Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pamit pada pemilik kontrakan
Pagi ini Reva sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas kain lusuhnya , sementara Raka memeriksa kembali dompetnya: tiket kereta, KTP, dan sisa uang yang mereka kumpulkan perlahan.
Hari ini, mereka akan pergi. Buka pergi jalan jalan atau bulan madu seperti pasangan pengantin baru pada umumnya , tapi hari ini mereka akan pergi kerumah orang tua Raka di Pondok Indah—kawasan elite yang justru membuat Reva terkejut saat pertama kali mendengarnya.
“Kamu yakin orang tuamu tinggal di Pondok Indah?” tanya Reva semalam, suaranya penuh ragu.
Raka tersenyum kecil. “Ya. Aku lahir dan di besarkan di tempat itu ,kedua orang tuaku merupakan pengusaha ,Tapi… jangan khawatir. Mereka bukan orang sombong. Mereka malah lebih suka makan nasi bungkus daripada restoran mahal.”
Reva hanya mengangguk, hatinya berdebar. Ia takut—bukan karena kemewahan, tapi karena pertemuan pertama dengan mertua. Apa yang akan mereka pikirkan tentang pernikahan mendadak ini? Tentang perempuan asing yang tiba-tiba jadi menantu?
Tapi Raka meyakinkannya: “Mereka akan menyukaimu. Aku tahu.”
***
Sebelum berangkat, mereka harus berpamitan pada Bu Siti—perempuan yang memberi mereka atap saat dunia menolak. Reva mengetuk pintu rumah induk dengan hati berdebar. Tak lama, Bu Siti muncul, wajahnya lembut seperti biasa, rambutnya disanggul rapi, memakai kebaya putih yang jarang ia kenakan.
“Oh, kalian ? mau kemana? kok bawa tas segala ?” tanyanya, suaranya hangat.
“Kami mau pamit, Bu,” kata Reva pelan.
"Saya mau ajak Reva pulang kerumah orang tua saya Bu ." sahut Raka.
Bu Siti mengangguk, lalu membuka pintu lebar. “Masuk dulu. Jangan buru-buru. Ibu sudah siapkan teh.”
Di ruang tamu yang sederhana namun rapi, mereka duduk di atas tikar anyaman. Bu Siti menyuguhkan teh panas dan kue lapis—sisa dari arisan RT kemarin.
“Jadi, kalian mau ke rumah orang tua Raka?” tanya Bu Siti sambil menuangkan teh.
“Iya, Bu,” jawab Raka. “Di Pondok Indah.”
Bu Siti tertawa kecil. “Wah, ternyata anak baik seperti kamu punya darah ‘orang kota’ ya? Aku kira kamu dari kampung pelosok!”
Raka tersipu. “Rumahnya memang di sana, Bu. saya lahir dan di besarkan disana bersama kedua orang tua saya."
"Bagaimana perasaan kamu Reva ? akan bertemu dengan kedua mertuamu ?" tanya Bu Siti mengarahkan pandangnya kearah Reva
Reva tersenyum. “Sebenarnya aku takut, Bu. Bagaimana kalau mereka tidak menerima aku?”
Bu Siti menatap Reva, matanya tajam tapi penuh kasih. “Anakku, pernikahan kalian memang lahir dari badai. Tapi justru badai itu yang mengikat kalian. Jangan kau pandang ini sebagai aib. Pandanglah ini sebagai ujian yang Tuhan berikan—dan kalian lulus.”
Ia menghela napas, lalu melanjutkan dengan suara pelan: “Aku tahu, awalnya aku ikut menekan kalian. Aku takut nama kampung ini rusak. Tapi sekarang… aku menyesal. Kalian berdua justru menunjukkan apa artinya kebaikan di tengah tekanan.”
Reva menunduk, air matanya menggenang. “Terima kasih, Bu. Karena Ibu, kami masih punya tempat untuk tinggal.”
Bu Siti menggapai tangan Reva, lalu menepuknya perlahan. “Kalian harus saling menerima. Bukan karena kalian terpaksa menikah, tapi karena kalian memilih untuk tetap bersama meski dunia menertawakan. Itu lebih berharga daripada pernikahan yang dihiasi emas tapi kosong hatinya.”
Raka mengangguk. “Kami akan coba, Bu.”
“Coba saja tidak cukup,” kata Bu Siti sambil tersenyum. “Kalian harus *berusaha*. Setiap hari. Dalam hal kecil—seperti siapa yang cuci piring, siapa yang beli beras, siapa yang menemani saat sakit. Di situlah cinta sejati tumbuh. Bukan di pelaminan, tapi di dapur yang bocor dan kasur yang tipis.”
Mereka tertawa kecil—tawa yang lega, yang penuh pengertian.
