Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dipecat
"Mama! Apa yang Mama lakukan?" Satria langsung berlutut di samping Mulia, membantu wanita itu untuk bangun. "Mulia tidak bersalah! Mama tidak boleh menamparnya!"
"Dia yang bersalah! Dia wanita licik yang ingin menghancurkan kita!" teriak Soraya. "Dia tidak hanya mengincar suaminya Hanim, dia juga mengincar perusahaan ini, Satria! Dia memanfaatkanmu agar dia bisa mendapatkan posisi yang lebih tinggi!"
"Itu tidak benar, Ma! Mulia hanya korban di sini. Pak Wibowo yang menggoda Mulia, dan istrinya, Bu Hanim, yang memfitnah Mulia."
"Mana mungkin aku percaya kamu, Satria?" suara Soraya bergetar. "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Kamu dan wanita ini sangat dekat. Kamu sudah diperdaya olehnya!"
"Ma, Mulia tidak melakukan apa pun. Dia hanya menceritakan apa yang terjadi, dan saya berusaha menenangkannya," jawab Satria, suaranya naik. "Mulia, katakan pada Mama apa yang terjadi! Jelaskan semuanya!"
Mulia menggeleng, air matanya tak terbendung. Ia tidak sanggup. Ia sudah lelah dengan semua tuduhan dan fitnah ini. Ia merasa tidak ada gunanya lagi menjelaskan.
"Tidak ada yang perlu dijelaskan, Satria," ucap Soraya, matanya yang tajam menatap Mulia. "Aku minta kamu, Mulia Anggraeni, untuk mengundurkan diri dari perusahaan ini. Sekarang juga."
Mulia terkejut. Ia tidak pernah membayangkan akan kehilangan pekerjaannya dengan cara seperti ini. Semua kerja kerasnya, semua impiannya, hancur dalam sekejap.
"Ma, Mama tidak bisa melakukan ini!" Satria berdiri, wajahnya merah. "Mama tidak bisa memecat Mulia tanpa alasan! Mama tidak punya bukti!"
"Aku punya bukti! Aku punya bukti bahwa dia adalah wanita murahan yang menghancurkan rumah tangga orang! Dan aku juga punya bukti bahwa dia meracuni pikiranmu!" balas Soraya. "Aku sudah mengamatinya sejak lama, Satria. Sejak kamu mulai mendekatinya, aku sudah tahu kalau wanita ini punya niat tersembunyi. Pergi, Mulia!"
Mulia berdiri, tubuhnya gemetar. Ia tidak bisa lagi menahan air matanya. Ia menatap Satria yang menatapnya dengan pandangan penuh penyesalan.
"Ma, ini tidak benar!" Satria berseru. "Mama akan menyesali ini!"
Soraya menatap Satria dengan mata penuh ancaman. "Aku tidak akan menyesali apa pun. Aku hanya melakukan apa yang terbaik untuk keluarga kita. Dan yang terbaik untuk keluarga kita adalah menyingkirkan wanita ini."
Mulia tidak bisa berkata-kata lagi. Ia berbalik dan berjalan ke arah pintu. Sebelum keluar, ia menoleh ke arah Satria, matanya dipenuhi rasa sakit. Ia tahu, setelah ini, semuanya tidak akan pernah sama lagi.
****
Mulia Anggraeni kembali ke mejanya dengan langkah gontai. Air mata yang sudah mengering di pipinya meninggalkan jejak perih. Ruangan kerja yang tadinya terasa seperti rumah kedua, kini berubah menjadi medan pertempuran. Tatapan-tatapan sinis dan bisik-bisik julid mengiringi setiap langkahnya.
"Dasar wanita murahan," bisik salah satu karyawan. "Mengincar bos dan wakil bos."
Mulia menunduk, pura-pura tidak mendengar. Ia ingin sekali berteriak, menjelaskan semua, tapi ia tahu itu tidak akan ada gunanya. Di mata mereka, ia sudah menjadi penjahat.
Ia meraih kotak kardus yang ada di bawah mejanya. Perlahan, ia memasukkan barang-barangnya satu per satu. Foto dirinya bersama teman-teman di Bali, cangkir kopi favoritnya, dan beberapa buku motivasi yang dulu ia baca untuk membakar semangatnya. Setiap barang yang ia masukkan ke dalam kotak, terasa seperti impian yang lenyap.
Ketika Mulia sedang memasukkan sebuah buku, sebuah suara melengking menusuk telinganya. "Lihat siapa yang sudah dipecat! Wanita penggoda!"
Mulia mendongak. Di sana, berdiri Ratih, rekan kerjanya yang memang tidak pernah menyukainya. Senyum Ratih terlihat puas, seolah ia baru saja memenangkan lotre.
