Di tengah hiruk pikuk kota modern Silverhaven, Jay Valerius menjalani hidupnya sebagai seorang menantu yang dipandang sebelah mata. Bagi keluarga Tremaine, ia adalah suami tak berguna bagi putri mereka Elara. Seorang pria tanpa pekerjaan dan ambisi yang nasibnya hanya menumpang hidup.
Namun, di balik penampilannya yang biasa, Jay menyimpan rahasia warisan keluarganya yang telah berusia ribuan tahun: Cincin Valerius. Artefak misterius ini bukanlah benda sihir, melainkan sebuah arsip kuno yang memberinya akses instan ke seluruh pengetahuan dan keahlian para leluhurnya mulai dari tabib jenius, ahli strategi perang, hingga pakar keuangan ulung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Tanda Batu Segitiga
Mobil itu berhenti di ujung jalan aspal terakhir. Di hadapan mereka, menjulanglah Gunung Hantu. Namanya bukan sekadar julukan. Hutan di lerengnya begitu lebat hingga tampak gelap bahkan di tengah hari, dan kabut tipis sering kali menggantung di puncaknya, memberinya aura yang angker dan misterius. Para pengemudi truk lebih memilih memutar dua jam lebih lama daripada melewati jalur utama yang sempit dan berbahaya di kakinya.
"Aku sudah melewati jalan ini ratusan kali seumur hidupku, Jay," kata Bastian, matanya menyapu dinding pepohonan yang seolah tak bisa ditembus. "Tidak ada jalan lain selain jalur utama itu." Keraguan dalam suaranya terdengar jelas. Membeli truk tua adalah satu hal, menemukan jalan ajaib adalah hal lain.
"Kita harus jalan kaki dari sini," kata Jay, membuka pintu mobil.
Mereka turun. Udara terasa lebih dingin dan lembap. Selama hampir satu jam, mereka menyusuri pinggiran hutan. Bastian dan Elara mencari celah, sebuah pembukaan yang menandakan adanya jalan. Tapi yang mereka temukan hanyalah semak belukar yang rapat dan akar-akar pohon yang melintang.
Harapan Bastian mulai memudar. "Mungkin ingatanmu salah, Jay. Mungkin jalurnya sudah lama tertutup longsor."
Elara juga mulai cemas. Ia percaya pada suaminya, tapi kenyataan di depan mata mereka adalah hutan belantara yang liar.
Hanya Jay yang tetap tenang. Ia tidak mencari jalan. Matanya memindai lingkungan sekitar dengan fokus yang berbeda, seolah sedang mencari sebuah penanda, sebuah kunci. Tiba-tiba, ia berhenti. Tatapannya terkunci pada sesuatu yang tersembunyi di balik rimbunnya tanaman pakis.
"Di sini," katanya.
Bastian dan Elara mendekat. Mereka tidak melihat apa-apa. "Di mana? Ini hanya semak-semak," kata Bastian, sedikit frustrasi.
Jay tidak menjawab. Ia melangkah maju, menyingkap tirai sulur-suluran yang tebal. Di baliknya, tersembunyi oleh waktu dan lumut, berdiri tiga bongkahan batu besar yang membentuk formasi segitiga yang nyaris sempurna. Itu adalah sebuah penanda, terlalu simetris untuk menjadi formasi alami.
"Lewat sini," kata Jay, melangkah melewati bebatuan itu.
Di belakang batu-batu itu, tampak sebuah dinding vegetasi yang lebih rapat. Kelihatannya seperti jalan buntu. Bastian hendak memprotes lagi, tapi Jay sudah lebih dulu merobek beberapa tanaman rambat yang menjuntai.
Dan di sanalah jalan itu.
Awalnya, jalan itu nyaris tak terlihat. Hanya dua lekukan samar di tanah yang dipenuhi daun-daun kering. Namun setelah mereka masuk lebih dalam sekitar dua puluh meter, menerobos semak-semak terakhir, pemandangan berubah drastis.
Mereka berdiri di sebuah jalur yang lebar dan kokoh. Permukaannya terbuat dari tanah padat dan kerikil yang dipadatkan, cukup lebar untuk dilewati dua truk sekaligus. Jalur itu menanjak dengan kemiringan yang sangat landai, berkelok-kelok membelah hutan dengan cerdas. Pohon-pohon raksasa membentuk kanopi di atasnya, melindunginya dari cuaca dan menyembunyikannya dari pandangan dari udara. Ini adalah sebuah mahakarya rekayasa sipil yang tersembunyi.
Bastian ternganga. Ia menghentakkan kakinya ke permukaan jalan. Keras seperti beton. "Luar biasa..." bisiknya. "Fondasi jalannya masih sangat kuat. Kemiringannya tidak lebih dari lima belas derajat. Truk-truk itu bisa naik ke sini dengan mudah."
Ia menatap Jay, kali ini tatapannya bukan lagi sekadar hormat, melainkan kekaguman yang nyaris menjadi rasa takut. "Bagaimana... bagaimana mungkin tidak ada seorang pun di Silverhaven yang tahu tentang jalan ini?"
"Jalan ini dibuat oleh orang-orang yang tidak suka diperhatikan," jawab Jay misterius. "Peta-peta lama kadang lebih bisa diandalkan daripada GPS."
Ia berjalan lebih jauh ke dalam, diikuti oleh Elara dan ayahnya yang masih terpana. Setiap langkah semakin membuktikan bahwa jalan itu nyata dan bisa dilalui. Rencana gila mereka ternyata bukanlah sebuah pertaruhan, melainkan sebuah kepastian.
Setelah berjalan hampir satu kilometer untuk memastikan kondisi jalan, Bastian berhenti. Wajahnya yang tadinya dipenuhi keraguan kini memerah karena semangat dan adrenalin. Ia telah menemukan urat emas yang tersembunyi tepat di bawah hidungnya selama puluhan tahun.
Ia berbalik, menatap Jay dengan pandangan yang benar-benar baru. Ia tidak lagi melihat menantunya yang pendiam. Ia melihat seorang ahli strategi jenius.
Bastian mengeluarkan ponselnya. "Cukup. Aku sudah lihat semua yang perlu kulihat."
Ia menatap Elara dan Jay, matanya menyala dengan api ambisi yang baru. "Ayo kembali ke kota. Kita punya proposal tender untuk dimenangkan."
Ia melirik jam tangannya. "Batas waktu pengajuannya besok siang jam dua belas. Kita tidak punya banyak waktu."
Mereka bergegas kembali ke mobil, meninggalkan jalur penebang kayu yang sunyi itu dalam kerahasiaannya.