Lalu, Bu Siti berdiri dan masuk ke kamar. Tak lama, ia kembali membawa sebuah bungkusan kecil berwarna cokelat.
“Ini untuk kalian,” katanya, menyerahkan bungkusan itu pada Reva.
Reva membukanya perlahan. Di dalamnya—sepasang sendal jepit baru. Satu berwarna biru tua, satu merah marun.
“Ini…?” tanya Reva, bingung.
Bu Siti tersenyum. “Sendal jepit pertama kalian sebagai suami istri. Aku beli kemarin. Murah, cuma lima belas ribu. Tapi kuat. Bisa dipakai ke mana saja—ke pasar, ke sawah, ke stasiun, bahkan ke rumah mertua di Pondok Indah!” katanya sambil tertawa kecil.
Raka tertawa. “Bu, ini sendal jepit, bukan sepatu kulit!”
“Tapi ini simbol,” jawab Bu Siti serius. “Kalian berdua datang ke sini dengan luka, tanpa alas kaki yang layak. Sekarang, kalian pergi dengan sepasang sendal—satu untukmu, satu untuknya. Supaya kalian selalu ingat: kalian berjalan bersama. Tidak sendiri-sendiri.”
Reva memeluk sendal itu erat-erat. Air matanya jatuh—bukan karena sedih, tapi karena kehangatan yang tiba-tiba menyelimuti hatinya.
“Terima kasih, Bu,” bisiknya.
“Jangan lupakan Ibu,” kata Bu Siti pelan. “Kalau suatu hari kalian punya anak, bawa dia main ke sini. Biar Ibu lihat cucu dari pernikahan yang lahir dari badai tapi tumbuh jadi pelangi.”
Raka berdiri, lalu membungkuk hormat. “Kami tidak akan melupakan Ibu. Selamanya.”
***
Di luar, angkot sudah menunggu. Mereka mengangkat tas, lalu berbalik sekali lagi ke arah Bu Siti yang berdiri di teras, melambaikan tangan.
“Hati-hati di jalan!” teriak Bu Siti.
“Doakan kami, Bu!” sahut Reva.
Angkot berjalan perlahan. Reva menoleh dari jendela, melihat sosok Bu Siti yang semakin kecil—perempuan sederhana yang awalnya ia kira bagian dari ancaman, kini justru menjadi salah satu orang pertama yang percaya pada mereka.
“Kamu tahu,” kata Raka tiba-tiba, “dulu aku pikir Bu Siti itu bagian dari masalah. Tapi ternyata… dia bagian dari jawaban.”
Reva tersenyum. “Ya. Dunia memang penuh kejutan.”
Ia membuka tas kecilnya, mengeluarkan sendal jepit merah marun, lalu memakainya. “Aku pakai yang merah. Kamu ambil yang biru.”
Raka tertawa. “Kenapa kamu selalu pilih warna merah?”
“Karena merah itu warna harapan,” jawab Reva pelan. “Dan aku masih punya harapan, Raka. Untuk kita.”
Raka memandangnya lama, lalu mengangguk. Ia mengenakan sendal birunya, lalu berkata, “Kalau begitu, mari kita jalan. Bersama.”
***
Di Halte , mereka duduk di bangku kayu, menunggu bis Reva memegang tangan Raka—bukan karena cinta yang meledak, tapi karena kebiasaan baru yang tumbuh dari kepercayaan.
“Kamu takut ketemu orang tuaku?” tanya Raka.
“Sedikit,” jawab Reva jujur. “Tapi… aku percaya padamu.”
Raka menatapnya, lalu berkata pelan, “Kalau mereka tidak menerimamu, aku akan bawa kamu pergi lagi. Kita cari tempat lain. Tapi aku yakin… mereka akan langsung jatuh cinta padamu.”
Reva tertawa kecil. “Kamu terlalu percaya diri.”
“Bukan percaya diri. Aku hanya tahu siapa kamu sebenarnya.”
Dan di tengah hiruk-pikuk halte ,bis yang datang ,pergi dan orang berlalu-lalang, Reva merasa damai. Ia tak tahu apa yang menanti di Pondok Indah—tapi ia tahu, di sampingnya, ada seseorang yang kini rela berjalan bersamanya, bahkan dengan sepasang sendal jepit lima belas ribu.
Karena terkadang, cinta sejati bukanlah tentang kemewahan atau pesta besar—
tapi tentang seseorang yang tetap memegang tanganmu
saat dunia mencoba merobeknya.
Dan hari ini, Reva dan Raka melangkah—
bukan sebagai korban pernikahan paksa,
tapi sebagai pasangan yang mulai percaya
bahwa dari reruntuhan,
mereka bisa membangun rumah,dan Reva selalu berdoa untuk kebahagian rumah tangga baru mereka .