"Aku akan menceraikan mu!".
DUAR!!!!!
Seakan mengikuti hati Tiara, petir pun ikut mewakili keterkejutannya. Matanya terbelalak dan jantungnya berdebar kencang. Badu saja ia kehilangan putranya. Kini Denis malah menceraikannya. Siapa yang tak akan sedih dan putus asa mendapat penderitaan yang bertubi-tubi.
" Mas, aku tidak mau. Jangan ceraikan aku." isaknya.
Denis tak bergeming saat Tiara bersimpuh di kakinya. Air mata Tiara terus menetes hingga membasahi kaki Denis. Namun sedikitpun Denis tak merasakan iba pada istri yang telah bersamanya selama enam tahun itu.
"Tak ada lagi yang harus dipertahankan. Aju benar-benar sudah muak denganmu!'"
Batin Tiara berdenyut mendengar ucapan yang keluar dari mulut Denis. Ia tak menyangka suaminya akan mengatakan seperti itu. Terlebih lagi,ia sudah menyerahkan segalanya hingga sampai dititik ini.
"Apa yang kau katakan Mas? Kau lupa dengan perjuanganku salama ini?" rintih Tiara dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku tidak melupakannya Tiara,...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Galang menatap Tiara lama, seolah ingin memastikan bahwa kata-katanya benar-benar sampai ke hati wanita itu. Tatapan itu dalam, lembut, namun menyimpan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan campuran antara iba, kagum, dan sesuatu yang lebih dalam dari itu.
Tiara buru-buru menunduk, jari-jarinya menggenggam ujung selimut kecil yang menutupi kaki Reihan. Pipinya terasa panas tanpa alasan.
"Anda benar, Tuan. Aku hanya seorang pengasuh. Tapi seharusnya Anda tak berkata begitu.” ucapnya pelan, mencoba menjaga jarak yang selama ini ia pegang erat.
Galang tersenyum tipis, tapi senyum itu bukan ejekan. Lebih seperti kepahitan yang sudah lama ia sembunyikan.
"Dan aku hanya seorang pria yang sedang berusaha memahami seseorang yang berlindung di bawah atapku." katanya lirih.
Tiara mengangkat pandangannya perlahan, menatap Galang dengan mata yang mulai berair. Namun ia buru-buru mengalihkan tatapan, pura-pura sibuk menenangkan Reihan yang mulai menggeliat di pangkuannya.
"Kalau begitu, jangan berusaha memahami aku, Tuan. Aku sudah baik-baik saja." ucapnya, berusaha terdengar tegar, walau suaranya bergetar.
Galang hanya menatapnya, tidak menjawab. Hening kembali menguasai taman itu, tapi bukan hening yang canggung lebih seperti ruang yang penuh dengan perasaan tak terucap. Setelah beberapa saat, Galang berdiri.
"Kalau begitu, aku permisi. Kau bisa menikmati waktu mu." ucap Galang.
"Baik, Tuan." sahut Tiara tanpa menatapnya.
Galang melangkah pergi perlahan, menyusuri jalan setapak taman yang dipenuhi bunga mawar yang baru mekar. Namun setiap langkah terasa berat. Ia menoleh menatap Tiara yang masih duduk ditempatnya sambil membelai pipi Reihan dengan lembut.
Entah kenapa ia mengatakan apa yang tidak seharusnya ia katakan. Galang menghela nafas berat lalu kembali berjalan, namun dati kejauhan Raisa menatap mereka. Raisa sadar jika Galang menyembunyikan perasaannya demi mendiang putrinya.
"Reina pasti akan sedih Galang, melihatmu terus menerus seperti ini." gumamnya.
***
Malam itu, Tiara duduk di dekat jendela. Belakangan hujan turun begitu sering. Seolah mengikuti perasaannya yang belakangan ini terasa berat dan tak menentu. Suara rintik hujan menabrak kaca jendela, menciptakan irama lembut yang justru membuat dadanya makin sesak.
Tiara menatap keluar, ke taman yang kini gelap dan basah oleh hujan. Tempat yang tadi sore terasa hangat dan menenangkan, kini tampak sunyi, dingin seperti hatinya sendiri.
Ia menghela napas panjang. Setiap kali ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja, justru semakin terasa bahwa ada sesuatu yang berubah. Perkataan Galang tadi siang masih terus terngiang di kepalanya. Ia menunduk, meremas jemarinya sendiri.
"Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya…" bisiknya, matanya berkaca-kaca.
Reihan yang terlelap di ranjang kecil di dekatnya bergerak sedikit, membuat Tiara segera bangkit dan menghampirinya. Ia menepuk lembut dada kecil bayi itu, lalu tersenyum samar.
"Ada apa Nak? kau juga merasakan apa yang ibu rasakan?" katanya lirih, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Ketika ia hendak berbalik, pintu kamarnya berderit pelan. Galang berdiri di ambang pintu, mengenakan piyama panjang berwarna abu-abu, wajahnya tampak lelah namun matanya masih tajam seperti biasa.
