Amor Tenebris (Cinta yang lahir dari kegelapan)
“Di balik bayangan, ada rasa yang tidak bisa ditolak.”
...
New Book, On Going!
No Plagiat❌
All Rights Reserved August 2025, Eisa Luthfi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eisa Luthfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
...◾▪️Amor Tenebris ▪️◾...
Bab 7 – Bayangan di Balik Api Rune
Lyra membuka matanya perlahan, dunia di sekitarnya berputar bagai kabut yang belum rela pergi. Rasa panas masih menjalari tubuhnya, seakan lidah api dari lingkaran rune tadi masih merayap di bawah kulitnya. Nafasnya berat, dada naik turun dengan terengah.
“Tenang…” Suara itu lirih, rendah, namun penuh kuasa. Theron.
Sosok sang vampir agung duduk di sisi tempat tidurnya. Cahaya lilin di kamar yang luas itu menyorot wajahnya, menciptakan bayangan tegas di rahang dan sorot matanya yang gelap. Sejenak Lyra lupa akan rasa sakitnya, hanya mampu menatap matanya yang seperti menyimpan ribuan rahasia.
“Kau… tetap di sini?” Suaranya parau, hampir tak terdengar.
Theron menunduk, bibirnya melengkung samar. “Kau kira aku akan membiarkanmu sendirian setelah apa yang baru saja kau lalui?”
Ingatan kembali menyerbu Lyra—lingkaran rune yang menyala, rasa terbakar, lalu bayangan sosok bermahkota hitam yang berbisik dari kegelapan. Merinding, ia memeluk dirinya sendiri.
Theron segera menangkap kegelisahan itu. “Kau melihat sesuatu… bukan hanya api, bukan?”
Lyra terdiam. Haruskah ia mengatakannya? Tapi tatapan mata Theron seperti menelanjangi kebohongan, membuatnya sulit bersembunyi. Ia mengangguk pelan. “Ada seseorang… atau sesuatu. Dengan mahkota hitam. Dia… seakan menungguku.”
Mata Theron menajam. Untuk pertama kalinya, ia terlihat benar-benar terguncang.
Suara ketukan pintu memecah intensitas itu. Seorang dayang masuk, lalu menunduk dalam. “Tuan Lucian dan Lady Eveline ingin melihat Nona Lyra.”
Theron menahan desah kesal. “Tidak. Lyra butuh istirahat.”
Namun tak butuh waktu lama, Eveline sudah melangkah masuk tanpa diundang, gaun hitamnya berkilau bagai kulit ular di bawah cahaya lilin. Senyum manisnya menusuk lebih daripada pedang. “Oh, syukurlah kau sadar, Lyra. Kau membuat kami semua cemas.”
Kata “kami” terdengar begitu palsu hingga Lyra hampir tertawa getir. Eveline duduk di kursi sebelah ranjang, tangannya seakan hendak menyentuh Lyra, tapi tatapan Theron yang dingin membuatnya menarik diri.
Lucian menyusul dari belakang, gerakannya anggun namun penuh perhitungan. Mata emasnya menatap Lyra seolah ingin menembus kulitnya. “Menarik sekali. Aku tak pernah melihat manusia bertahan dalam lingkaran rune sejauh itu. Kau… istimewa.”
Lyra menelan ludah. Ia bisa merasakan ada lapisan makna lain di balik kata istimewa.
“Cukup.” Suara Theron bergemuruh, penuh otoritas. “Keluar, kalian berdua. Dia butuh waktu untuk pulih.”
Eveline tersenyum tipis, berdiri. “Tentu. Tapi jangan khawatir, Lyra. Aku akan selalu ada jika kau butuh… sahabat.” Tatapan matanya berkata lain: ancaman yang dibungkus kelembutan.
Lucian tak langsung beranjak. Ia menatap Lyra sekali lagi, dalam, seolah hendak mengingat setiap garis wajahnya. Baru kemudian ia berbalik, melangkah keluar bersama Eveline.
Hening kembali memenuhi kamar.
Theron memijat pelipisnya, lalu menatap Lyra dengan intensitas yang berbeda—campuran proteksi dan… sesuatu yang Lyra belum berani sebut cinta. “Mulai sekarang, kau jangan pernah sendirian. Apa pun yang kau lihat di dalam rune, itu bukan hal sepele.”
Lyra ingin bertanya lebih jauh, tapi tubuhnya terlalu lemah. Matanya perlahan menutup, dan sebelum kegelapan menelannya lagi, ia merasakan tangan dingin Theron menyentuh jemarinya, hangat dalam keasingannya.
Malam berikutnya.
Lyra terbangun, kali ini jauh lebih segar. Ia menemukan dirinya berdiri di balkon kastil, ditemani udara malam yang dingin. Pemandangan hutan kelam di bawah bulan sabit membuatnya merasa kecil sekaligus bebas.
“Aku tahu kau di sini.” Suara Theron terdengar dari belakang.
Ia berbalik. Theron berdiri dengan jubah panjang, rambut hitamnya diterpa angin, membuatnya tampak seperti bayangan dewa malam.
“Apa kau… selalu tahu di mana aku berada?” Lyra bertanya, setengah bercanda.
Theron mendekat, jaraknya hanya sejengkal dari dirinya. “Aku bisa merasakan mu.”
Kata-kata itu membuat jantung Lyra berdegup kencang. Ia tak tahu apakah itu kemampuan vampir… atau sesuatu yang lebih personal.
Theron menatap ke hutan, suaranya lebih rendah. “Mahkota hitam yang kau lihat… itu bukan hal baru bagiku.”
Lyra menahan nafas. “Kau pernah melihatnya?”
Theron mengangguk perlahan. “Dalam mimpi, dalam bayangan, dalam bisikan di koridor paling tua di kastil ini. Legenda keluargaku menyebutkan bahwa mahkota itu adalah simbol dari sebuah kutukan… atau takhta lain, yang menunggu darah Valecrest.”
“Kutukan?” Lyra mengulang dengan lirih.
“Ya. Sebuah warisan gelap yang tak pernah bisa kami hindari.” Tatapannya beralih padanya. “Dan entah kenapa, kau kini terikat padanya.”
Keduanya terdiam, hanya suara angin yang mengisi jeda.
Akhirnya Lyra berbisik, “Kalau begitu… apa kau akan melindungi ku?”
Theron menatapnya lama, matanya tak berkedip, lalu jemarinya menyentuh dagu Lyra dengan kelembutan yang kontras dengan sosoknya. “Bahkan jika itu berarti melawan darahku sendiri.”
Jantung Lyra hampir meledak. Ia bisa melihat kesepian yang membentuk Theron selama ratusan tahun—dan untuk sesaat, ia ingin menjadi cahaya yang menembus kegelapan itu.
Tapi sebelum bibir mereka terlalu dekat, suara teriakan dari pelataran bawah memutus momen itu.
“Api! Ada api di ruang bawah tanah!”
Theron segera menarik Lyra menjauh. Wajahnya berubah tajam. “Tetap di sini. Jangan bergerak.”
Ia menghilang dalam sekejap, meninggalkan Lyra yang masih gemetar. Tapi saat ia menoleh ke bawah, matanya membelalak.
Di antara asap yang membubung, ia melihat sosok bermahkota hitam berdiri… menatap langsung padanya.