NovelToon NovelToon
Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Romansa / Persaingan Mafia
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.

Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.

Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.

Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.

Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.

Kunci aku dalam labirin.

Kurung aku di dalam sangkar.

Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!

Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.

Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.

- Damien Ace -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27 Sangat Membingungkan

“Tidak … ini tidak benar.”

“Ada apa?” Rayyan segera masuk, diikuti Noah di belakangnya.

Edgar tampak kebingungan memeriksa isi kamar itu. Tapi memang—tidak ada apa-apa.

Kamar Damien benar-benar bersih, seolah tak pernah ada satu pun barang di sana. Dindingnya kosong, lemari terbuka tanpa isi.

“Kenapa tidak ada apa-apa?” Noah bertanya, keningnya berkerut dalam.

Edgar menggeleng. “Saya juga tidak tahu, Pak.”

Suara kecil Daisy memecah keheningan. “Di mana barang-barang Damien? Bukankah Ibu tidak membawanya pulang?”

Nada suaranya terdengar cemas, seolah takut bila seseorang telah mencuri semua milik kakaknya.

“Pak.” Edgar menjelaskan tergesa, “Terakhir kali saya ke sini untuk mengemas barang Nyonya, semua barang milik Damien masih tersimpan rapi. Tidak ada yang berubah, bahkan susunannya masih sama persis seperti di rumah. Saya sangat yakin itu.”

“Apa mungkin pencuri?” tanya Noah, menatap mereka bergantian.

Rayyan menggeleng pelan, suaranya tegas. “Tidak. Pencuri tidak akan repot-repot mengambil barang-barang pribadi dan meninggalkan barang mewah. Kalau mereka mau, seluruh perabotan dan alat elektronik di rumah ini sudah lenyap. Tapi lihat—semuanya masih utuh, kecuali barang-barang Damien. Ini bukan pencurian.”

Ia melangkah ke jendela, meneliti bingkainya dengan seksama. “Tidak ada bekas congkelan. Pintu belakang juga utuh. Artinya, orang yang mengambil barang Damien punya akses masuk ke rumah ini.”

Edgar mengangguk cepat. “Anda benar, Pak. Bahkan pakaian Damien pun tidak tersisa satu pun. Kalau pun Nyonya datang mengambilnya, kami pasti tahu, karena beliau tidak mungkin ke sini seorang diri.”

Rayyan menatapnya tajam. “Pintu rumah ini memakai sidik jari dan kata sandi. Selain aku, kau, Alex, dan Eve—siapa lagi yang tahu kombinasi itu?”

“Elly,” jawab Edgar setelah berpikir sejenak. “Pelayan yang dikirim oleh Tuan. Tapi setelah Nyonya pulang ke kota, dia juga ikut pulang. Selain saya, tidak ada siapa pun yang datang kemari setelah itu.”

Nada suaranya mantap, tapi kegelisahan jelas terlihat di wajahnya.

“Coba hubungi Eve,” saran Noah. “Mungkin saja dia menyuruh seseorang memindahkan barang-barang Damien ke tempat lain.”

Rayyan menghela napas berat. “Sekarang sudah lewat tengah malam. Kalau yang mengangkat Alex, kau tahu apa yang akan terjadi. Bukannya dapat jawaban, kita malah memicu curiga.”

Mereka saling berpandangan. Rumah itu terasa lebih sunyi dari sebelumnya, seolah menelan suara mereka bulat-bulat.

Akhirnya Rayyan berkata lirih, “Kita tunggu sampai besok pagi. Apa pun yang terjadi di sini, sepertinya bukan sekadar soal barang yang hilang.”

Daisy akhirnya kembali tidur dengan wajah kecewa. Padahal ia sungguh berharap bisa menemukan barang-barang milik Damien—terutama laptop kesayangan kakaknya.

Di dalamnya, Damien menyimpan banyak foto dan video masa kecil mereka, kenangan yang tak ternilai baginya.

Keesokan paginya, Rayyan segera menghubungi Eve. Ia sudah menyiapkan alasan jika yang mengangkat telepon nanti adalah Alex.

Saat itu Eve baru saja keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri. Rambutnya masih basah, dan dari balik pintu, terdengar suara air yang menandakan Alex masih di dalam.

Ia buru-buru menjawab panggilan itu sambil melangkah menjauh dari kamar.

“Ya, Ray?” suaranya pelan dan tergesa. “Ada apa?”

“Nyonya, saya ingin memastikan satu hal. Apakah Anda mengirim seseorang untuk mengambil semua barang milik Damien?”

“Tidak,” jawab Eve cepat, alisnya berkerut. “Kenapa? Ada apa?”

