Sebuah pernikahan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Digoda oleh teman.
Anindya memperhatikan wajah Rosalina yang sembab akibat menangis. Tapi wanita itu sama sekali tidak menjawab pertanyaannya.
Hingga kemudian, Rosalina pun menatap Anindya dengan bola mata sendu, dan berkata...
"Kedua orang tua saya sudah tiada, Bu. Ibu dan Bapak saya sudah meninggal karena kecelakaan."
Perkataan Rosalina itu membuat Anindya ber istighfar.
"Astaghfirullahal'adzim. Ya Allah. Lina... Maafkan saya ya? Saya tidak bermaksud membuatmu sedih!" ujar Anindya merasa menyesal dan bersalah.
Namun Rosalina segera menggelengkan kepalanya.
"Iya Bu, tidak apa-apa." jawab Rosalina lagi.
Setelah itu, Anindya pun mengusap lembut punggung tangan Rosalina.
"Ya sudah Lin. Sekarang sebaiknya kamu istirahat dulu ya? Jangan mengerjakan apapun seperti tadi. Karena saya nggak mau kamu menjadi pingsan lagi. Walau bagaimana pun, kondisi kamu itu masih sangat lemah. Jadi kamu tiduran saja sampai kamu merasa baikan."
Rosalina terdiam mendengar perkataan Anindya. Sorot matanya memancarkan sebuah rasa terimakasih yang tidak terhingga pada perempuan paruh baya berhati baik itu.
"Iya Bu. terimakasih banyak ya Bu? Ibu sudah terlalu baik pada saya, padahal saya ini bukan siapa-siapa Ibu. Kalau saja keluarga dan saudara dari kedua orang tua saya ada dikota ini, mungkin saya tidak akan membuat Ibu repot seperti ini. Tapi sayangnya, kedua orang tua saya dulunya merantau kekota ini, jadi tidak ada kerabat ataupun saudara yang bisa saya datangi dari pihak mereka."
Anindya menatap Rosalina lekat-lekat, bola matanya berkaca-kaca karena dihantam rasa kasihan yang mendalam. Hatinya yang lembut seolah ikut tersayat mendengar pengakuan tulus dari bibir gadis itu. Ia bisa merasakan betapa sepinya hidup Rosalina tanpa orang tua maupun kerabat yang bisa dijadikan sandaran.
Tangannya yang tadi menggenggam lembut punggung tangan Rosalina kini sedikit menguat, seolah ingin memberikan kekuatan yang selama ini mungkin tidak pernah dirasakan gadis itu lagi.
"Ya Allah, Lin…" suara Anindya tercekat,
"Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya kehilangan orang tua di usia sepertimu. Kamu pasti sudah berusaha kuat selama ini. Tapi mulai sekarang, kamu jangan merasa sendiri lagi ya, Nak?"
Rosalina memandangnya dengan tatapan bingung, air mata menitik secara perlahan di sudut matanya.
"Maksud Ibu…?"
Anindya menarik nafas panjang, lalu tersenyum tulus, meski senyum itu ikut dibalut dengan perasaan haru.
"Anggap saya keluarga kamu, Lin. Anggap saya ini seperti ibumu sendiri. Kamu boleh bercerita apa saja dan mengadu apa saja pada saya. Jangan pernah kamu merasa sungkan atau takut membuat saya repot. Karena mulai hari ini, rumah ini akan selalu menjadi tempat untuk kamu berlindung."
Ucapan itu membuat dada Rosalina bergetar hebat. Selama ini, ia hanya tahu bagaimana caranya menahan beban sendiri, dan juga mengobati luka sendiri, tanpa pernah mengharapkan seseorang datang untuk menenangkannya.
Tapi hari ini, seorang perempuan yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali menawarkan kasih sayang sehangat seorang ibu, disaat ia merasa hidupnya sudah tidak berharga lagi. Apalagi setelah mengetahui jika Handrian telah menghamili wanita lain.
Rosalina menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, dan air matanya tiba-tiba pecah tanpa bisa ditahan.
"Bu… jangan bilang begitu, nanti saya semakin terbiasa bergantung pada Ibu. Saya takut Ibu menjadi menyesal karena terlalu peduli pada saya."
Mendengar hal itu, Anindya segera meraih bahu Rosalina, kemudian menariknya ke dalam pelukan yang penuh kehangatan.
"Tidak akan pernah saya menyesal, Nak. Kamu dengar? Justru saya yang sangat bersyukur, karena Allah mempertemukan saya denganmu. Mungkin ini cara-Nya memberi saya kesempatan untuk berbuat lebih banyak kebaikan. Jadi mulai sekarang, jangan pernah kamu merasa sendirian lagi."
Rosalina hanya bisa terisak didalam pelukan itu, seraya membiarkan air matanya jatuh di pundak Anindya. Hatinya bergetar karena dipenuhi oleh rasa syukur yang tidak terucapkan.
