Kisah seorang gadis bernama Kanaya, yang baru mengetahui jika dirinya bukanlah anak kandung di keluarga nya saat umurnya yang ke- 13 tahun, kehadiran Aria-- sang anak kandung telah memporak-porandakan segalanya yang ia anggap rumah. Bisakah ia mendapatkan kebahagiaannya kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jeju Oranye, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUK- 5 : Merasa di permainkan
Rayyan yang baru datang, langsung menghampiri, Orang-orang itu mengelilingi Kanaya saat ini, menatapnya seolah dia adalah terdakwah yang harus mendapatkan hukuman.
"Baru juga datang udah buat keributan aja, " cibir Rayyan dengan kedua tangan bersilang dada.
Nyonya Tania yang sejak tadi diam, kemudian mendekati anak angkatnya itu. "Kanaya coba jelaskan apa yang membuat mu sampai semarah ini? "
"Udahlah mah, kenapa minta penjelasan. Sudah pasti dia hanya ingin mencari perhatian dari kita, " sahut Jendra.
Kanaya tak bisa berdiam diri lagi, jika dulu dia hanya pasrah dan menerima hukuman. Kali ini tidak!
Gadis itu memejam mata sebelum menjawab. "Salah ku jika membela diri? pelayan ini telah berani kurang ajar padaku, aku hanya memberikan pemahaman yang aku tahu. "
"Dengan cara menyakiti? kau bahkan bisa memberikan pehamanan padanya dengan cara baik- baik! " kata Areksa, tegas.
"Hidup di panti bukannya mendapatkan pelajaran, malah membuat mu semakin liar," tambahnya.
Kanaya terkekeh getir. "Baiklah, terserah. Percuma membela diri, toh tidak akan ada yang percaya padaku, sama seperti dulu. "
Semua orang diam, semua orang saling menatap namun tak ada yang bicara lagi.
Kanaya kemudian berbalik mengambil tumpukan baju yang ada di atas kasur. "Ini ku kembalikan lagi, aku tak membutuhkan baju- baju ini, " katanya mengangsurkan pakaian itu pada Aria.
Wajah Aria langsung meredup, matanya berkabut penuh kepura-puraan. "Kak Naya kenapa? apakah kak Naya tidak suka baju- bajunya. "
Kanaya menggeleng. "Aku lebih baik memakai baju ku sendiri. "
Di samping Aria, Javier mencebik. "Cih dasar sombong, bilang saja kau tidak mau memakai nya karena itu baju lama Aria."
"Lebih tepat nya baju bekas! " tekan Kanaya. "Aku sama sekali gak memerlukannya, " tambahnya lagi.
Wajah Javier langsung memerah padam. "Tapi tetap saja kau sama sekali gak menghargai usaha Aria untuk membantu mu. Toh kau juga sudah menempati posisinya selama 13 tahun, apakah belum puas? dasar gak tau diri! "
"Kak, sudahlah... " Aria menarik tangan Javier, dan menenangkan nya, dan Javier menatap lembut padanya, sorot mata yang sangat berbanding terbalik saat menatap Kanaya.
"Enggak apa- apa Aria sayang, dia sama sekali gak pantas menerima bantuan dari mu, kamu jangan merasa kecil hati. "
Aria mengangguk. "Hum, iya kak. "
Kanaya memutar bola matanya, malas melihat adegan persaudaraan yang sangat menyentuh itu. Dia benar-benar sudah muak, jika dulu setiap kali berhadapan dengan posisi ini Kanaya akan merasa sedih dan berusaha menunjukkan jika dia adalah orang yang baik, tapi sekarang tidak lagi. Jika mereka berpikir dia jahat, sekalian saja dia buktikan pemikiran itu.
"Sudah? jika tidak ada kepentingan lagi? lebih baik kalian pergi dari kamar ku. "
"Baik kami akan pergi, siapa juga yang betah berlama-lama satu ruangan bersama kriminal seperti mu, dasar! " ejek Rayyan
Lalu dia maju merangkul pundak ibunya untuk menjauh begitupun dengan Jendra melakukan hal serupa pada Aria, tatapan mereka sarat akan kebencian pada Kanaya, tapi dia sudah terbiasa dengan sorot mata itu. Kini tinggal Areksa, yang masih diam terpaku di hadapannya.
Kanaya menatapnya dengan dahi mengernyit. "Kenapa kakak juga tidak pergi? "
Tidak langsung menjawab, Areksa justru menatapnya dengan sorot mata sendu. Di antara mereka semua Kanaya paling bingung dengan sikap Areksa, kadang dia terlihat baik dan menyayangi nya tapi kadang dia juga bersikap sama seperti yang lain.
"Ku harap kau masih mau merubah sikap mu, Naya, " kata Areksa lalu menghela napas memperhatikan Kanaya begitu dalam sebelum akhirnya dia juga ikut pergi.
Pintunya lantas di tutup oleh Areksa, seluruh ruangannya gini gelap dan tinggal dirinya sendiri sekarang. Kanaya merasakan sesak di dadanya, tubuh nya lantas luruh ke lantai.
