Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11. KETAHUAN
Empat bulan bukanlah waktu yang panjang dalam hitungan sejarah sebuah desa. Namun bagi Desa Waringin, empat bulan terakhir terasa seperti pergantian zaman. Seolah desa yang tadinya dipenuhi kelaparan, tangis, dan wajah-wajah muram itu telah lahir kembali menjadi sebuah oase yang menolak mati di tengah tanah jajahan yang kian diperbudak oleh kompeni.
Sejak kedatangan Aruna, seorang perempuan dengan tatapan mata bening dan tangan yang seakan membawa kesuburan, segalanya berubah. Ia datang bukan sebagai ratu, bukan pula sebagai pemuka agama yang berceramah tentang surga dan neraka, melainkan sebagai pengetahuan itu sendiri, sebagai kehidupan yang membisikkan harapan baru pada tanah dan manusia.
Di pagi hari, saat matahari baru saja merekah dan kabut tipis masih menyelimuti hamparan sawah, anak-anak berlarian di jalan desa yang dulu berlumpur dan becek. Kini jalan itu padat dan bersih, diapit pagar hidup dari tanaman bunga dan perdu yang mereka tanam sendiri. Gelak tawa anak-anak terdengar bagaikan musik, menepis jauh kenangan akan jeritan lapar dan perut kempis yang dulu begitu biasa terdengar.
Para pria, yang sebelumnya tak lagi punya gairah untuk mencangkul tanah kering, kini bekerja dengan semangat yang seolah tak pernah padam. Keringat mereka jatuh ke tanah, bercampur dengan doa dan rasa syukur. Sawah yang sempat terbengkalai kini hijau terisi padi muda, ladang-ladang kecil dipenuhi jagung yang batangnya menjulang, dan di kebun halaman rumah, tanaman sayur tumbuh dengan rimbun: bayam, kacang panjang, kangkung, cabai, bahkan tomat yang buahnya merah ranum menggantung.
Para wanita, yang sebelumnya hanya duduk lesu di bilik rumah reot sambil menatap perapian yang kosong, kini bangkit menjadi tulang punggung keseharian. Mereka mengurus rumah dengan riang, membersihkan pekarangan, menyiangi tanaman, dan menjemur hasil panen di bawah matahari. Tak ada lagi wajah yang pucat kelaparan. Pipi mereka mulai berisi, kulit tak lagi kusam, dan senyum mereka kembali merekah seperti bunga liar yang tumbuh setelah hujan panjang.
Namun dari semua perubahan itu, yang paling menggetarkan hati adalah keberhasilan Aruna memerkenalkan bibit kentang liar yang ditemukannya di hutan. Pada awalnya, warga meragukan tanaman itu. Mereka bertanya-tanya: apa bisa umbi kecil yang asing ini memberi kehidupan?
Tapi Aruna dengan sabar menunjukkan cara menanam, merawat, dan memanen. Ternyata benar, kentang itu tumbuh cepat, berlimpah, dan mengenyangkan. Kini, ketika persediaan padi masih menunggu panen, atau ketika singkong harus diserahkan sebagai upeti ke kompeni, kentang menjadi penyelamat. Tak seorang pun lagi tidur dengan perut kosong.
Desa Waringin yang dulu terancam runtuh kini hidup kembali.
Aruna sendiri tak pernah menganggap dirinya pahlawan. Ia hanya seorang perempuan yang mengembara, membawa ingatan tentang ilmu dan kehidupan yang ia pelajari dari masa depan. Namun bagi warga Desa Waringin, namanya menjadi doa. Mereka menyebutnya dengan penuh rasa hormat, seolah ia bukan sekedar manusia, melainkan titisan keberkahan.
"Kalau bukan karena Aruna," kata seorang ibu sambil menimang anaknya yang gendut dan sehat, "mungkin anakku sudah terkubur di pemakaman kecil di ujung desa."
Para lelaki di balai desa berkata dengan bangga, "Kami tak lagi takut pada paceklik. Tanah ini subur, asal kita tahu cara merawatnya. Aruna yang mengajarkan kami."
"Benar, negeri ini sangat subur. Ada ungkapan yang pernah aku dengar, saking suburnya tanah negeri kita tongkat kayu dan batu jadi tanaman," kata Aruna penuh kebanggaan akan negeri yang ia cintai ini. Baik di masa lampau ini atau dh masa depan yang menjadi asalnya.