"Terimakasih, Bu… terimakasih banyak," ucap Rosalina dengan suara parau, namun penuh keikhlasan.
Anindya tersenyum sambil mengusap rambut Rosalina yang basah oleh keringat dingin.
"Sudah, sudah… sekarang kamu harus istirahat. Saya tidak mau kamu sakit lagi. Ingat, mulai hari ini kamu punya saya. Kamu tidak akan pernah sendiri lagi."
Rosalina menanggapi ucapan Anindya dengan senyum tulus, tapi kemudian, raut wajahnya terlihat murung seperti sedang memikirkan sesuatu. Membuat Anindya menatap heran kearahnya.
"Lina! Kamu kenapa? kok kamu jadi kelihatan sedih lagi seperti itu? Apa yang kamu fikirkan? Mulai sekarang kamu tidak perlu memikirkan apapun lagi, karena rumah saya ini akan selalu aman untukmu."
Rosalina tersenyum lagi mendengar hal itu, namun senyumnya kini lebih mirip seperti senyum yang dipaksakan. Kemudian ia pun berkata pada Anindya.
"Bu, saya tahu Ibu begitu baik buat saya! Tapi rasanya saya tidak bisa tinggal terlalu lama disini?"
Ucapan yang keluar dari mulut Rosalina itu, Membuat Anindya mengerutkan kening.
"Maksudmu apa, Lina? Kok kamu berbicara seperti itu? Saya kan sudah bilang sama kamu, kalau kamu harus menganggap rumah saya ini seperti rumah kamu sendiri. Tapi kenapa sekarang kamu malah berkata seperti ini?"
Rosalina terdiam sejenak. Lalu ia menjawab kembali sambil menundukkan wajahnya, dan juga meremas jemarinya sendiri.
"Tapi saya merasa tidak enak sama Mas Raka, Bu! Saya tahu, kalau dari semalam saat Ibu bilang menemukan saya pingsan didepan pintu gerbang rumah Ibu ini, Mas Raka terlihat tidak nyaman dengan kehadiran saya." Rosalina mengatakan hal itu dengan hati yang merasa sedikit tidak enak. Apalagi orang yang ia bicarakan itu adalah putra kandung Anindya sendiri.
Anindya tersenyum lembut, meski ia bisa merasakan kegelisahan dari nada suara Rosalina. Tangannya kembali menggenggam erat jemari gadis itu, dan berusaha menyalurkan ketenangan.
"Oh… jadi soal Raka, ya?" ucap Anindya pelan, namun penuh keyakinan.
"Kamu tidak perlu merasa khawatir, Nak. Raka memang begitu sifatnya. Dari luar dia terlihat dingin, kaku, bahkan seolah tidak peduli dengan orang lain. Tapi sebenarnya, anak itu punya hati yang jauh lebih hangat daripada yang bisa kamu bayangkan. Dia hanya butuh waktu untuk bisa menerima kehadiran orang baru di sekitarnya."
Anindya menarik nafas sebentar, lalu melanjutkan dengan senyum yang lebih hangat.
"Kamu lihat saja, Lina… kalau sudah akrab nanti, justru kamu yang akan kewalahan menghadapi sikapnya. Dia bisa cerewet dengan caranya sendiri, dan diam-diam sangat memperhatikan orang-orang yang ada di dekatnya. Jangan menilai Raka hanya dari tatapan dinginnya. Karena di balik itu, ada sisi lembut yang tidak mudah dia tunjukkan. Jadi, tolong… jangan merasa tidak enak hati tinggal di sini hanya karena kamu khawatir dengan sikapnya. Biarlah waktu yang akan membuatmu melihat siapa Raka sebenarnya."
Ucapan Anindya membuat Rosalina terdiam, dan tidak ingin mengatakan apapun lagi, mengenai perasaannya yang tidak enak pada sikap Raka yang datar.
*****
Raka duduk di balik meja kerjanya yang besar dan rapi. Ruangannya bergaya modern dengan dinding kaca besar yang menampilkan panorama kota.
Jas hitam yang ia kenakan menggantung rapi di sandaran kursi, sementara dasinya sudah ia longgarkan. Namun meski terlihat tenang, wajahnya justru menyimpan kerut kusut yang sulit untuk ia sembunyikan.
Sedari tadi, fikirannya terus saja kembali pada kejadian pagi tadi. Bagaimana tubuh mungil Rosalina tiba-tiba terjatuh ke dalam pelukannya.
Raka mendengus kesal kala mengingat wajah Rosalina.
"Kenapa harus jatuh ke arahku, sih…? Hah, menyebalkan." gumamnya pelan, sambil menyandarkan kepalanya ke kursi.
"Mama itu benar-benar… bisa-bisanya membawa orang asing masuk ke rumah. Dan sekarang… gadis itu malah membuat semuanya jadi kacau."
Belum sempat ia menenangkan diri, tiba-tiba saja pintu ruangannya diketuk dari luar lalu terbuka. Seorang pria berperawakan tegap masuk dengan wajah penuh senyum.
