempuan itu masuk ke kamar nyonya Marlin tapi perempuan itu dengan angkuh mengindahkan bahkan terang-terangan menghina BI Ana.

“Kamu cuma pelayan, apa hakmu melarang aku masuk?”

Pintu terbuka, muncul bi Ana bersama perempuan seksi.

Bi Ana mengikutinya, mencoba menjelaskan pada nyonya Marlin.

Nyonya Marlin mengerti lalu mengangkat tangan, memberi isyarat pada Bi Ana untuk pergi.

“Dari mana saja kamu selama ini?” tanya Nyonya Marlin tanpa menatap perempuan itu.

“Maaf, Arin baru sempat menjenguk Ibu. Akhir-akhir ini Arin sibuk dengan bisnis. Tapi mulai sekarang, Arin janji akan lebih sering menemani Ibu,” jawab perempuan itu lembut, lalu menggeser posisi Kania dan mengelus pundak Nyonya Marlin.

Seperti biasanya, Nyonya Marlin tetap diam. Ia bahkan menyuruh Kania melanjutkan pijatan.

Arin menatap Kania dengan tatapan aneh, baru kali ini ia melihat nyonya Marlin ramah pada pelayan selain Bi Ana.

1
Trivenalaila
suka jln ceritanya, klu bisa dilanjutkan yaaa🙏🙏
Akos: akan lanjut terus KK sabar ya
total 1 replies
Ahn Mo Ne
apakah ini lagi hiatus.??
Akos: setiap hari update kk,
total 1 replies
Muna Junaidi
Hadir thor
Ayu Sasih
next ditunggu kelanjutannya kak ❤️❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!