WARNING!!
Kita akan berkelana ke Dunia Fantasi, Karena itu, ada beberapa lagu yang akan di rekomendasikan di awal cerita untuk membawamu ke sana. Putarlah dan dengarkan sembari kamu membaca >>
___
Di sebuah kerajaan, lahirlah dua putri kembar dengan takdir bertolak belakang. Satu berambut putih bercahaya, Putri Alourra Naleamora, lambang darah murni kerajaan, dan satu lagi berambut hitam legam, Putri Althea Neramora, tanda kutukan yang tak pernah disebutkan dalam sejarah mereka. kedua putri itu diurus oleh Grand Duke Aelion Garamosador setelah Sang Raja meninggal.
Saat semua orang mengutuk dan menganggapnya berbeda, Althea mulai mempertanyakan asal-usulnya. hingga di tengah hasrat ingun dicintai dan diterima sang penyihir jahat memanfaatkannya dan membawanya ke hutan kegelapan. Sementara itu, Alourra yang juga berusaha mencari tahu kebenaran, tersesat di tanah terkutuk dan menemukan cinta tak terduga dalam diri Raja Kegelapan, makhluk yang menyimpan rahasia kelam masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penganggu
‧˚♪ 𝄞 :
...ᝰ.ᐟ...
Pagi itu, embun masih menyisakan sejuknya saat para bangsawan muda berkumpul di lapangan latihan berkuda Akademi Stevia. Cahaya matahari menyapu lembut area yang luas, menciptakan kilau keemasan di atas rerumputan. Lady Mairen Velithya berdiri tegak di hadapan para siswa, jubah panjangnya berkibar pelan tertiup angin.
“Hari ini, kalian akan mempelajari seni menunggang kuda,” ucapnya tegas namun anggun. “Kelas kalian, Noviette, akan bergabung dengan para siswa dari tingkatan Aristelle. Ini bukan hanya sesi pelatihan biasa—melainkan juga ujian bagi para putra bangsawan Aristelle, untuk menilai sejauh mana pemahaman dan kemampuan mereka dalam membimbing.”
Barisan siswa telah tersusun rapi. Di sisi kiri berdiri para bangsawan muda dari tingkat Noviette, sementara di sisi kanan berdiri para siswa Aristelle dengan sikap tenang dan penuh percaya diri.
“Kakak,” bisik Althea, berdiri di samping Alourra. “Bukankah Aristelle itu satu tingkat di atas kita?”
“Benar,” sahut Alourra sambil tetap memandang ke depan.
“Berarti... mungkin Arzhel ada di antara mereka,” gumam Althea, matanya berkilat.
“Mungkin saja,” jawab Alourra ringan.
Wajah Althea berseri. “Asik! Aku senang sekali.”
Alourra menoleh, menatap adiknya dengan senyum menggoda. “Sepertinya kau menyukai Arzhel.”
“Ia orang yang baik,” jawab Althea cepat, lalu buru-buru menambahkan, “Tapi tidak! Maksudku... dia hanya teman. Teman biasa.”
Alourra tertawa lembut. “Baiklah, baik.”
Lady Mairen kemudian melangkah ke tengah lapangan. “Baik, seluruh siswa—silakan mencari pasangan pelatihan. Pelatihan selanjutnya akan dipandu oleh Marquess Tirta.”
“Baik, Lady,” jawab para siswa serempak.
Dengan cepat, para putra bangsawan dari tingkatan Aristelle mulai bergerak, satu demi satu menghampiri para putri untuk menjadi pasangan latihan. Suasana lapangan menjadi riuh namun teratur, dipenuhi sapaan sopan dan langkah penuh etika.
“Sepertinya Arzhel tidak ada...” suara Althea terdengar kecewa.
Namun Alourra mengerling ke arah salah satu sisi lapangan. “Tunggu. Sepertinya ada seseorang yang datang ke arah kita.”
“Halo, Yang Mulia Putri. Hai, Althea,” sapa suara yang familiar.
