Lian, gadis modern, mati kesetrum gara-gara kesal membaca novel kolosal. Ia terbangun sebagai Selir An, tokoh wanita malang yang ditindas suaminya yang gila kekuasaan. Namun Lian tak sama dengan Selir An asli—ia bisa melihat kilasan masa depan dan mendengar pikiran orang, sementara orang tulus justru bisa mendengar suara hatinya tanpa ia sadari. Setiap ia membatin pedas atau konyol, ada saja yang tercengang karena mendengarnya jelas. Dengan mulut blak-blakan, kepintaran mendadak, dan kekuatan aneh itu, Lian mengubah jalan cerita. Dari selir buangan, ia perlahan menemukan jodoh sejatinya di luar istana.
ayo ikuti kisahnya, dan temukan keseruan dan kelucuan di dalamnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Api unggun yang tadinya berkelip-kelip perlahan meredup, meninggalkan aroma asap yang tipis. Suasana di gua menjadi sunyi, hanya terdengar napas berat para prajurit bayangan yang sedang beristirahat. Mereka semua kelelahan setelah pertempuran panjang di hutan kabut.
Lian duduk bersandar pada dinding batu, wajahnya pucat. Ia sempat mencoba tersenyum menenangkan Yuyan, tapi tak lama kemudian matanya berkunang-kunang. Dunia seolah berputar, tubuhnya tak kuat lagi menahan beban.
“Nona An!” seru Yuyan panik saat tubuh Lian limbung.
Chen Yun yang duduk tak jauh segera melompat dan menangkapnya sebelum jatuh membentur batu. “Lian!” suaranya parau, napasnya tercekat.
Liu Ning ikut mendekat, segera memeriksa denyut nadi Lian. Wajahnya menegang. “Dia… tidak sadarkan diri. Tapi nadinya masih berdenyut. Keadaannya aneh.”
“Aneh bagaimana?” Chen Yun menatap penuh kecemasan.
“Seperti tubuhnya tertidur, tapi jiwanya… sedang pergi jauh,” jawab Liu Ning dengan nada serius.
Yuyan menitikkan air mata, menggenggam tangan tuannya erat-erat. “Nona, jangan tinggalkan aku…”
Chen Yun menoleh cepat. “Kita tidak bisa gegabah. Sembunyikan pintu gua, jangan sampai musuh tahu kita di sini. Selagi dia seperti ini, dia tidak boleh diganggu.”
Para prajurit bayangan segera bergerak menutup mulut gua dengan ranting dan batu agar tak terlihat dari luar. Mereka semua lalu duduk berjaga, suasana penuh kekhawatiran.
Yuyan tetap memeluk tubuh Lian, seolah jika ia melepaskannya, gadis itu akan pergi selamanya.
---
Dunia Bawah Sadar Lian
Kegelapan menyelimuti. Tak ada cahaya, tak ada suara, hanya hampa tak berujung.
Lian melayang sendirian di ruang itu, tubuhnya ringan seperti bulu. Ia menoleh ke kiri dan kanan, tapi tak menemukan jalan keluar. “Di mana aku?” bisiknya, suaranya menggema jauh.
Tiba-tiba, dari kegelapan muncul cahaya keemasan lembut. Dari dalam cahaya itu, seorang kakek tua berjubah putih panjang muncul perlahan. Rambut dan janggutnya memutih, namun sorot matanya jernih bagai bintang.
“Kau akhirnya datang, anak muda,” ucap kakek itu dengan suara bergema, dalam namun menenangkan.
Lian terkejut. “Siapa kau? Kenapa aku ada di sini?”
Kakek itu tersenyum samar. “Aku hanyalah penjaga warisan lama. Kau dipanggil kemari karena langit telah memilihmu. Kau tidak hanya hidup untuk membalas dendam atau menebus masa lalu. Kau hidup… untuk mengguncang takdir.”
Lian mengerutkan kening. “Mengguncang takdir?”
Kakek itu mengangkat tongkatnya. Seketika kegelapan berubah menjadi ruang luas, seperti sebuah aula kuno. Dindingnya penuh dengan pahatan tentang pertempuran, ribuan prajurit beradu pedang, naga terbang di langit, dan pahlawan yang berdiri tegak menantang dunia.
Di tengah aula, terdapat sebuah meja batu. Di atasnya tergeletak sebuah kitab tua berwarna hitam dengan sulaman emas. Huruf-huruf kuno menyala samar di sampulnya.
Kakek itu menunjuk kitab tersebut. “Inilah Kitab Pondasi Langit. Kitab yang berisi dasar dari segala jurus dan ilmu beladiri. Barang siapa memahami pondasinya, maka ia bisa mempelajari semua aliran, semua gaya, semua teknik… dan menjadikannya miliknya sendiri.”
Lian melangkah mendekat, matanya membesar. “Aku… bisa mempelajarinya?”
“Tidak hanya mempelajari,” jawab sang kakek, “tapi memahami. Kau tak perlu menghafal ribuan jurus. Cukup pahami pondasinya, dan kau akan mampu menciptakan jurus baru yang tak terkalahkan.”
Lian menatap kitab itu lama. Tangannya gemetar saat menyentuh sampulnya. Begitu ia membuka halaman pertama, huruf-huruf kuno itu berkilau dan melayang ke udara, menyatu masuk ke dalam tubuhnya.
Sekejap, pikirannya dipenuhi gambaran ribuan gerakan, pukulan, tebasan, langkah kaki, aliran tenaga dalam. Semuanya menyatu, tidak lagi terpisah.