Pria adalah Arvin, salah satu manajer muda di perusahaan sekaligus sahabat dekat Raka sejak kuliah.
"Bro… kenapa muka lo kusut banget pagi-pagi begini? Perusahaan kita lagi aman-aman aja kok," ucap Arvin sembari berjalan santai ke arah sofa yang ada disudut ruangan.
Raka melirik tajam karena malas menanggapi. Namun Arvin yang sudah terbiasa dengan sikap dinginnya justru semakin penasaran.
"Eh, jangan-jangan… ada urusan rumah, ya?" tanya Arvin sambil terkekeh, lalu ia menambahkan dengan nada menggoda.
"Lo ketahuan telat bangun lagi gara-gara keasyikan mikirin calon istri?"
Raka hanya mendengus keras mendengar ucapan itu.
"Jangan berisik, Vin. Gue lagi nggak ingin bercanda."
Arvin malah mengangkat alisnya dan kembali berbicara.
"Loh, beneran serius nih? Muka lo seperti orang yang kejatuhan meteor. Ceritain aja, siapa tahu gue bisa bantu."
Raka akhirnya menepuk meja kerjanya dengan keras, lalu menatap Arvin yang kini tertawa menahan diri.
"Gue nggak suka ada orang asing tinggal di rumah gue, ngerti? Mama semalam menemukan seorang gadis yang pingsan didepan rumah. Dan… entah kenapa, malah gue yang disuruh mengangkat tubuhnya."
Arvin mengangguk-angguk, dan berpura-pura serius mendengar cerita Raka, padahal sudut bibirnya nyaris terangkat akibat menahan tawa.
"Terus… pagi ini lo ketemu lagi sama dia?" pancing Arvin.
Raka menghela nafas berat, lalu mengusap wajahnya dengan kasar.
"Lebih parah dari itu. Tadi pagi gue balik sebentar ke rumah karena ketinggalan dompet, eh tiba-tiba gadis itu jatuh lagi. Dan sialnya… jatuhnya pas banget ke pelukan gue."
Kali ini, tawa Arvin benar-benar meledak keras.
"Hahahaha! Ya ampun, Raka! CEO dingin, jutek, dan anti dekat dengan wanita, tiba-tiba saja menjadi penolong putri pingsan? Itu kejadiannya klise banget kayak drama Korea loh Raka, sumpah!"
Tapi Raka langsung menatap Arvin dengan tatapan membunuh.
"Vin, gue serius."
Namun tawa Arvin malah semakin menjadi-jadi. Ia sampai menepuk-nepuk pahanya, sekaligus menahan perutnya yang sakit.
"Astaga… jadi lo sekarang merasa resah gara-gara sentuhan kecil, begitu? Jangan-jangan, sekarang lo mulai ngerasa deg-degan juga ya?"
"Vin…!" Raka menggeram dengan wajah yang memerah, karena menahan malu sekaligus kesal.
Sementara itu, Arvin segera bangkit dari sofa, dan mendekat kearah meja, lalu mencondongkan tubuhnya sambil tersenyum nakal.
"Lo nggak usah pura-pura nggak suka, Rak. Dari cara lo cerita aja, gue bisa nangkep kalau sebenernya ada yang membuat hati lo… agak bergetar."
"BRAK!"
Raka dengan cepat melepas sepatu kulitnya yang mengkilap, lalu melempar satu ke arah Arvin. Namun sayangnya, sahabatnya itu cukup gesit untuk menghindar.
"Hahaha! Nggak kena!" seru Arvin sambil menjulurkan lidah.
Dan dengan wajah yang penuh kelicikan, ia malah mengambil sepatu yang dilempar oleh Raka, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Wih, sepatu CEO mahal, boleh juga nih buat koleksi gue!"
"VIN! Balikin sekarang juga!" Raka berteriak, dan langsung berdiri dengan wajah kalap.
Tapi Arvin justru berlari ke arah pintu dengan sepatu itu.
"Ambil sendiri kalau berani, Bro!" ucapnya sambil benar-benar berlari keluar ruangan.
Dan tanpa fikir panjang, Raka pun menyusul sahabatnya. Namun sialnya ia hanya mengenakan satu sepatu. Alhasil, Raka harus berjalan berjinjit dan setengah berlari, sambil teriak-teriak di koridor lantai eksekutif perusahaan.
"ARVIN! BALIKIN SEPATU GUE, KURANG AJAR LO."
Sedangkan Arvin terus tertawa dan sesekali terlihat berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil.
Pemandangan itu langsung membuat beberapa staf yang lewat menutup mulut menahan tawa. Karena mereka jarang sekali melihat CEO mereka yang biasanya dingin dan tidak tersentuh, kini berubah seperti bocah yang sedang dipermainkan oleh temannya sendiri.
Bersambung...
Love you mba Sriii 😘😍