“Arzhel!” seru Althea riang.
“Aku akan membantu kalian berkuda hari ini,” kata Arzhel sambil memberi hormat ringan.
“Kau mau mengajari dua orang sekaligus?” tanya Alourra, sedikit khawatir.
“Tentu saja,” sahutnya percaya diri.
Namun Alourra menatapnya ragu. “Tidak... tidak usah. Kalian berdua saja, aku tidak perlu—”
“Tidak boleh!” potong Althea. “Kakak harus ikut!”
Alourra menggeleng pelan. “Jangan keras kepala, Thea. Bagaimana jika Arzhel tak bisa mengajari dua orang dengan baik? Ini ujian bagi mereka juga. Jika kita gagal, nilainya bisa turun.”
Althea terdiam, bibirnya mengerucut kecewa. “Lalu bagaimana?”
Arzhel tak berkata apa-apa. Ia segera melangkah menuju Marquess Tirta yang sedang mengatur barisan. “Marquess, izinkan saya membimbing Putri Althea dan Putri Alourra,” pintanya.
Marquess Tirta menatap sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah. Sepertinya kita memang kekurangan pembimbing.”
“Terima kasih,” ujar Arzhel sopan.
Saat ia kembali, Althea bertanya pelan, “Kau yakin bisa?”
Arzhel tersenyum santai. “Tentu saja. Jangan remehkan aku.”
Dengan cekatan, ia memilihkan kuda-kuda jinak dan tenang bagi kedua putri. Satu per satu ia membimbing mereka, menjelaskan cara mengendalikan kendali, posisi duduk yang benar, serta irama gerakan tubuh. Perlahan namun pasti, Althea dan Alourra mulai terbiasa, bahkan mampu menunggangi kuda mereka dengan anggun dalam waktu singkat.
Di sisi lapangan, para lady muda dari tingkatan Aristelle yang tidak ikut ujian hanya menonton dari kejauhan.
“Lihatlah itu...”
“Pangeran Arzhel... sungguh gagah.”
“Ah, andai aku yang dia bantu...”
“Aku dengar dia selalu meraih nilai tertinggi.”
“Pantas saja ia berani membimbing dua putri sekaligus. Dan keduanya langsung bisa!”
“Dia putra Marquess Terhan, kan?”
“Bukan hanya itu, ayahnya juga pengusaha terbesar di wilayah timur.”
Namun tak semua senang dengan pemandangan itu. Di sisi lain, Lady Caelis memandangi mereka bertiga dengan wajah geram. Sorot matanya panas, hatinya terbakar cemburu.
“Menjengkelkan... kenapa sulit sekali...” gumamnya kesal saat kudanya tak kunjung mau patuh.
“Hey, kau salah injak pedal! Bisa-bisa kau jatuh!” peringatan partner-nya terlambat.
Caelis tersulut emosi. “Kenapa Pangeran Arzhel malah dekat dengan mereka? Harusnya aku yang jadi pusat perhatian!”
Tiba-tiba, kakinya terpeleset saat menekan pijakan dengan kasar. Tanpa sengaja, ia menendang perut kudanya—dan hewan itu langsung terkejut.
Partner-nya mencoba menangkapnya tapi... Kejadiannya begitu cepat.
BRUKK!
Kuda itu melonjak, dan Caelis terjatuh keras ke tanah.
“Awww... sakit...” keluhnya, wajahnya kini dipenuHi tanah dan debu. Dari sisi lapangan, tawa para lady muda pecah tanpa bisa ditahan.
“Ahahahahaha!”
“Caelis, kau tak apa?” tanya dua temannya sambil menghampiri.
“Menjauh!” hardiknya kasar, menepis tangan mereka.
“Lihat Caelis, semua orang memperhatikanmu sekarang,” ujar salah satu dengan polosnya tahu apa yang Caelis inginkan adalah semua orang memeperhatikannya.