Ia terhuyung, hampir jatuh. Namun kakek itu menopangnya dengan tongkatnya. “Jangan melawan. Biarkan ilmu itu mengalir dalam dirimu.”
Lian memejamkan mata, menarik napas panjang. Perlahan, ribuan jurus itu menyatu dalam dirinya menjadi satu pondasi kokoh. Seperti bangunan besar dengan dasar yang tak tergoyahkan.
Saat membuka mata lagi, sorotnya jauh lebih tajam.
“Aku… mengerti.” ujar Lian
Kakek itu tersenyum puas. “Bagus. Sekarang, waktunya kau menerima yang berikutnya.”
Dengan sekali hentakan tongkat, lantai batu retak, dan dari dalam celah muncul sebuah pedang panjang bersinar keemasan. Pedang itu ramping, bilahnya berkilau seakan dibuat dari cahaya bintang.
“Ini…” Lian terpesona.
“Pedang Langit,” ujar sang kakek penuh wibawa. “Pedang ini hanya bisa digunakan oleh mereka yang benar-benar memahami pondasi. Ia akan menuruti hatimu, menjadi bagian dari jiwamu. Namun ingatlah… pedang ini memiliki pasangan.”
“Pasangan?” Lian mengulang dengan bingung.
Kakek itu mengangguk. “Ada pedang kembarannya. Dan suatu hari, pemegang pedang itu akan datang kepadamu. Dia akan menjadi pasangan abadi dalam perjalananmu. Bersama-sama, kalian berdua akan menjadi tak terkalahkan. Itu adalah takdir yang sudah ditulis.”
Lian terdiam, dada berdebar. Kata-kata itu mengguncang hatinya. "Pasangan abadi? Siapakah orang itu?"
Kakek itu menatapnya dalam-dalam. “Gunakan warisan ini dengan bijak. Ingat, kekuatan tanpa hati yang murni hanya akan membawa kehancuran. Kau bukan hanya belajar untuk membalas dendam… tapi untuk melindungi.”
Cahaya di sekeliling mereka mulai memudar. Aula kuno itu perlahan lenyap, kembali menjadi kegelapan.
Suara sang kakek menggema terakhir kali. “Bangkitlah, pewaris Pedang Langit. Dunia sedang menunggu langkahmu.”
---
Dua Hari di Dunia Nyata
Sementara itu, di gua, Lian masih tak sadarkan diri. Tubuhnya terbaring tenang di samping api unggun.
Sudah dua hari ia dalam keadaan itu. Yuyan hampir setiap jam menangis di sisinya, menggenggam tangan tuannya erat-erat.
“Nona… bangunlah… aku mohon…”
Chen Yun tak pernah jauh. Ia selalu duduk menjaga di sisi Lian, bahkan saat yang lain bergantian tidur. Matanya merah karena kurang tidur, tapi ia menolak untuk beristirahat.
Liu Ning berulang kali memeriksa, namun hanya bisa berkata, “Tubuhnya baik-baik saja. Denyut nadinya stabil. Tapi jiwanya… masih di tempat lain.”
Para prajurit bayangan resah. Mereka berbisik, “Kalau Nona An tidak bangun, bagaimana nasib kita? Dialah yang membawa harapan.”
Chen Yun mendengar, lalu menatap mereka tajam. “Jangan ragukan dia. Dia lebih kuat daripada yang kalian kira.”
Namun di dalam hatinya, ia pun cemas. Setiap kali menatap wajah pucat Lian, dadanya terasa sesak. Ia ingin mengguncangnya agar sadar, tapi juga tahu bahwa ini bukan sekadar tidur biasa.
Malam kedua, saat semua terlelap, Chen Yun masih terjaga. Ia menatap wajah Lian yang tenang, lalu bergumam pelan, hampir seperti bisikan.
“Apapun yang kau hadapi di sana… kembalilah. Aku butuh kau di sini. Jangan tinggalkan kami.”
Seakan mendengar bisikan itu, jemari Lian sedikit bergerak.
Chen Yun sontak terkejut. “Lian?”
Yuyan yang tertidur di pangkuannya terbangun, matanya berbinar. “Nona?!”
Perlahan, kelopak mata Lian bergetar… lalu terbuka.
---
Kembali ke Dunia
Cahaya api unggun pertama yang dilihat Lian membuat matanya silau. Ia berkedip, mencoba menyesuaikan diri.
“Nona!” Yuyan langsung memeluknya erat. Air matanya bercucuran. “Aku kira kau tak akan bangun lagi!”
Chen Yun menghela napas panjang, senyum lega merekah di wajahnya meski matanya basah. “Kau… akhirnya sadar.”
Lian menatap sekeliling. Semua prajurit bayangan berdiri, wajah mereka lega sekaligus terharu.
Ia menyentuh dadanya sendiri, merasakan kekuatan baru berdenyut dalam tubuhnya. Senyum tipis muncul di bibirnya.
“Aku baik-baik saja,” ujarnya lirih. “Lebih baik dari sebelumnya.”
Liu Ning menatapnya tajam, seakan menyadari ada yang berbeda. “Matamu… lebih dalam dari sebelumnya. Kau… mendapatkan sesuatu, bukan?”
Lian menatapnya, lalu menunduk. Ia tak bisa menceritakan semuanya.
Namun ia juga tahu satu hal lain kata-kata sang kakek tentang pasangan abadi.
"Siapakah pemegang pedang itu? Dan kapan ia akan muncul?"
Lian menggenggam tangannya erat, bertekad. Apapun yang menunggu, ia tidak akan gentar.
Bersambung…
seorang kaisar yang sangat berwibawa yang akan menjadi jodoh nya Lian