Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Kelopak Elira bergerak, hingga kedua matanya mengerjap-ngerjap karena silau cahaya. Tatapan yang belum sepenuhnya sadar itu menyapu sekeliling.
Tapi, tunggu sebentar.
Elira terbelalak sampai terduduk. Ia baru menyadari sekelilingnya.
"Sial!" umpatnya seraya menyapu pandang ke sekitar. "Bukankah ini-" panik Elira seraya menyingkap selimut. Ia turun dari kasur, lalu berlari ke arah pintu.
"ARSEN BRENGSEK!" jeritnya dengan tangan memukul-mukul pintu.
Ini adalah kamar yang sama seperti saat-saat lalu, saat Elira diculik dan diikat layaknya seorang sandera.
"Bagaimana biss aku ada di sini?" Elira bersandar ke pintu dengan raut berpikir.
Terakhir kali yang ia ingat adalah saat dirinya berendam di bathtub, kemudian terdengar suara gaduh di luar. Dan kala itu, Elira lekas membersihkan dirinya, keluar tergesa dengan kimono handuknya, lalu setelahnya, ia pergi ke kamar, namun ...
"Axel," gumamnya seraya kembali menelusuri ingatannya. Iya, dia ingat saat Axel menyamar jadi salah satu penjaganya dan membopongnya masuk ke dalam kamar.
Lelaki itu memberinya minum ...
"Sshh!" desisnya gawat dengan tatapan membelalak. "Dia membuatku tertidur dalam keadaan aku menggunakan ... handuk?" gumamnya semakin pelan.
Perlahan, Elira menatap tubuhnya.
Ini memang kimono, tapi bentuknya piyama.
"SIAL! TERNYATA KAU CABUL-"
Elira menghalangi dadanya seolah melindungi diri. Matanya terpejam seperti menyesali sesuatu.
"Axel ...," frustrasinya dengan napas tersengal. "apa tujuanmu membuatku pingsan seperti itu?" geram Elira mulai berpikiran yang tidak-tidak.
"Apa dia bersekongkol dengan Arsen?" Elira menggeleng tidak percaya, lalu terkekeh sial. "Hah. Seperti itu caramu bermain?"
Elira mencari sesuatu yang sekiranya bisa membuatnya keluar dari kamar. Namun, di ruangan itu hanya ada tempat tidur dan satu lemari. Tak ada benda lain yang bisa Elira gunakan sebagai alat bantu keluar dari sini.
"Sebenarnya apa yang dia rencanakan," gumam Elira sambil berjongkok mengintip kolong kasur. Ia masih terus mencari sesuatu yang bisa ia gunakan.
Langkahnya mendekat ke lemari. Saat ia hendak membukanya, ternyata tidak terkunci.
"Ck," decaknya. Isi lemari pun sama kosongnya.
Trek.
Elira sontak menoleh. Terdengar suara kunci terputar di luar. Dengan spontan, ia masuk ke dalam lemari.
Ceklek.
Merrick yang baru masuk terkejut. Elira yang mulanya tertidur, kini tak ada di kasurnya. Jelas ia kaget dan panik, khawatir tuannya akan marah besar.
Di dalam lemari, Elira berusaha bernapas selirih mungkin. Sambil mengintip dari celah lemari, ia melihat Merrick mulai mengintip ke kolong kasur.
"Ini saatnya," batin Elira.
BUK!
Elira menendang kepala Merrick hingga terbentur ke sisi ranjang. Lelaki itu meringis dan langsung menoleh ke belakang. "Kau-"
BUK!
"ARGH!"
Elira kembali menendang keras di area lain, saat posisi Merrick yang belum siap untuk melawan balik. Tendangan itu mengenai area paling sensitif untuk lelaki. Merrick terlihat begitu kesakitan.
"Rasakan," umpat Elira lalu mulai melarikan diri.
Buk!