“Bukan... bukan ini yang kuinginkan,” desis Caelis. Tangannya mengepal erat, menahan amarah yang bergemuruh.
Dari kejauhan, Althea, Alourra, dan Arzhel memperhatikan kejadian itu. Althea menahan tawa sekuat mungkin, sementara Alourra memberinya isyarat halus agar tetap tenang. Arzhel bahkan sudah menutup mulut dengan kepalan tangan, berpaling ke arah lain agar tak terlihat sedang menahan tawa.
Putri Caelis menoleh ke arah mereka, tatapannya tajam dan penuh kebencian, lalu membuang muka dan melangkah pergi dengan angkuh.
Mereka bertiga saling pandang. Diam sejenak.
“Aku tidak tahu...” gumam Althea ketika Alourra melirik ke arahnya.
“Aku juga tidak tahu...” timpal Arzhel saat Alourra memandangnya.
Alourra hanya menarik napas panjang. “Aku pun tak tahu.”
Dan akhirnya, ketiganya tertawa kecil—samar, dan masih terlihat sopan.
"Baiklah, anak-anak, kumpullah semuanya," seru Marquess Tirta, suaranya menggema di lapangan pelatihan berkuda.
Para siswa yang sejak pagi berlatih segera berkumpul dalam barisan rapi.
“Pelajaran kita untuk hari ini telah selesai. Penilaian telah dicatat, dan bagi kalian yang ingin beristirahat, silakan kembali ke asrama. Namun, bila masih ingin berlatih, lanjutkanlah... dengan risiko ditanggung sendiri. Masa pelatihan resmi telah usai. Saya pamit.”
Dengan anggukan singkat, ia melangkah mundur.
“Terima kasih, Marquess,” jawab para siswa serempak.
Tiba-tiba, lingkaran sihir berwarna putih berpendar di bawah kaki Marquess Tirta. Dalam sekejap, tubuhnya menghilang dalam semburat cahaya yang halus.
“Ah!” Althea dan Alourra membelalak takjub.
“Kalian pasti terkejut,” sahut Arzhel dari belakang mereka. “Itu disebut lingkaran sihir teleportasi.”
Mereka mulai berjalan perlahan menjauh dari lapangan.
“Tapi dia tidak mengucapkan mantra...” gumam Alourra, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu.
“Dan dia juga tak menggunakan tongkat sihir,” tambah Althea.
Arzhel tersenyum samar. “Itulah hebatnya para guru besar di Akademi Stevia. Mereka bukan penyihir biasa. Apalagi sang Kepala Sekolah... konon kekuatannya jauh melampaui akal para siswa.”
“Menakjubkan,” ujar Althea, terpana.
“Ngomong-ngomong... kalian mau makan siang?” tawar Arzhel.
“Ah, boleh juga. Aku lapar,” kata Althea. “Bagaimana denganmu, Alourra?”
“Aku juga,” jawab Alourra sambil mengangguk.
...────୨ৎ────...
Di ruang makan utama yang penuh dengan pilar-pilar batu marmer dan lampu gantung kristal, ketiganya duduk mengelilingi meja bundar kecil, ditemani piring berisi hidangan hangat dan aroma rempah yang menggugah selera.
“Tadi kau bilang... Kepala Sekolah adalah penyihir terhebat jauh melampaui akal para siswa?” tanya Alourra membuka percakapan.
“Benar,” jawab Arzhel sambil menyendok sup.
“Aku belum pernah melihat sihir sebelumnya, dan tadi adalah pertama kalinya. Memangnya sehebat apa dia?” tanya Althea, penuh rasa ingin tahu.
Arzhel mencondongkan tubuh sedikit dan menurunkan suaranya, “Shh... aku dengar, dialah pencipta Hutan Kabut Peri.”
“Pencipta?” ulang Alourra, terkejut.
BRUKK!
Tiba-tiba, suara benda jatuh membuyarkan percakapan mereka. Seorang gadis terhuyung jatuh tepat di sisi meja mereka. Semua kepala menoleh.
