Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hukuman Untuk Pendeta Cabul 2
Aku buka pintu mobil dengan kasar, lalu menyeretnya turun. Sengaja, agar dia bisa merasakan kekuatanku. Tubuhnya menggelepar ke tanah. Ku tekan satu kaki ke dadanya sambil tetap menjaga jeratan tali.
"Turuti kata-kataku, kamu harus melakukan apa mauku. Jangan membantah. Ini penting." Aku mendesis penuh ancaman, sedikit mengendurkan jeratan.
Bapa Gabriel menurut. Matanya memerah karena pompaan darah ke kepala akibat jeratan, lelehan air mata membasahi wajah. Tatapan kami bertemu dalam satu pemahaman, bahwa segala yang akan terjadi malam ini digelar khusus untuk dia. Bapa Gabriel menyaksikan semua ini. Sadar betapa penting bagi dirinya agar bertindak sesuai kemauan lawan. Dia mulai paham.
"Bangun."
Perlahan---sangat perlahan, dengan mata yang tidak lepas dari mataku, dia bangkit. Lama kami berdiri berhadapan, saling menatap, sebelum akhirnya dia luluh gemetar. Satu tangan terangkat menutup wajah, lalu jatuh lagi.
"Masuk kerumah," desakku. Di dalam sana, semuanya udah siap.
Bapa Gabriel merunduk. Lalu mendongak tapi tidak berani lagi bertatapan denganku. Langkahnya terseok ke arah rumah, tapi terhenti saat melihat jejeran gundukan kecil di kegelapan pekarangan. Dia ingin menoleh padaku, tapi tidak sanggup. Terlebih setelah melihat gundukan-gundukan itu.
Lima langkah naik tangga beranda sampai ke depan pintu yang masih tertutup. Bapa Gabriel berhenti. Tidak mendongak. Tidak menatapku.
"Buka pintunya dan masuk," perintahku dengan suara rendah.
Bapa Gabriel gemetar.
"Masuk sekarang!"
Tapi dia tidak sanggup.
Aku menutup pintu, lalu menyalakan lampu baterai di lantai dekat situ.
"Lihatlah," Aku berbisik.
Dengan perlahan dan hati-hati Bapa Gabriel membuka mata.
Lalu membeku.
Waktu berhenti bagi Bapa Gabriel.
"Tidak," seraknya.
"Harus," Aku menyahut.
"Tidak," Dia mengeluh.
"Harus!" Aku membalas tegas.
Dia menjerit. "TIDAAAK!!!"
Aku tarik jeratan leher. Jeritannya terputus dan dia ambruk berlutut. Memperdengarkan lenguhan serak-serak basah sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.
"Lihatlah, berantakan ya?" Ujarku.
Dia harus menyaksikan. Dan sekarang dia berusaha setengah mati untuk tidak melihat.
"Buka matamu, Bapa Gabriel. "
"Tolong, jangan paksa aku." Ibanya dengan isak tangis menjijikkan. Bikin naik darah.
Aku tendang kakinya sampai terjengkang. Aku angkat dia, lalu menyeretnya keras dengan jerat leher sambil mencengkeram belakang lehernya dengan tangan kanan, lalu menghempaskan wajahnya ke lantai kayu beralas debu dan kotoran. Cuma sedikit darah yang keluar dari hidung dan mulutnya. Hal itu membuat aku bertambah marah.
"Buka mata! Buka mata dan lihat! Buka sekarang! Lihat!" Bentakku lagi dan ku jambakkan rambutnya, memaksa kepalanya mendongak. "Lakukan perintahku, buka matamu. Atau aku lepaskan kelopak matamu." Ujarku geram.
Ancamanku cukup meyakinkan. Bapa Gabriel membuka mata. Mematuhi perintah, menatap ke depan.
Ada tujuh mayat di situ. Tujuh mayat kecil anak-anak yatim piatu yang kotor dan bau, aku baringkan di gelaran tirai karet agar lebih rapi dan tidak bocor serta menetes ke bawah. Tujuh mayat bergeser lurus dengan tatapan kosong ke seberang ruangan.
Menusuk tepat ke jantung Bapa Gabriel. Dia tau dan merasa akan segera bergabung dengan mereka.
"Bunda Maria suci, mohon pengampunan..." Dia mulai berdoa. Aku tarik lagi jerat leher agar dia bungkam.
"Tidak ada gunanya, Bapa. Tidak sekarang. Saat ini waktunya menatap kebenaran."
"Aku mohon..." Dia tersedak.
"Ya, memohonlah. Bagus begitu. Lebih baik. Apa memang cuma itu, Bapa? Cuma tujuh? Ini belum semua kan?"
"Ya Tuhan," dia mengeluh, menahan sakit.