"Sudah berapa banyak uang yang kamu dapat dari Pak Wibowo dan Pak Satria?" sindir Ratih, suaranya lantang. "Atau kamu berharap bisa menjadi nyonya di perusahaan ini? Hah? Mimpi!"
Beberapa karyawan di sekitar mereka tertawa. Tawa itu bagai belati yang menusuk-nusuk hati Mulia. Mulia mengepalkan tangannya. Ia ingin melawan, tapi ia tahu itu hanya akan memperburuk keadaan.
"Diam, Ratih!" suara Riana terdengar. Riana, satu-satunya teman yang Mulia punya di kantor ini, maju selangkah. "Jangan bicara sembarangan!"
"Kenapa? Aku bicara yang sebenarnya, kok," kata Ratih, menantang. "Kita semua sudah tahu. Dia wanita perusak rumah tangga orang!"
"Dia tidak merusak siapa-siapa!" Riana membela. "Kamu tidak tahu apa yang terjadi!"
"Memang kenapa kalau dia tahu? Dia pantas mendapatkan ini!" ucap Ratih. "Semua orang sudah tahu kalau dia menggoda Pak Wibowo dan mencoba mencuri Pak Satria dari Mama nya."
Ratih menatap Mulia dengan mata penuh kebencian. "Kamu itu sudah ditakdirkan untuk menjadi orang rendahan, Mulia. Tidak ada orang baik-baik yang akan mau mendekati orang sepertimu!"
Air mata Mulia kembali menetes. Ia merasa begitu hancur. Bukan hanya karena kehilangan pekerjaannya, tapi karena ia kehilangan martabatnya. Ia tidak lagi dianggap sebagai Mulia Anggraeni, wanita yang bekerja keras, tetapi sebagai 'wanita penggoda', 'perusak rumah tangga orang', 'wanita murahan'.
Mulia tidak tahan lagi. Ia memandang Ratih dengan mata berkaca-kaca. "Cukup, Ratih. Kamu tidak tahu apa-apa!"
"Aku tahu semuanya!" teriak Ratih. "Aku tahu kamu iri padaku. Kamu selalu ingin menjadi pusat perhatian. Tapi lihat sekarang, kamu menjadi pusat perhatian karena hal yang salah!"
Mulia menutup kotak kardusnya. Tangannya gemetar. "Aku tidak peduli apa yang kamu pikirkan. Aku tidak peduli apa yang kalian semua pikirkan. Aku tidak bersalah."
Mulia mengangkat kotak kardusnya. Ia menatap Riana, memberikan senyum sedih. "Terima kasih, Riana. Tapi aku harus pergi."
Mulia berbalik dan berjalan menuju lift. Langkahnya berat. Ia bisa merasakan semua mata tertuju padanya. Ia bisa mendengar bisik-bisik dan tawa-tawa yang mengejek. Ia tahu, setelah ia keluar dari gedung ini, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Impiannya untuk sukses, untuk membahagiakan orang tuanya, seakan sirna. Ia merasa seperti pecundang, yang kalah dalam pertempuran. Tapi, di dalam hatinya, ia tahu satu hal. Ia tidak akan menyerah. Ia akan bangkit, ia akan membuktikan pada semua orang bahwa mereka salah.
****
Gerimis mulai membasahi jalanan saat Mulia Anggraeni tiba di depan rumahnya. Langkahnya terasa berat, kakinya seolah menolak untuk melangkah lebih jauh. Ia menatap pagar rumahnya yang sederhana. Di balik pagar itu, ada kehangatan yang ia rindukan, tetapi juga ketakutan yang ia bawa. Mulia memasukkan kunci ke lubang gembok, memutar, dan membuka pintu.
"Assalamualaikum," ucapnya pelan.
"Waalaikumsalam," suara lembut ibunya, Dewi, menyambutnya.
Mulia tersenyum, senyum yang dipaksakan. Ia melangkah masuk, melepas sepatu dan meletakkannya di rak. Aroma tumis kangkung dan ikan goreng memenuhi udara, aroma yang selalu mengingatkannya pada rumah dan kebahagiaan.
"Tumben sudah pulang sore-sore begini, Nak?" tanya Dewi. Ia melangkah keluar dari dapur, memeluk Mulia erat. "Wajahmu pucat. Kamu sakit?"
Mulia menggeleng, ia tidak bisa menatap mata ibunya. Ia takut, ibunya akan melihat kebohongan di sana. "Tidak, Bu. Cuma sedikit lelah. Hari ini pekerjaannya banyak sekali."
"Kalau begitu, istirahatlah dulu. Ibu sudah siapkan makan malam. Nanti setelah kamu mandi, kita makan bersama," kata Dewi, suaranya dipenuhi kasih sayang.
Mulia mengangguk. Ia berjalan menuju kamarnya. Dewi menatap punggung Mulia dengan cemas. Ia tahu, ada yang disembunyikan putrinya.