Rere pikir, jika hanya dia yang mencintai suaminya, maka itu sudah cukup untuk mempertahankan rumah tangga mereka. Karena sebelumnya, dia berpikir bisa membuat suaminya jatuh cinta setelah mereka menikah.
Namum, satu setengah tahun usia pernikahan, Rere baru sadar, jika apa yang ia usahakan tidak sedikitpun membuahkan hasil. Sang suami malah mencintai adik tiri yang hidup bersama Rere sejak masih kecil.
Akankah Rere langsung menyerah setelah mengetahui kenyataan pahit itu? Atau, apa mungkin dia akan memilih melepaskan sang suami begitu saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
'35
"Bapak tahu semuanya Rohan. Tapi bukan dari Rere. Karena dia anak yang baik. Dia tidak akan mengatakan apapun tentang rumah tangganya pada orang lain."
Sepeninggalan si bapak, Rohan terhenyak akan apa yang sudah bapaknya sampaikan. Pikirannya terus berusaha mencerna setiap kata yang si bapak ucapkan.
'Jika bukan dari Rere, lalu dari siapa bapak tahu tentang rumah tanggaku? Bagaimana mungkin bapak tahu kalau bukan Rere yang ngadu sama bapak? Agh! Sialan. Bagaimana mungkin kehidupan ini semakin rumit saja?'
...
Saat Rere masuk ke kantor, seorang karyawan langsung menghampirinya dengan wajah sedikit tidak enak. "Maaf, mbak Rere. Papa mbak saat ini ada di ruangan, mbak."
"Papa? Di ruangan ku? Kenapa dia di ruangan ku, Mona?"
"Dia bilang ingin menunggu di ruangan mbak saja. Saya tidak berani menghalangi niat itu, mbak. Sekali lagi maaf," ucap Mona dengan penuh penyesalan.
Ya. Setelah kejadian kemarin, Rere membuat peraturan kalau tidak ada yang boleh masuk ke ruangannya tanpa seizin dari Rere sendiri. Siapapun tanpa terkecuali. Karena peraturan itu, si karyawan yang bernama Mona jadi merasa takut saat ini.
Namun, Rere bukanlah orang yang pemarah. Dia juga tidak kejam. Dia tahu kalau Mona tidak punya kekuatan untuk melawan. Karena itu, dia memaafkan Mona karena tidak bisa menghalangi papanya masuk ke dalam.
"Ya sudah. Gak papa, Mona. Kamu gak perlu merasa bersalah. Bagaimanapun, papa adalah orang tuaku. Meskipun papa tidak pernah membela aku."
"Ah hahaha ... aku kok malah jadi curhat sih? Ya sudah, aku langsung ke ruangan ku sekarang," ucap Rere sambil tersenyum kecil sebelum meninggalkan Mona.
Yap, Mona atau beberapa karyawan lain cukup tahu bagaimana hubungan Rere dengan papanya. Karena bukan sekali mereka pernah mendengar sang papa membela Amira meskipun yang benar itu Rere.
Mona adalah asisten Rere saat ini. Gadis itu sudah bekerja bersama Rere sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Karena nilainya yang bagus, juga pemahamannya yang luar biasa, Mona diperkerjakan Rere di bagian keuangan.
Sejak ia mulai bekerja, hingga saat ini, Mona tidak pernah melakukan kesalahan. Karena itu, Rere memilih dia sebagai asistennya di kantor sekarang. Posisi yang sebelumnya Amira yang duduki.
Rere tiba di depan ruangannya. Dia sudah tahu maksud dari kedatangan sang papa. Semua tak lain karena Amira. Anak kesayangan papanya yang belum lama ia keluarkan dari kantor.
"Papa."
"Rere."
Haris yang sedang duduk di kursi Rere pun langsung bangun dari duduknya. Ruangan itu sudah berbeda sekarang. Tidak lagi menempatkan tiga meja di satu ruangan. Sekarang, hanya ada satu meja saja. Yaitu, hanya meja milik Rere saja yang masih tersisa di dalam ruangan tersebut.
"Tumben datang ke kantor, pa. Ada masalah apa?" Rere berucap dengan nada malas. Bagaimana tidak? Dia susah tahu angin apa yang membawa papanya datang ke kantor kali ini.
Haris yang mengerti apa yang Rere rasakan tentu langsung merasa tidak nyaman. Dia lihat Rere yang sekarang sedang duduk di kursi miliknya dengan kesal. Namun, demi Amira, perasaan kesal itu ia tahan.