“Caelis! Kau tak apa-apa?” dua temannya segera menolongnya berdiri.
“Aku tidak apa-apa... terima kasih,” jawabnya dengan suara pelan, lalu matanya menyipit menatap Althea dan Alourra.
“Kalian... kalian berniat menjatuhkanku, ya?” teriak Caelis lantang, menarik perhatian para siswa lain.
Alourra mengerutkan kening. “Kami tidak melakukan apa pun,” jawabnya tenang.
“Iya, kami hanya duduk di sini sejak tadi. Kau jatuh sendiri,” tambah Althea, tak mau disalahkan.
“Lihat! Begitu tak berperasaan!” pekik Caelis dramatis. “Jelas-jelas aku merasa kau sengaja menginjak kakiku dengan sepatu kudamu yang keras dan terbuat dari baja jelek itu. Kau pasti sengaja, agar aku jatuh, lihatlah ini! aku yakin ini pasti akan memar dan membuatku tak akan bisa berjalan!”
Kerumunan mulai berdatangan, berbisik-bisik.
“Wah, baru jadi siswa baru sudah membuat masalah,”
“Persaingan perangkingan memang semakin sengit.”
"Iya bahkan pakai cara kotor seperti ini"
Namun, ketiganya—Arzhel, Alourra, dan Althea—tetap duduk tenang, bahkan melanjutkan makan seolah tak terganggu.
“Kalian dengar tidak? Atau memang kalian tidak punya hati nurani untuk meminta maaf? Oh pangeran Arzhel lihatlah Mereka ini tak berperasaan sekali!” seru Caelis lagi.
Akhirnya, Althea menghela napas panjang. “Baiklah... Baiklah”
“Althea...” tangan Alourra menahan lengan adiknya.
“Tidak apa, Kak. Aku akan menyelesaikan ini secara elegan,” ujar Althea lembut. “Lagipula aku duduk di sisi yang dia tuduhkan, aku harus menjelaskan.”
Alourra mengangguk, dan memperhatikannya dengan seksama.
Althea bangkit. Suaranya tenang namun tegas.
“Jadi, kau mengatakan kakimu terluka karena sepatu kudaku yang keras dan berat, terbuat dari besi baja?” tanyanya.
Caelis mengangguk penuh keyakinan. “Benar! Sepatu kasarmu menyakitiku!”
Althea tersenyum tipis. “Tapi maaf, aku, Ah.. Kami bertiga yang duduk di sini tidak ada yang memakai sepatu berkuda.” Ia menunduk dan menunjukkan sepatu bersol lunak di kakinya. “Ini sepatu biasa.”
Kerumunan sontak riuh.
“Dia berbohong?”
“Memalukan sekali...”
"Caranya kotor sekali, ingin menjatuhkan reputasi seseorang"
Wajah Caelis berubah pucat. Ia memandang sekeliling, menyadari semua mata kini menatapnya—bukan dengan simpati, melainkan ejekan. Dengan wajah memerah dan mata berkaca-kaca, ia berlari meninggalkan ruangan.
“Lihat saja, Putri Althea... aku akan menghancurkanmu!” bisik Caelis dalam hati, menahan malu yang membakar dada.
“Putri Caelis, tunggu kami!” panggil kedua temannya, mengejar di belakang.
“Tidak akan aku maafkan!” geram Caelis sambil terus berlari.
“Kalian harus mencari informasi tentang keburukannya. Aku ingin menjatuhkannya... dengan cara apa pun,” desisnya.
“Baik, Putri...” jawab mereka nyaris serempak, takut menolak.
"Untung tadi kita sempat menggantikan sepatu" ujar Arzhel
"Ahaha..." ujar Alourra tertawa ringan melihat raut wajah Althea yang tampak sebal.
"Siapa juga yang mau pake sepatu baja, berat and bau itu lama-lama" ujar Althea menggerutu.
...· · ─ ·𖥸· ─ · ·...