"Maaf, aku tidak bermaksud mengganggumu," katanya pelan.
Tiara tersenyum tipis, menunduk sopan.
"Ada yang perlu Anda sampaikan, Tuan?"
Galang berjalan masuk beberapa langkah. Ia berhenti di dekat ranjang kecil Reihan, menatap bayi itu lama, sebelum akhirnya menatap Tiara.
"Pria kemarin... Apakah dia suami mu?"
"Dulu, sebelum kami bercerai." sahut Tiara datar.
"Kau tidak keberatan jika membicarakannya?" tanya Galang pelan.
Tiara menghela nafas pelan, tatapannya terus menunduk menatap Reihan yang tengah tertidur.
"Aku pikir, sudah saatnya Anda harus tau." sahutnya pelan.
"Dulu Anda masih tidak mempercayaiku dan menganggap kedatangan hanya mengambil keuntungan ..tapi sebenarnya, aku datang bukan untuk itu, Tuan." lanjut Tiara lirih, suaranya bergetar seiring matanya yang mulai basah.
"Aku datang karena… aku tidak punya tempat lain untuk pergi." lanjutnya.
Galang menatapnya tanpa menyela, pandangannya lembut tapi dalam. Tiara menelan ludah, mencoba menenangkan hatinya sebelum melanjutkan.
"Denis… dulu dia suamiku. Awalnya, kami hidup bahagia. Tapi setelah aku kehilangan putra kami dan ia mulai naik jabatan, segalanya berubah. Ia jadi dingin, mudah marah, dan… aku hanya jadi beban baginya."
Ia berhenti sejenak, menatap Reihan yang tertidur pulas.
"Sejak Arvan meninggal, Denis seolah menyalahkan ku. Dia bilang kalau aku ibu yang gagal… bahwa aku tidak pantas disebut istri karena tak bisa menjaga anakku sendiri.” suara Tiara melemah, hampir tak terdengar di antara derasnya hujan di luar.
"Padahal aku sudah berusaha… aku sudah berjuang mati-matian waktu itu, Tuan. Tapi Tuhan mengambil Arvan lebih dulu." lanjutnya.
Ia menunduk, menahan sesak di dadanya yang terasa hampir meledak.
"Sejak hari itu, Denis berubah. Ia mulai jarang pulang, dan kalau pun pulang, hanya untuk bertengkar. Aku tetap bertahan karena kupikir… cinta kami bisa menyembuhkan luka itu.Tapi ternyata, aku hanya berjuang sendirian." Tiara menggeleng pelan tatapannya kosong menatap lantai.
Galang tak beranjak sedikit pun. Tatapannya pada Tiara begitu dalam, seperti sedang menahan sesuatu yang sulit ia ungkapkan.
"Ditambah lagi, jika aku tak bisa mengandung kembali, Denis malah menceraikan ku. Katanya, dia butuh penerus. Keluarganya harus memiliki seorang penerus. Saat itu… aku sadar, aku kehilangan dia sepenuhnya."
Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh. Ia menunduk, membiarkan isak halusnya pecah dalam diam.
"Ibu mertuaku mengusirku. Aku pikir… aku akan mati di jalan. Tapi nyonya Raisa menolongku, membawaku ke sini."
Galang menarik napas dalam, dadanya terasa sesak mendengar kisah itu. Ia menatap Tiara lama, lalu perlahan mendekat hingga hanya berjarak satu langkah darinya.
"Dan kau masih bisa tersenyum seperti tadi siang. Kau benar-benar kuat, Tiara." katanya lirih.
Tiara menghapus air matanya cepat-cepat.
"Itu semua karena Reihan." ucap Tiara sambil menatap bayi itu.
"Aku rasa, semua ini takdir dari Tuhan. Dia telah mempertemukan ku dengannya. Reihan kehilangan ibunya dan aku... kehilangan segalanya."
Galang terdiam. Kata-kata Tiara menggema lembut tapi menghantam kuat di dadanya. Ia memandangi wajah wanita itu— elah, rapuh, namun penuh kasih saat menatap bayi kecil yang bukan darah dagingnya sendiri.
"Takdir, ya?gumam Galang pelan.
"Kadang aku pikir… Tuhan memang punya caranya sendiri untuk mempertemukan dua jiwa yang sama-sama hancur." sambungnya.
Tiara menoleh, menatapnya dengan mata basah. Tatapan mereka bertemu sejenak, cukup lama untuk membuat keduanya menyadari sesuatu yang tak seharusnya tumbuh di antara mereka.
"Tuan…"
Tiara memanggilnya pelan, mencoba memutus jarak itu.
"Aku tak ingin Anda merasa kasihan padaku. Aku tidak butuh belas kasihan siapa pun. Aku hanya ingin hidup tenang, membesarkan Reihan dengan cara terbaik yang aku bisa." ucapnya lirih.
❤️❤️❤️❤️❤️
⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️
❤️❤️❤️❤️❤️