"Bagaimana keadaan mama kamu sekarang, Re? Apa sudah ada perkembangan?"
Haris malah balik bertanya pada Rere. Sekedar basa-basi untuk mencairkan suasana yang terasa sangat canggung saat ini.
"Mama masih koma. Belum ada perubahan."
"Ya Tuhan. Semoga Lastri segera sadar dari komanya. Rere, papa ingin sekali menjenguk mama kamu. Kenapa sih kamu tidak membolehkan papa datang untuk melihat kondisi mama kamu, Re?"
"Tidak, Pa. Aku tidak akan mengizinkan papa atau siapa saja yang tidak aku inginkan datang ke kamar mama. Tepatnya, sebelum mama sadar dari koma dan menjelaskan semuanya padaku, aku tidak akan mengizinkan papa atau Amira datang."
"Lho, kenapa begitu, Rere? Papa atau Amira itu adalah keluarga kamu. Apa yang kamu pikirkan tentang kami, hah! Sampai-sampai, kamu tidak mengizinkan kami untuk menjenguk mama kamu?"
"Apa yang aku pikirkan, papa pasti susah tahu, bukan? Jadi, tidak perlu papa tanyakan lagi. Semua keputusan ada di tanganku, Pa. Aku berhak memutuskan."
Haris pun memilih mengalah. Meski dia merasa semakin kesal atas perdebatan yang baru saja mereka lakukan, tapi kembali lagi, dia tidak ingin terus berdebat dengan Rere. Karena ia tahu, berdebat dengan Rere tidak akan pernah memberikan kemenangan untuknya.
"Heh ... baiklah. Terserah kamu saja, Re. Papa tidak ingin adu mulut lagi dengan kamu soal mama. Karena keputusan, memang ada di tangan kamu."
"Ah! Papa datang ke sini karena satu permintaan sebenarnya. Tolong, Re. Tolong kembalikan Amira ke kantor ini lagi. Papa mohon."
'Ah! Akhirnya, niat sesungguhnya papa datang terucap juga. Aku sudah tahu ini sebenarnya, pa. Papa datang pasti ingin memohon padaku agar Amira kembali bekerja. Papa memang selalu berada di pihak Amira sejak dulu hingga detik ini ternyata, pah.' Rere berkata dalam hati dengan perasaan sedih.
'Kenapa hanya ada Amira di mata juga hati papa, pa? Padahal, anak papa bukan hanya Amira saja, kan? Aku juga anak papa. Kenapa hanya Amira yang papa bela. Tidak perduli Amira benar atau salah. Yang penting, papa terus berada di pihak Amira apapun yang terjadi.'
'Heh ... sudahlah, Rere. Jangan mengeluh lagi. Kamu sudah terbiasa dengan semua ini, bukan? Sudah terbiasa di acuhkan.'
"Bagaimana, Re? Apa kamu bersedia memenuhi permintaan papa?" Haris kembali berucap karena apa yang ia tanyakan sebelumnya sama sekali tidak mendapatkan jawaban dari Rere.
"Maaf, pa. Untuk permintaan yang ini, aku juga tidak bisa meluluskan nya. Amira dan mas Rohan sudah aku pecat. Tapi tenang saja, aku nggak kejam kok, pah. Aku pecat mereka secara terhormat. Dengan kata lain, mereka masih punya kesempatan masuk ke perusahaan lain jika mereka mau."
Papa Rere langsung memberikan tatapan tajam setelah mendengar apa yang Rere katakan barusan. "Apa kamu bilang? Kamu tetap tidak ingin mengembalikan Amira ke kantor meskipun papa sudah memohon? Terbuat dari apa sih hati kamu itu, Re? Kenapa begitu kejam sekali, hah! Dengan saudara sendiri saja begitu perhitungan."
"Papa cukup. Selama ini, aku sudah cukup banyak bersabar dengan Amira. Sudah terlalu banyak aku mengalah dengannya. Tapi sekarang, aku tidak bisa lagi melakukannya."
"Hah? Kenapa kamu jadi manusia yang semakin keras hari demi hari, Re? Lagian, kenapa juga masalah pribadi kamu campurkan dengan masalah pekerjaan. Ini bukan sikap pemimpin, Rere. Seorang pemimpin perusahaan tidak akan membawa masalah pribadi ke dalam pekerjaannya."
Rere yang kesal sangat ingin membentak papanya dengan suara tinggi. Tapi, dia tidak akan melakukan hal itu. Kesabaran yang ia miliki memang ada batasnya. Namum, jika dia kelewatan batas, itu juga tidak akan baik untuk dirinya.