Wanita itu tersungkur dengan posisi tengkurap. Elira meringis, menoleh ke belakang dengan geram. Meski Merrick menderita, ia tak sebodoh itu membiarkannya lepas. Merrick memanfaatkan sebelah tangannya yang menganggur untuk menarik kaki Elira.
"Lepas!" teriak Elira saat tubuhnya tertarik ke belakang. Merrick menariknya hingga ia berhasil mengunci leher Elira dalam rangkulan lengannya.
"Kau sangat merepotkan," geram Merrick.
Krak.
"ARGHHH!"
Elira menggigit lengan Merrick keras sekali, hingga kuncian itu refleks terlepas. Saking kerasnya, lengan pria itu sampai berdarah.
Buk!
Elira tidak lupa menambah luka lain sebelum pergi. Merrick semakin terlihat kesakitan saat lutut wanita itu menghantam tulang pipinya.
"Jangan meremehkanku, Bajingan," peringatnya, lalu berlari keluar kamar.
......................
📍Ruangan lain di Markas Rahasia Arsen
Buk!
"ERGH!"
Tulang kering Axel ditendang hingga membuatnya berlutut di lantai yang dingin. Di ruangan luas yang kosong itu, dalam jarak dua meter Arsen memperhatikan di kursi roda. Gregor terlihat menyiksa Axel dengan keadaan dua tangan dan kakinya yang terikat. Mulai dari menendang, memukul, hingga menamparnya.
"Apakah masih belum cukup?" Gregor bertanya pada Arsen yang meragukan kepihakannya. "Kalau kau mau, aku bisa menembakkan peluru ke kepalanya."
Perkataan itu terasa menusuk jantung Axel. Pria tua itu benar-benar brengsek.
Di sisi lain, Arsen yang sempat terkagum menarik sudut bibirnya. "Jangan," larangnya seraya mengangkat tangan sambil tersenyum miring. "Kau harus menyaksikan drama yang akan datang. Drama antara Tuan Besar, Tuan Putri, dan ...," jedanya dengan tatapan yang tampak meremehkan pada Axel. "Si Pahlawan Kesiangan kesayangan Tuan Putri."
Axel gemertakdalam keadaan tidak berdaya. Dadanya tertoreh muak. Pengkhianatan ini benar-benar menyakitkan. Di sisi lain, ia juga memikirkan kondisi Elira. Teringat Cedric yang marah besar tempo lalu membuatnya merasa bersalah.
Andaikan kala itu Axel lebih berpihak pada Cedric, mungkin Elira tak akan semudah ini tertangkap.
"Tampar pipinya," perintah Arsen tanpa beban, ia masih ingin menguatkan keyakinannya.
PLAK!
Gregor menamparnya tanpa ragu. Axel pun merespons dengan tawa getir. Tamparan barusan memang begitu menyakitkan, namun hatinya jauh lebih terluka karena pengkhianatan keji ini.
"Aku tak sudi ...," ucap Axel akhirnya dengan suara bergetar. "Aku tak sudi, jika tangan-tangan kotor ini menyentuhnya," peringatnya saat teringat Elira.
"T-tuan!"
Semua atensi teralihkan oleh kedatangan Merrick yang terlihat kesakitan. Tulang pipinya terlihat lebam, juga lengannya berdarah.
"Apa yang terjadi?" geram Arsen yang sebenarnya sudah bisa menebak.
"Elira melarikan diri."
Arsen menarik napas dalam sambil memejamkan mata.
"BAWA KEMBALI PEREMPUAN ITU PADAKU!"
Empat orang kelompok The Viper kembali bergerak bersama Merrick, kecuali lelaki berkode A yang di belakang Arsen.
Axel tersenyum puas. "Kalian sesenang itu berpetualang?" kekehnya penuh ejekan. "Satu wanita ternyata cukup membuat kalian kelimpungan."
"DIAMM!" marah Arsen. Area lukanya terasa sakit sejak ia mengeluarkan suara tinggi. "Kau," engahnya. "Kau diam."
Ruangan pun seketika menghening.
Gregor menatap Axel, begitu pun Axel yang membalas tajam tatapannya.