NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Tamat
Popularitas:683
Nilai: 5
Nama Author: funghalim88@yahoo.co.id

Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.

Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.

Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 33 KURSI PANAS

Bunyi bip perekam memecah hening. Lampu putih menyorot meja besi, membuat berkas tampak mengilap. Kursi di punggung Amara terasa dingin, namun telapak tangannya justru hangat oleh keringat.

Penyidik perempuan di hadapannya memperkenalkan diri singkat. “Saya Sari. Di sebelah saya Bima.” Ia menyalakan perekam sekali lagi. “Pemeriksaan dimulai. Saudari Amara, benar Anda penanggung jawab operasional Yayasan Cahaya Anak untuk program kelas desain kreatif.”

“Benar,” jawab Amara, berusaha menahan getar suaranya.

“Dana donatur periode terakhir digunakan untuk apa saja.”

“Alat gambar, bahan kerajinan, honor relawan terlatih, konsumsi anak, serta transport relawan ke lokasi,” papar Amara. Ia menggeser map berisi tabel, kuitansi, dan foto kelas. “Laporan ini telah diaudit.”

Bima mencondongkan tubuh. “Audit bisa salah. Kami tanya spesifik. Kuitansi dari CV Praba Mandiri untuk pembelian seratus set alat gambar. Mengenai ini, apakah Anda membayar.”

Amara menatap lembar yang disodorkan. Kop perusahaan ada, stempel mencolok. Namun ada hal janggal yang menusuk matanya. “Kami tidak pernah bertransaksi dengan CV itu. Kami membeli dari Koperasi Cahaya karena lebih murah. Tanda tangan saya di sini bukan tanda tangan saya. Garis ‘A’ berbeda.”

Sari menaikkan alis. “Anda yakin.”

“Sangat yakin. Ini bukan format pembukuan kami. Nomor itemnya tidak sesuai.”

Sari menandai lembar dengan stabilo. “Catat. Potensi pemalsuan invoice.”

Helaan napas tipis lolos dari dada Amara. Bukan lega, melainkan sejenis keberanian yang tumbuh kecil-kecil. Ia menangkap tatap Sari yang netral namun tidak memusuhi.

“Berikutnya,” Bima menggeser foto-foto kegiatan. “Ada laporan bahwa anak-anak dipaksa tersenyum di depan kamera untuk pencitraan. Ada anak bernama Niko yang konon menangis setelah sesi berlangsung.”

“Dia menangis karena lem perekat panas menyengat jarinya. Kami hentikan kelas, obati, lalu lanjut dengan alat yang aman. Niko bisa Anda tanya langsung.” Amara mengangkat foto hasil karya Niko, pesawat kertas dengan sayap dari bungkus permen. “Ia bangga pada karyanya.”

Sari menatap jam. “Kami juga perlu kronologi distribusi dana harian.”

Amara menyodorkan spreadsheet, indeks warna, dan buku catatan kegiatan. Tangannya bergetar, tapi penjelasannya rapi. Setiap tanggal punya saksi, beberapa bahkan dilengkapi stempel kehadiran relawan. Sari menoleh ke Bima, memberi anggukan kecil seolah berkata data ini layak diverifikasi.

Pintu terbuka sesaat. Seorang jaksa muda muncul, menaruh dua map di meja, lalu pergi lagi. Sari menatap berkas baru itu, kemudian ke Amara. “Ada keterangan tertulis dari pelapor yang menyatakan Anda pernah menarik dana tunai dalam jumlah besar di ATM malam hari.”

Amara tertegun. “Tidak pernah. Kebijakan kami melarang penarikan tunai di luar jam kerja. Transaksi selalu nontunai.”

“Pelapor mengaku melihat sendiri,” ujar Bima.

“Siapa pelapornya,” tanya Amara.

“Dalam berkas tercatat identitas, namun belum bisa kami buka di tahap ini.” Sari menutup map, lalu memutar perekam ke arah Amara. “Kami bisa panggil saksi untuk konfrontir setelah sesi ini.”