Anak-anak bahkan sering mengikuti Aruna kemana pun ia pergi, seolah ia ibu kedua bagi mereka. Aruna mengajari mereka berbagai eksperimen sederhana, mengenali daun dan tanaman obat, bahkan mengajarkan lagu-lagu sederhana untuk membuat hati gembira.
Hidup terasa damai, indah, dan makmur. Namun di balik damai itu, bayangan ancaman mulai merayap, meski belum mereka sadari.
Hari itu, ketika matahari hampir tenggelam dan langit memerah, sebuah patroli kompeni memasuki Desa Waringin. Empat orang tentara Belanda berkuda, dengan seragam rapi dan pedang tersandang. Mereka datang untuk menagih upeti, sebagaimana biasa.
Mereka tertegun ketika mendapati desa itu tak lagi seperti terakhir mereka lihat. Dulu, Waringin hanyalah kumpulan rumah reot dengan warga kurus kering yang pasrah menyerahkan singkong busuk atau beras seadanya. Kini, rumah-rumah berdiri lebih kokoh, halaman bersih, anak-anak tampak sehat, dan warga menyambut sore dengan wajah sumringah.
Salah seorang tentara, serdadu muda dengan wajah penuh curiga, menoleh pada kawannya.
"Kijk dit dorp ... Het is totaal veranderd." (Lihat desa ini ... Tempat ini berubah total.)
Kawannya mengernyit, menimbang-nimbang keadaan. Lalu ikut berkata dengan heran, "Te snel veranderd. Er moet iemand achter zitten." (Berubah terlalu cepat. Pasti ada seseorang di balik ini.)
Mereka menelusuri lebih dalam. Dari kejauhan, mata mereka menangkap sosok perempuan cantik dengan pakaian sederhana sedang membantu seorang ibu menjemur kentang hasil panen. Rambut hitamnya terikat rapi, wajahnya bercahaya dalam lembayung senja.
Salah satu dari mereka berbisik dengan nada penuh kewaspadaan.
"Zie je die vrouw? Ze hoort hier niet thuis." (Kau lihat perempuan itu? Dia bukan orang sini.)
Tentara muda itu mengangguk cepat, suaranya rendah namun tegas.
"We moeten dit melden aan onze meerdere. Dit kan gevaarlijk zijn." (Kita harus melaporkan ini pada atasan. Ini bisa berbahaya.)
Kuda mereka meringkik, udara sore terasa kian berat. Tanpa menunggu lebih lama, mereka berbalik arah meninggalkan desa, membawa kabar yang kelak akan mengguncang kehidupan tenang Desa Waringin.
Kabar itu sampai ke telinga para pejabat kompeni di pos terdekat. Dalam laporan mereka tertulis: 'Seorang perempuan asing, rupawan dan cerdas, telah mengubah desa miskin menjadi makmur. Warga tampak setia padanya. Perlu diselidiki apakah dia bagian dari pemberontakan atau ancaman bagi kekuasaan.'
Laporan itu pun diteruskan ke Batavia, ke meja sang Gubernur Jenderal Van der Capellen.
Van der Capellen, penguasa Hindia yang keras namun cerdas, membaca laporan itu dengan seksama. Bibirnya menyeringai tipis. Ia tahu, dalam situasi jajahan, kemakmuran yang terlalu mencolok tanpa kendali kompeni bisa berbahaya. Itu bisa menjadi api yang membakar semangat perlawanan.
"Bawa perempuan itu ke Batavia,” perintahnya pada para ajudan. "Aku ingin melihat sendiri siapa dia. Kalau perlu, gunakan kekuatan."
Di Desa Waringin, malam tetap tenang. Warga tak tahu bahwa roda sejarah sedang berputar. Mereka tidur dengan hati damai, perut kenyang, dan mimpi indah. Hanya Aruna yang duduk di beranda rumah kecilnya, menatap bulan pucat di langit.
Ia merasakan sesuatu yang ganjil, seperti desir angin yang membawa kabar buruk dari kejauhan. Jiwanya yang peka menyadari: kemakmuran ini pasti mengundang mata serakah. Dan cepat atau lambat, sesuatu akan datang merenggutnya.
Aruna menggenggam secangkir air hangat, menutup mata, lalu berbisik lirih, "Tuhan, lindungilah aku dan warga desa ini dari segala ancaman jahat."
Doa itu pun terbang ke langit, berjalan ke singgasana Tuhan dalam senyap malam yang damai.