“Semua barang Damien hilang, Nyonya. Tidak ada satu pun yang tersisa—bahkan koleksi robot-robot kecilnya pun lenyap.”

Eve terpaku di tempat. “Bagaimana bisa? Apa seorang pencuri masuk?”

“Tidak, Nyonya. Ini bukan pencurian. Barang-barang lain tidak disentuh sama sekali—semua elektronik, perabot, semuanya aman. Pintu dan jendela juga tidak rusak. Kamar Damien saja yang kosong.”

Wajah Eve seketika pucat.

Tangannya menggenggam ponsel lebih erat. Siapa yang mungkin melakukan ini?

Bagaimana mungkin seseorang hanya mengambil milik Damien—dan memiliki akses masuk ke rumah itu?

“Ray, kau sudah periksa CCTV?” tanyanya cepat. “Aku tidak pernah menyuruh siapa pun menyentuh barang Damien. Aku hanya memerintahkan Edgar membawa barang-barangku sendiri.”

“Setelah Anda kembali ke kota, Edgar menonaktifkan CCTV, sesuai perintah. Dan waktu itu, semua barang Damien masih utuh.”

“Siapa?” Suara dalam dan tegas Alex terdengar di belakangnya. Eve sontak tersentak, lalu dengan cepat menutup sambungan telepon.

“Ah, itu Rayyan,” katanya tergagap. “Dia hanya bertanya apakah boleh mengajak Daisy pergi. Aku bilang Daisy menginap di rumah Noah sejak kemarin.”

Alex berjalan mendekat sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Kalau begitu aku akan menjemputnya. Akhir pekan lebih baik dihabiskan bersama keluarga.”

“Ah, tunggu!” Eve spontan menarik lengannya.

Alex berhenti dan menatapnya penuh tanda tanya. Eve tampak gelisah, seolah berpikir keras mencari alasan.

“Apa?” tanyanya curiga.

“Itu … sebaiknya kita tidak perlu menjemput Daisy dulu,” kata Eve pelan, lalu menelan ludah. “Maksudku … selagi Daisy tidak di rumah, mungkin kita bisa … eee ….”

Alex menaikkan satu alis. “A–e–a–e? Apa maksudmu, Eve?”

Eve memutar bola matanya, wajahnya memerah. “Alex! Jangan menatapku seperti itu! Haruskah aku menjelaskan semuanya dengan gamblang? Aku hanya … ingin waktu berdua denganmu. Kau tahu, aku sudah menunggumu bangun sangat lama, dan kau baru membayarnya satu malam saja. Tentu aku ingin lebih dari itu.”

Sudut bibir Alex terangkat licik, senyum khas yang dulu selalu membuat Eve kehilangan pertahanan. Ia hampir mengangkat tubuh Eve ke pelukannya sebelum wanita itu menahannya dengan telapak tangan di dadanya.

“Ah, tunggu! Kau sudah menghabisiku tadi malam. Aku lapar, dan jujur saja, aku tidak punya tenaga lagi,” ujarnya sambil tersenyum lemah. “Kau ganti bajumu dulu, sebelum semua orang di rumah ini keburu melihatmu seperti itu. Aku akan ke bawah, menyiapkan sarapan untuk kita.”

Alex tertawa kecil. “Kalau begitu, aku tidak sabar menunggu.”

Eve menghela napas lega melihat punggung Alex menjauh ke kamar mandi, meski hatinya masih gelisah memikirkan satu hal—barang Damien yang hilang tanpa jejak. Sesuatu tentang itu terasa salah.

Sebaiknya mereka segera membawa Daisy pulang sebelum semuanya terlambat. Jika tidak, Eve tak yakin bisa terus menahan Alex — bahkan dengan tubuhnya sendiri.

Bagaimana bisa ia menahan “serangan” Alex terus-menerus? Kalau begini terus, mungkin nanti dia benar-benar harus merangkak keluar kamar.

Begitu Alex kembali ke kamarnya, Eve segera berlari menuruni tangga, mencari Elly. Ia melambai pelan, mengajaknya ke halaman belakang agar tak ada yang mendengar.

“Elly, kemarilah sebentar.”

Pelayan itu segera menghampiri, wajahnya tampak khawatir melihat ekspresi sang nyonya yang tegang.

“Ada apa, Nyonya?”

Eve menarik napas panjang sebelum bertanya dengan nada serius, “Aku ingin menanyakan sesuatu. Selain aku … dan aku sendiri,” ucapnya gugup, menyadari lidahnya terpeleset, “Siapa yang mengetahui kata sandi rumah di Regalsen?”

