Karena menyelamatkan pria yang terluka, kehidupan Aruna berubah, dan terjebak dunia mafia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman yang Mengintai
Hari-hari berikutnya berjalan dengan aneh bagi Aruna. Ia masih membuka kafe seperti biasa, menyeduh kopi, melayani pelanggan tetap, dan tersenyum seperti tidak ada yang berubah. Namun jauh di dalam dirinya, ada ketegangan yang tidak bisa ia jelaskan.
Semua itu karena Leonardo Valente.
Pria itu belum pergi. Setiap kali Aruna berharap ia sudah menghilang entah kemana, Leonardo selalu muncul kembali, duduk di pojok ruangan seperti bayangan yang tak bisa diusir. Luka tembaknya sudah membaik berkat perawatan seadanya, meski Aruna yakin ia seharusnya dirawat di rumah sakit. Tapi pria itu bersikeras menolak.
“Rumah sakit penuh mata dan telinga. Aku tidak bisa berada di sana,” katanya suatu malam, dengan tatapan yang tidak menerima bantahan.
Aruna tidak bisa melawan. Ia hanya menghela napas, menerima kenyataan bahwa kafenya kini bukan sekadar tempat sederhana, melainkan persembunyian bagi seorang pria yang jelas membawa masalah besar.
Dan masalah itu mulai menampakkan diri.
---
Malam itu, hujan kembali turun meski tidak sederas sebelumnya. Kafe sudah hampir tutup. Aruna sedang menyusun kursi ke atas meja, sementara Leonardo berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan wajah dingin.
“Kau sering melihat keluar. Apa ada yang kau cari?” tanya Aruna, mencoba memecah keheningan.
“Bukan mencari,” jawab Leonardo tanpa menoleh. “Mengawasi.”
Aruna mengernyit. “Mengawasi siapa?”
Leonardo menoleh, tatapannya menusuk. “Musuh. Mereka tidak akan diam saja. Aku sudah membuat banyak orang ingin melihatku mati.”
Kalimat itu membuat darah Aruna berdesir dingin. Ia menelan ludah, lalu memaksa tersenyum tipis. “Kalau begitu… kenapa tidak pergi saja dari sini? Jangan libatkan kafe ini.”
Leonardo mendekat, langkahnya tenang namun penuh wibawa. “Kau ingin aku pergi?”
Aruna terdiam. Ia tidak bisa menjawab. Hatinya berteriak ingin ia menjauh dari bahaya ini, namun entah kenapa bibirnya sulit mengucapkannya. Tatapan Leonardo membuatnya lumpuh.
Ia hanya bisa menunduk. “Aku hanya takut. Bukan untukku saja… tapi juga untuk orang-orang di sini.”
Untuk pertama kalinya, Leonardo terlihat sedikit lembut. Ia mendekat, menundukkan kepala hingga sejajar dengan wajah Aruna. “Tenanglah. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu.”
Kalimat itu seperti janji… sekaligus ancaman.
---
Namun janji itu diuji lebih cepat dari yang Aruna bayangkan.
Beberapa jam setelah Leonardo berkata begitu, suara gaduh terdengar dari luar. Bukan suara hujan—lebih berat, lebih kacau. Seperti langkah kaki banyak orang mendekat.
Aruna yang sedang merapikan meja menoleh panik. “Apa itu…?”
Leonardo langsung berubah. Ekspresinya keras, matanya menyipit, tubuhnya tegang. Ia meraih jaket hitam panjangnya, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalamnya—sebuah pistol hitam yang berkilat di bawah lampu redup.
Aruna terbelalak. “Kau… kau membawa senjata?!”
Leonardo menatapnya cepat, dingin. “Diam di sini. Jangan keluar.”
Belum sempat Aruna menjawab, pintu kafe tiba-tiba didobrak keras. Tiga pria berpakaian hitam masuk dengan kasar, wajah mereka penuh amarah. Salah satunya langsung menodongkan senjata ke arah dalam ruangan.
“VALENTE!” teriak pria itu dengan suara berat. “Kau pikir bisa bersembunyi di tempat kecil seperti ini?!”
Aruna tersentak, tubuhnya membeku di tempat. Matanya melirik Leonardo. Namun pria itu sama sekali tidak terlihat gentar. Ia berdiri tegak, pistol di tangannya terangkat perlahan, matanya dingin seperti es.
“Salah langkah kalian datang ke sini,” ucap Leonardo tenang, nyaris tanpa emosi.
Ketiga pria itu menertawakan ancamannya. “Kau sendirian. Kami akan menyeret kepalamu malam ini!”
Situasi berubah tegang dalam sekejap. Aruna ingin berteriak, ingin kabur, tapi kakinya tak bisa bergerak. Ia hanya bisa menyaksikan ketika pertempuran kilat terjadi.
DOR! DOR!
Suara tembakan menggema keras di dalam kafe. Aruna menjerit, menunduk dan menutup telinganya. Piring dan gelas berjatuhan, kaca pecah berhamburan.
Saat ia akhirnya berani mengangkat kepala, dua pria sudah tergeletak di lantai, darah mereka mengalir di ubin kafe. Leonardo berdiri tegak, pistolnya masih mengepul.
Pria ketiga gemetar, senjatanya terjatuh. “K-Kami hanya menjalankan perintah…!” teriaknya ketakutan.
Leonardo mendekat perlahan, langkahnya tenang tapi menakutkan. “Sampaikan pada bosmu… kalau ia menginginkan aku mati, ia harus datang sendiri.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melepaskan tembakan ke lantai dekat kaki pria itu. Suara dentuman membuat orang itu berteriak histeris dan lari terbirit-birit keluar dari kafe.
Aruna terdiam. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar hebat. Ia memandang lantai yang kini dipenuhi darah, lalu menatap Leonardo yang masih memegang pistol dengan dingin.
“Itu… itu gila…” bisiknya dengan suara bergetar.
Leonardo menoleh, tatapannya keras tapi juga… penuh kekhawatiran samar. Ia mendekat, menyentuh bahu Aruna yang gemetar.
“Aku sudah bilang… mereka akan datang. Tapi ingat satu hal, Aruna.” Ia menatapnya dalam, suaranya rendah namun penuh wibawa. “Selama aku di sini, tidak ada yang bisa menyentuhmu.”
Aruna menatap balik, matanya berkaca-kaca. Rasa takut dan rasa aman bercampur jadi satu. Ia tahu pria ini berbahaya, tahu keberadaannya bisa menghancurkan hidupnya kapan saja. Tapi di balik ketakutannya, ada bagian kecil dalam hatinya yang percaya pada kata-kata itu.
Dan itu membuatnya semakin bingung.
Malam itu, Aruna sadar satu hal:
Ancaman bukan hanya datang dari musuh Leonardo. Ancaman sebenarnya adalah dirinya sendiri, yang mulai terikat pada pria berbahaya itu.
To be continued ☺️