Setelah menaklukan dunia mode internasional, Xanara kembali ke tanah air. Bukan karena rindu tapi karena ekspansi bisnis. Tapi pulang kadang lebih rumit dari pergi. Apalagi saat ia bertemu dengan seorang pria yang memesankan jas untuk pernikahannya yang akhirnya tak pernah terjadi. Tunangannya berselingkuh. Hatinya remuk. Dan perlahan, Xanara lah yang menjahit ulang kepercayaannya. Cinta memang tidak pernah dijahit rapi. Tapi mungkin, untuk pertama kalinya Xanara siap memakainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yayalifeupdate, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nama di Label, Luka di Hati
Langit memudar dalam warna jingga hangus. Didalam butik yang masih berbau cat dan lem kayu tersebut, Xanara berdiri menatap papan akrilik transparan yang akan segera digantung di fasad depan.
‘XANARA’
Hanya itu, tegas tanpa embel-embel, tanpa atelier, tanpa house of, dan tanpa pretensi. Sebuah nama yang ia ciptakan ulang tapi tak pernah bisa sepenuhnya ia pisahkan dari luka.
Dari belakang, Lucy masuk sambil menyeret koper dan membawa dua gelas kopi dingin.
“kalau kamu tatap huruf-huruf it uterus, papan itu bisa terbakar” Ucap Lucy.
Xanara membalikkan tubuhnya, dia menyambut Lucy dengan senyuman tipis.
“Kadang aku masih berfikir, pantas gak sih nama itu di pajang segede itu?” Tanya Xanara.
“Kalau bukan nama kamu, terus maunya nama siapa? Nama pria yang kamu kagumi? Atau nama keluarga yang gak pernah ada ketika kamu di titik nol?” Ucap Lucy sambil melemparkan diri ke sofa kecil.
Xanara hanya tertawa kecil, namun getir. Lucy pun ikut tertawa lalu menatap lekat Xanara.
“Xa, kamu balik kesini bukan cuma buat buka cabang kan?” Tanya Lucy
Aluna menghela napas, menatap kembali huruf-huruf tersebut.
“Mungkin aku cuma pengen tahu, kalau aku berdiri di tanah yang dulu buang aku, apakah aku masih bisa jadi versi terbaikku?” Jawab Xanara.
Tidak ingin tenggelam bersama luka di masa lalunya, Xanara segera membuka kembali pekerjaannya yang sudah di penuhi potongan kain, sketsa digital dan gulungan benang diatas meja kaca. Lalu disamping meja tersebut berdiri mannequin pria setengah badan yang sudah di tempeli potongan kain navy dan abu-abu.
“Jas untuk Harvey?” tanya Lucy dengan menggigit sedotan minuman.
Xanara mengangguk tanpa menoleh, ia sedang sibuk menyesuaikan jatuh garis bahu dan siluet bagian belakang.
“Dia minta potongan klasik tapia da permintaan khusus, dia gak mau terlihat terlalu pengantin” Ucap Xanara.
“Maksudnya?” Tanya Lucy dengan mengangkat alisnya.
“Dia bilang ingin terlihat seperti dirinya sendiri, bukan seperti pria yang sedang tampil dalam pertunjukan”
“Pria ini menarik juga ya, sedikit dark, dan misterius” Ucap Lucy dengan menyeringai.
Xanara menghela napas, lalu dia menambahkan catatan kecil pada sketsa, lapel setengah lebar, saku tersembunyi, aksen satin di kerah dalam dan tidak mencolok.
“Dia punya taste yang tajam Xa, dan kamu kelihatan terlalu detail untuk klien satu ini”
“Karena dia berbeda. Dia bukan tipikal pria yang sekedar ingin jas mahal, dia ingin jas yang berbicara, yang menyampaikan sesuatu”
“Dan kamu berniat menerjemahkannya?” Tanya Lucy.
“Aku hanya penasaran, seseorang yang katanya akan menikah, tapi tidak ingin terlihat seperti pria yang akan menikah. Sebenarnya sedang menyembunyikan apa dia?” jawab Xanara dengan menatap sketsa miliknya.
Lucy duduk di seberang, mulai memainkan sisa es batunya, sambil tetap menatap Xanara yang tengah sibuk.
“Xa, kamu takut terlibat?”
“Aku tidak boleh terlibat, dia milik orang lain” jawab Xanara tegas.
“Kalau kamu bilang tidak boleh, itu berarti kamu sudah mulai terlibat Xa”
Xanara menelan ludah pelan, dibalik semua garis desain, pola, kain, dan jahitan ada satu hal yang tak pernah bisa di ukur, yaitu perasaan.
Tapi Xanara tahu satu hal, malam itu saat ia menggambar pola punggung jas Harvey, tangannya bergetar sedikit, dan itu bukan karena kopi, tapi karena hati.
Harvey duduk di dalam mobilnya, matanya menatap lembaran sketsa jas yang baru saja Xanara kirim melalui pesan singkat. Ada sesuatu yang berbeda.
Garis-garisnya tegas, elegan, tapi bukan elegan yang menyombongkan diri. Potongan bahuny rapi, jatuhnya tepat dan ada sentuhan kecil nyaris tak terlihat di bagian dalam kerah. Personal, intim, seperti di rancang oleh seseorang yang benar-benar ingin mengenalnya.
Bukan sekedar merancang pakaian, tapi ingin membaca dirinya seperti buku terbuka. Dan itu membuat Harvey terdiam cukup lama.
“Xanara” Gumamnya pelan dengan menyebut nama itu perlahan.
Nama yang melekat di label, di email, di papan depan butik. Nama yang singkat tapi menyimpan banyak tanya.
Harvey memang telah menemui Xanara beberapa hari lalu. Singkat, profesional, tapia da sesuatu dalam caranya memandangg, tenang tapi tajam.
Cara dia mendengar, mencerna, lalu membalas dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak basa-basi.
Xanara Hazel, nama yang asing tapi terasa familiar. Atau mungkin terlalu jujur?
Harvey menyandarkan kepalanya ke kursi mobil. Tunangannya sedang menunggu kabarnya dirumah, tapi anehnya pikiran Harvey malah sibuk bertanya-tanya seperti apa wanita itu saat sedang sendiri di meja desainnya, seperti apa ia saar sedang merancang tanpa distraksi dalam senyap? Dan kenapa rasanya ia ingin tahu lebih banyak.
Harvey memejamkan mata sejenak, lalu tertawa kecil.
“Kagum? Mungkin. Tapi kagum itu berbahaya kalau sudah terikat” Gumam Harvey.
Setelah itu, Harvey menyalakan mesin mobilnya, tapi ada satu hal yang tak bisa ia matikan malam itu yaitu, rasa ingin tahu.