Elly tampak berpikir sejenak. “Hmm … tidak ada, Nyonya. Oh—mungkin Edgar? Dia yang kembali membawa barang-barang Anda ke kota, bukan?”

“Ya, aku tahu. Tapi selain Edgar, Alex, dan Rayyan, siapa lagi?” Nada suaranya menajam. “Aku sedang bertanya tentang orang lain.”

Elly menggeleng cepat. “Tidak ada, Nyonya. Apa ada sesuatu yang terjadi?”

“Ya.” Eve menatapnya lekat-lekat. “Seseorang sudah mengambil semua barang milik Damien. Semuanya, Elly. Tidak satu pun tersisa. Tapi anehnya, orang itu tidak menyentuh barang elektronik atau perabotan di rumah—hanya barang-barang Damien saja. Bahkan semua bajunya.”

Elly menatap Eve dengan mata membesar. “Bagaimana bisa? Siapa yang akan melakukan itu kalau bukan dari keluarga ini?”

“Itulah sebabnya aku bertanya padamu.”

Elly terdiam sejenak, lalu wajahnya berubah seperti baru mengingat sesuatu. “Ah! Ya, saya hampir lupa, Nyonya. Malam itu, saat Anda belum sadar di rumah sakit, saya sempat meminta tolong pada sopir yang membawa kita ke sana. Saya memberitahunya kata sandi rumah supaya dia bisa mengambil tas saya yang tertinggal.”

Eve membeku sejenak. Sopir itu …?

Dia juga baru menyadari—selama ini dia bahkan tidak pernah memperhatikan siapa sebenarnya sopir itu. Semuanya terjadi begitu cepat malam itu.

“Kau tahu siapa sopir itu, Elly?” tanyanya perlahan.

Elly menunduk, menyesal. “Tidak, Nyonya. Tapi … Anda juga mendengar sendiri, bukan, waktu itu sopir itu bilang kalau Tuan Alex yang mengirimnya.”

Eve terdiam. Kata-kata itu menggema di kepalanya.

Ya, dia memang mendengar pria itu berkata demikian. Tuan Alex yang mengirim saya, Nyonya.

Tapi bagaimana mungkin?

Malam itu Alex juga mengalami kecelakaan, bahkan koma berhari-hari. Selama itu, Eve selalu berada di sisinya. Dia tidak pernah melihat Alex membuka mata, apalagi sempat mengoperasikan ponselnya untuk menyuruh seseorang mengambil barang-barang Damien.

Lagipula, Alex bahkan tidak mengingat Damien sama sekali, bukan?

Eve menekan pelipisnya, frustasi. “Ini … tidak masuk akal.”

Semakin dia berpikir, semakin kepalanya terasa berat. Semua petunjuk seperti membentuk lingkaran aneh yang kembali ke satu nama — Alex. Tapi bagaimana mungkin bisa dia?

“Elly, apa kau pernah melihat sopir itu di sekitar sini? Atau mungkin dia pernah menemui Alex di rumah ini?”

“Selama saya bekerja untuk Tuan, saya sama sekali tidak pernah melihat wajah sopir itu. tapi karena Tuan yang mengirimnya, jadi saya meminta bantuan dia mengambil tas saya. Nyonya, saya minta maaf jika apa yang saya lakukan sudah membuat kekacauan. Saya benar-benar tidak tahu jika ini akan terjadi.”

Elly merasa bersalah, dia menekuk punggungnya beberapa kali di depan Eve.

“Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi, Elly. Kau tidak perlu meminta maaf. Lagipula, itu juga belum membuktikan kalau sopir itu yang melakukannya. Untuk apa dia mengambil barang Damien? Jika dia melakukannya, pasti dia juga sudah mengembalikannya kemari.”

Hanya saja, siapa pria itu? Bagaimana Alex mengirimnya di saat yang tepat? Apalagi saat dia keluar, sopir itu sudah menunggu dia di sisi mobil seolah tahu dia akan membutuhkannya.

Mungkin Elly memang tidak mengetahuinya, tapi Rayyan pasti mengenal orang itu. Bahkan jika Edgar sudah menonaktifkan CCTV di sana saat dia pulang ke kota, wajah sopir itu sudah terekam.

Ya, dia harus mengatakan ini pada Edgar saat mereka kembali nanti untuk mencaritahu mengenai sopir yang tiba-tiba muncul seolah turun dari langit malam itu.

***

1
Dheta Berna Dheta Dheta
😭😭😭😭
Idatul_munar
Gimana ayah nya tu..
Arbaati
hadir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!