Harusnya, dia menjadi kakak iparku. Tapi, malam itu aku merenggut kesuciannya dan aku tak dapat melakukan apapun selain setuju harus menikah dengannya.
Pernikahan kami terjadi karena kesalah fahaman, dan ujian yang datang bertubi-tubi membuat hubungan kami semakin renggang.
Ini lebih rumit dari apa yang kuperkirakan, namun kemudian Takdir memberiku satu benang yang aku berharap bisa menghubungkan ku dengannya!
Aku sudah mati sejak malam itu. Sejak, apa yang paling berharga dalam hidupku direnggut paksa oleh tunanganku sendiri.
Aku dinikahkan dengan bajingan itu, dibenci oleh keluargaku sendiri.
Dan tidak hanya itu, aku difitnah kemudian dikurung dalam penjara hingga tujuh tahun lamanya.
Didunia ini, tak satupun orang yang benar-benar ku benci, selain dia penyebab kesalahan malam itu.~ Anja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atuusalimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 1,part 3
"Masalah apa sih sampai kepalamu berdarah gini, ?"
Suara wanita penuh kelembutan itu terdengar samar begitu ia memasuki ruangan yang luas. Warna Beige pada ruangan yag dipandangnya, juga emas pada sentuhan setiap aksen memberi kesan hangat tanpa melupakan kesan mewah.
Anja mematung, memperhatikan ibu Reka yang sedang membersihkan luka pada kening putranya dengan air hangat. Ekspresi khawatir nya tampak sekali tak dibuat-buat. Ada rasa iri yang menyusup halus, sebagian anak beruntung karena selalu memiliki kesempatan untuk menjelaskan alasan dirinya berbuat salah.
"pelan-pelan mam, ini sakit!" keluh Reka mengembalikan kesadarannya. Tak lama, seorang wanita dengan rambut sebahu datang dengan kotak medis ditanganya. Wanita itu terlihat sedikit kacau dengan piyama tidurnya berbahan satin, namun tetap memberi kesan cantik dalam pandangannya. Ia taksir usianya kini baru menginjak dua puluh enam tahun. Kakak satu-satunya Reka seorang dokter, menurut cerita dari adiknya.
"Loh, kamu terluka juga. Ya ampun... Ayo sini cepat!"Sapanya sambil menghampiri Anja dan menariknya untuk duduk di sofa. Bu Niar berbalik, nampak terkejut dengan apa yang saat ini dilihatnya.
"Apa yang kamu rasakan sekarang, pusing?" Tanya Erna sambil memeriksa luka pada kepala Anja dengan teliti. "Reka, buatkan teh manis sekarang!"perintahnya kemudian namun tetap fokus pada kepala Anja.
"Kepala Reka juga pusing mbak,"
"sama ambil air hangat dan anduk kecil,cepat!"potong Erna tanpa mengindahkan penolakan adiknya.
Pria itu terlihat kesal sementara tubuhnya masih tetap menyandar dengan ogah-ogahan.
"Tangan mami sakit, Reka!"gerutu Erna kesal karena adiknya tidak juga mau beranjak.
Bu Niar yang melihat putranya tak bisa diandalkan bergegas pergi untuk menadah air hangat dari dispenser. Tangannya bergetar karena gangguan syaraf yang dideritanya, terburu-buru menuangkan air panas pada cangkir yang sebelumnya sudah diisi gula dan teh.
"Lukanya lumayan besar, sudah berapa lama ini terjadi?"
"Sekitar dua jam. Bagaimana lukanya, Er? Pak Tias datang bersamaan dengan istrinya dari arah berlawanan. Beliau mengambil tempat duduk tepat disamping Reka setelah meletakan kunci mobil diatas meja kaca sekaligus membenarkan letak kacamatanya.
"Sepertinya perlu dijahit, kenapa papi gak langsung mampir ke klinik? Dia kehilangan lumayan banyak darah, untung gak sampai pingsan!"
"Maunya begitu, tapi ada hal yang ingin papi selesaikan. Papi juga lihat kondisinya, kalo tidak memungkinkan dari tadi juga sudah papi bawa ke Rumah sakit."
"Ini sayang, minum dulu!"Bu Niar menyela, Anja menerima gelas yang disodorkan kearahnya dengan tangan gemetar. "Apa terlalu panas? Mau pakai sendok?" tawarnya kemudian sambil memperhatikan bagaimana gelas itu menempel pada bibir Anja.
"Tidak usah Bu, emh...mam ? Terimakasih!"tolak Anja kaku berusaha menebak panggilan yang tepat untuk wanita yang terlihat nampak khawatir itu. Bu Niar tersenyum mendengarnya, Sementara Reka memutar matanya jengah.
"Tahan sedikit, mbak mau kasih obat anestesi dulu!"Erna bersuara setelah membersihkan darah pada pinggir-pinggir luka yang akan dijahit. Mata Anja terpejam menahan nyeri saat obat itu mulai disuntikan, tangannya terkepal sementara semua tertarik melihat ekspresi wajahnya yang terlihat pucat.
Sunyi kemudian mengambil alir ruangan ditengah Erna menjahit luka, hanya suara detak jam yang bergerak lambat. Tak lama, suara tangisan bayi terdengar di ujung lorong.
"Lail bangun Er," Bu Niar memperingatkan putrinya. Tangannya belum bisa mengangkat berat, itu alasan beliau belum pernah menggendong cucu pertamanya itu.
"Biar saja mam, ini sebentar lagi sudah selesai kok!"timpalnya santai sambil tetap fokus dengan apa yang dikerjakannya.
Reka bangkit, berinisiatif untuk menggendong dan menidurkan keponakannya kembali.Namun, dihentikan dengan suara pak Tias yang memperingatkannya.
"Reka kamu tetap disini, papa masih harus berbicara dengan kamu!" Semua orang terdiam, mereka memperhatikan dua wajah pria diruangan itu yang tampak menegang.
"Bawa saja kesini, harusnya Lail lapar. Gak ada stok ASI juga!"sambung Erna berusaha mencairkan kembali suasana.
Reka pun bergegas, begitu kembali... Ibu dari anak itu sudah menyelesaikan pekerjaannya.
Sementara, bayi dalam gendongannya terus merengek dan menyusup kedalam dadanya mencari sesuatu.
"mbak, dia lapar!"
"Tanganmu juga terluka, apa sakit?" Reka tampak tertarik, sekilas mengintip pergelangan tangan Anja yang nampak memar. Ia mengakui dalam hati bahwa itu perbuatannya. Lalu, matanya tak sengaja menangkap beberapa bekas noda yang menghitam pada lehernya yang nampak putih.
"Sialan!" makinya dalam hati.
semangat kak author 😍