"Bagaimana dengan kota-kota yang lain, Bapa? Ravenwood Falls? Mau bicara soal Ravenwood Falls?"
Sang Bapa sesenggukan tidak menjawab.
"Tidak? Twilight Wood kalau begitu. Ada tiga mayat di sana kan? Atau aku kelewatan satu? Sulit memastikan. Apa ada empat mayat di Twilight Woods, Bapa?"
Tubuhnya gemetar tidak terkendali. Celananya basah karena air seni. Dagunya berleleran iler.
"Aku mohon... mengertilah. Aku tidak mampu menahan diri. Tidak sanggup. Aku mohon, mengertilah..." Dia merengek.
"Aku paham, Bapa," jawabku dengan lirih. Bapa Gabriel terpaku ngeri. Wajahnya mendongak perlahan menatapku. Yang dia lihat di mataku membuat tubuhnya diam.
"Aku paham sepenuhnya, asal kamu tau saja. Aku juga begitu." Aku berkata lagi, mendekatkan wajah sampai begitu dekat. Keringat di pipinya merinding membeku.
Kami begitu dekat sekarang. Hampir bersentuhan. Hawa kotornya membuat aku jijik. Aku sentakkan dia dan menendang kakinya lagi sampai dia jatuh. Bapa Gabriel terkapar di lantai.
"Tapi terhadap anak-anak? Aku tidak akan mungkin melakukan hal itu pada anak-anak." Lirihku menyusul. Aku injak kepalanya dengan sepatu bot, menghantam wajahnya ke lantai. "Tidak seperti kamu, Bapa. Tidak pernah aku lakukan terhadap anak-anak. Kekejianku hanya untuk orang-orang sepertimu!"
"Kamu... makhluk apa sebenarnya?" Bisik Bapa Gabriel.
"Aku adalah Awal," Aku menjawab dramatis. "Sekaligus Akhir. Malaikat Pencabut Nyawamu, Bapa."
Jarum suntik yang sudah aku siapkan, menusuk lehernya dengan mulus. Memperoleh sedikit perlawanan dari refleksi otot, tapi tidak dari si pendeta itu sendiri. Aku dorong serumnya sampai kosong, mengisi tubuh Bapa Gabriel dengan bius yang cepat dan menenangkan. Sekejap kemudian dia terkulai.
Imajinasi "sakit" si pendeta tidak memungkinkan dia melihat diri sebagai satu spesies yang sama dengan korban. Dan ini ada benarnya. Gaya kerjaku tidak begitu. Tidak mungkin begitu. Aku tidak seperti Bapa Gabriel. Bukan monster seperti itu.
Aku monster yang sangat rapi.
Ada waktu sekitar delapan jam sebelum aku terpaksa meninggalkan tempat ini. Setiap detik harus aku pakai untuk melakukan semuanya dengan benar.
Aku baringkan dan aku amankan posisi Bapa Gabriel di atas meja dengan bantuan plastik dan plester pipa setelah pakaiannya aku lepas. Pekerjaan awal kulakukan dengan cepat---mencukur bulu rambut, mencabuti semua yang menonjol tidak rapi. Seperti biasa, aku rasakan sensasi nikmat membuncah amat perlahan menuju pelepasan, menggetarkan seluruh tubuh sementara aku bekerja.
Persis sebelum aku mulai melakukan tugas sesungguhnya, Bapa Gabriel membuka mata menatapku. Tidak nampak ketakutan. Ini kadang terjadi. Tegas menatap, belahan bibir bergerak.
"Apa?" Kataku. Kudekatkan telinga agar lebih jelas. "Aku tidak dengar."
Terdengar desah napas lambat-lambat dan tenang. Bapa Gabriel mengulang ucapan sebelum menutup mata.
"Sama-sama," Aku mengangguk lalu mulai bekerja.
Jam empat lewat tiga puluh pagi, jasad si pendeta sudah rapi. Aku merasa jauh lebih baik. Selalu begitu setelah selesai mencacah korban. Membunuh membuatku merasa enak. Seperti baru selesai ejakulasi---hanya lebih nikmat. Pelepasan yang memang dibutuhkan dari tekanan hidraulik relung batin.
Aku kembalikan semua mayat ke kebun samping bersama tetangga baru yang lebih besar, lalu merapikan kembali rumah reyot itu sebaik mungkin. Aku bereskan peralatan ke mobil almarhum Bapa Gabriel dan berkendara ke Selatan, ke sebuah kanal kecil di tepian sungai tempat aku memarkir kapal. Aku dorong mobil almarhum masuk ke kanal di belakang kapal, lalu naik. Aku pandangi mobil itu perlahan tenggelam dan menghilang. Setelah itu aku nyalakan kapal, berlayar mengarungi kanal ke teluk di utara.