Di luar, Bagas berdiri dengan rahang mengeras. Advokat pendamping, Mira, berdiri di sampingnya. “Sebagai saksi, klien Anda berhak ditemani,” kata Mira pelan.

“Jika mereka mengizinkan,” sahut Bagas, menatap pintu. “Yang penting dia tenang.”

Telepon Bagas bergetar. Pesan dari Damar, wartawan yang pernah menyerang. Judul draf berita berani menampar mata: “Amara Diperiksa sebagai Tersangka.” Damar menulis, bisa menahan rilis dua jam jika ada klarifikasi.

Bagas mengetik balasan cepat. “Status saksi. Tulis akurat. Tanggung jawabmu sebagai jurnalis.”

Di dalam, Sari berpindah ke topik lain. “Kami butuh akses ke laptop kerja yayasan, ponsel yang digunakan untuk komunikasi dengan donatur, serta salinan data cadangan.”

Amara mengangguk, mengeluarkan USB dari saku jaket. “Ini salinan bersih. Semua file terlabel tanggal.” Ia menatap alat perekam, menelan ludah. “Kami tidak menyembunyikan apa pun.”

Sari menerima USB itu. “Baik. Ini mempercepat.”

Pintu kembali terbuka. Seorang pria berkacamata, bercelana kain dan kemeja rapi, masuk diantar petugas. Usianya sekitar tiga puluh lima. Sari mengenalkannya sebagai saksi pelapor tambahan untuk sesi konfrontasi singkat. “Dr Ananta, dosen di kampus Anda,” ujar Sari.

Nama itu mengiris udara. Amara memutar ingatan. Dosen baru yang sering bersimpati pada Selvia di forum. Ananta duduk, berdeham seolah sedang membuka kelas.

“Saya melihat Amara di ATM dekat kampus sekitar pukul dua puluh satu. Ia menarik dana beberapa kali,” kata Ananta datar.

“Tanggal berapa,” tanya Sari.

“Dua minggu lalu,” jawabnya.

Amara menatap lurus. “Dua minggu lalu pukul dua puluh satu saya berada di rumah aman bersama ibu saya. Ada catatan penjagaan dan log CCTV perumahan. Selain itu, kartu yayasan memiliki limit tarik tunai nol. Anda dosen, Pak. Anda paham pentingnya bukti. Anda mengaku melihat, atau hanya mendengar.”

Ananta mengejap, sekilas gugup, lalu mengencangkan rahang. “Saya melihat dari mobil.”

“Plat mobil Anda tercatat di parkir ATM?” tanya Bima.

Ananta terdiam sejenak. “Saya tidak masuk area parkir.”

Sari menulis sesuatu. “Kami akan cek CCTV ATM dan data parkir. Terima kasih, Dr Ananta. Untuk sementara cukup.”

Ananta berdiri. Tatapannya beralih ke Amara sejenak. Ada sesuatu yang tidak tenang di matanya. Pintu tertutup di belakangnya.

Sari mematikan perekam sejenak, memberi waktu minum. “Saudari Amara, kami lanjut lima belas menit lagi. Anda masih sanggup.”

“Sanggup,” jawab Amara singkat. Tenggorokannya kering, tetapi pandangannya tidak lagi berbayang. Ia menoleh pada berkasnya, merapikan kertas dengan gerak kecil yang menenangkan.

Sesi berikutnya berfokus pada tanda tangan. Sari menunjukkan tiga spesimen. Dua di antaranya memang milik Amara, satu lagi jelas dipalsukan. “Perhatikan lengkung huruf M dan tekanan di huruf r,” ucap Sari.

“Bukan milik saya,” tegas Amara.

Bima mencatat. “Baik. Kami akan kirim ke laboratorium forensik dokumen.”

Sari menyalakan perekam lagi untuk penutup. “Saudari Amara, apakah ada yang ingin Anda luruskan.”