Kanaya mulai terisak pelan, sebenarnya ia tidak sekuat itu menghadapi semua kebencian orang-orang yang ada di rumah ini, bahkan pelayan saja enggan menghormati nya, sungguh ironi yang sangat menyakitkan. Perlahan isakan Kanaya berubah menjadi tangisan yang memilukan, ia mengeluarkan semua beban dalam hatinya lewat tangisan hebat itu.
Malam pun tiba, semua anggota keluarga sedang berkumpul santai di ruang tengah, hanya Kanaya yang tak ada.
"Tumben si anak pungut belum dateng, biasanya kan dia yang paling excited kalau papa pulang, " kata Javier yang memang sangat menaruh benci pada Kanaya. Karena menurut nya selain telah mendorong Aria hingga membuat nya kehilangan banyak darah Kanaya juga telah merebut kehidupan adik kandung nya. Kanaya bisa hidup dalam kemewahan dan kasih sayang selama tiga belas tahun, sedangkan Aria harus hidup menderita di keluarga angkatnya yang miskin sebelum akhirnya di temukan oleh kedua orang tuanya. Itu sebab nya kasih sayang yang dulu Javier berikan pada Kanaya kini berubah menjadi kebencian yang mendalam.
Pun dengan semua yang ada di sini satu pendapat dengan nya juga, kecuali memang kak Areksa, Aria dan ibunya yang masih memiliki belas kasihan, tapi bagi Javier, Rayyan dan jendra, Kanaya adalah benalu di rumah ini.
Semua orang tak yang membalas pertanyaan Javier, sampai ayah mereka datang, semua tetap diam dan barulah di situ Kanaya datang.
Kecerian yang baru saja timbul setelah Aria yang langsung memeluk ayah mereka yang baru saja tiba kini berubah menjadi kecanggungan saat semua mata menoleh pada Kanaya.
Semua heran melihat penampilan nya, gadis manis berkulit putih itu mengenakan baju yang lebih mirip seperti baju tunawisma, sangat sederhana dengan warna yang sudah memudar dan yang lebih memilukan, banyak tambalan di sana- sini nya, seolah hanya baju itu yang Kanaya punya.
"Cih pasti ini trik barunya lagi untuk menarik simpati ayah, " gumam Javier pelan namun karena suasana yang senyap ucapannya masih bisa terdengar oleh yang lain.
Sementara tuan abiyasa menatap putri angkatnya itu dengan kerutan samar di dahi. Sekian tahun tak melihat Kanaya, ternyata putri yang dulu sempat sangat ia sayangi itu sudah berubah, tak ada lagi binar- binar di matanya saat melihat ayahnya datang, yang ada hanya dingin dan kekosongan. Padahal ini pertemuan pertama mereka setelah Kanaya kembali ke rumah.
"Kanaya... " panggil tuan abiyasa, pelan dan sedikit ragu.
"Ya? "
"Kau tidak ingin memeluk ayah?"
Semua menoleh pada tuan abiyasa, terlihat sedikit terkejut karena respon yang di berikan nya, begitu juga dengan Kanaya, dia mengira sikap ayahnya akan sama seperti yang lain.
"Memangnya boleh? " pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Kanaya.
Tuan abiyasa terkekeh pelan, tak ingin suasana semakin canggung. "Pertanyaan macam apa itu, tentu saja boleh, kamu masih tetap putri ku, Kanaya. "
Kanaya merasakan matanya mulai berkabut, akhirnya ada yang benar-benar menyambut kepulangan nya. Walaupun tiga tahun lalu keputusan untuk mengirimnya ke panti adalah perintah tuan abiyasa, tidak di pungkiri Kanaya tak bisa menolak untuk memeluk ayahnya, dia masih mendambakan sosok figur yang dulu sangat ia kagumi itu.
Perlahan Kanaya mendekat, sementara tuan Abiyasa merentangkan tangannya, Kanaya sangat merindukan pelukan hangat ayahnya.
Namun ketika mereka sudah berhadapan, tiba-tiba saja terdengar lenguhan Aria di belakang.
"Aduh... " Aria menjatuhkan tubuh sambil memegang perutnya, semua orang lantas panik dan mulai mengelilinginya.
"Aria kamu kenapa? " teriakan kepanikan mulai menggema.
Begitu pun dengan tuan abiyasa gerakannya yang hendak merengkuh Kanaya pun berhenti begitu mendengar teriakan orang-orang yang memanggil Aria, dia segera berbalik menuju Aria dan meninggalkan Kanaya begitu saja.
Kanaya terpaku, dia tercekat. Seperti dejavu, ini mengingatkan nya seperti tiga tahun lalu, di mana semua anggota keluarga mengelilingi Aria dan dia hanya berdiri jauh menatap mereka seorang diri, seperti orang bodoh.
Kanaya tertawa miris, lagi-lagi ia merasa di permainkan.
*****