Amara menatap lensa kecil perekam seakan menatap mata publik. “Saya tidak sempurna, tapi saya tidak berbohong. Yayasan ini berdiri untuk anak-anak. Jika saya harus datang setiap hari untuk menjelaskan, saya akan datang. Yang saya minta hanya proses yang adil.”

Sari mematikan perekam dan menutup map. “Sesi hari ini selesai. Anda masih berstatus saksi. Kami akan memanggil kembali setelah verifikasi.”

Amara berdiri. Lututnya sempat goyah, namun langkahnya stabil saat keluar. Lorong tampak lebih panjang daripada saat ia masuk. Bagas menegakkan tubuh, melangkah cepat menghampiri. Mira mengangguk singkat, memberi ruang pada keduanya.

“Bagaimana,” tanya Bagas pelan.

“Data kita diterima. Mereka mencatat potensi pemalsuan invoice,” jawab Amara. “Ada saksi pelapor, Dr Ananta.”

Mata Bagas menggelap sepersekian detik. “Baik. Kita siapkan bantahannya. CCTV ATM, log perumahan, dan setelan limit kartu. Semua kita tarik hari ini.”

Amara mengangguk. “Aku sanggup.”

Di luar gedung, deretan kamera dan mikrofon menunggu. Damar merangsek paling depan. “Status Anda, Bu Amara.”

“Saksi,” jawab Amara jelas. “Dan kami menyerahkan seluruh data pendukung secara terbuka.”

“Apakah benar Anda menarik dana tunai malam-malam,” tanya wartawan lain.

“Tidak,” jawab Amara. “Kami menolak transaksi tunai di luar jam kerja. Silakan cek kebijakan yayasan.”

Lampu kamera menyilaukan, namun suara Amara tidak pecah. Bagas berdiri setengah langkah di sisi kirinya, tidak menyentuh, namun kehadirannya seperti dinding.

Setelah kerumunan pecah, Mira mendekatkan ponsel pada Bagas. “Ini bocoran dari rekan di dalam,” bisiknya. Layar menampilkan sebuah memo internal: rencana pemanggilan saksi berikutnya, tertulis samar nama Livia, mantan relawan baru, dan satu baris yang membuat darah Amara mendingin, perwakilan keluarga pelapor.

“Perwakilan keluarga siapa,” tanya Amara, meski hatinya sudah menebak.

“Tidak disebut,” kata Mira.

Bagas memandang lurus ke depan. “Kalau itu jalurnya, kita hadapi. Tidak ada kejutan yang tidak bisa kita persiapkan.”

Amara mengangguk, namun ponselnya bergetar. Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal. Kalimatnya pendek, namun membuat perutnya mual. Jangan sebut namaku besok, atau ibumu yang menanggung akibatnya.

Dunia berputar sepersekian. Ia menatap Bagas. “Mereka mengancam Ibu.”

Bagas meraih ponsel itu, matanya mengeras. “Kita pindahkan Ibu malam ini juga. Arman siap.” Ia menatap Amara, suaranya menurun, tebal dan mantap. “Kau tidak sendirian.”

Amara menarik napas panjang. Di kejauhan, langit menggelap, awan menumpuk seperti tembok. Ia merasakan takut menyusup dari sela-sela keberaniannya, namun ada sesuatu yang menahan agar tidak runtuh. Ia memeluk map berisi bukti seakan memeluk dirinya sendiri.

“Besok mereka panggil saksi keluarga,” ucapnya lirih.

“Biarkan mereka bicara,” jawab Bagas. “Kita siapkan kebenaran untuk menjawabnya.”

Amara menatap pintu gedung kejaksaan sekali lagi. Di balik pintu itu, rekaman suaranya tersimpan, dan di luar pintu ini, seseorang sedang mengatur ancaman. Dua dunia saling menarik. Ia tahu jalannya belum akan tenang, namun ia juga tahu suaranya sudah terlanjur hidup.

Ia membuka buku catatan kecil di dalam tas dan menulis satu baris tegas sebelum mobil bergerak.

Kebenaran bernapas panjang. Aku akan belajar bernapas seirama dengannya, apa pun yang mereka lakukan esok hari.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!