Aziya terbangun di tubuh gadis cupu setelah di khianati kekasihnya.
Untuk kembali ke raganya. Aziya mempunyai misi menyelesaikan dendam tubuh yang di tempatinya.
Aziya pikir tidak akan sulit, ternyata banyak rahasia yang selama ini tidak di ketahuinya terkuak.
Mampukah Aziya membalaskan dendam tubuh ini dan kembali ke raga aslinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lailararista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Mencintaimu
Pagi memancarkan cahaya matahari yang begitu cerah. Namun, di ruang kerja bawah tanah yang hanya William dan orang-orang tertentu tahu, suasana jauh berbeda. Bau asap cerutu samar bercampur dengan aroma kulit dari kursi tua. William duduk di balik meja besar dari kayu hitam, menatap seseorang yang berdiri tegak di hadapannya.
Pria itu mengenakan jas hitam rapi, sorot matanya tajam namun penuh wibawa. Aura dinginnya membuat siapa pun yang melihatnya sadar bahwa dia bukan orang biasa.
Xavier.
“Dia mulai curiga,” ucap William pelan, matanya menatap abu cerutu yang jatuh di asbak.
“Siapa?” tanya Xavier, suaranya dalam, berat, seperti suara yang mampu membuat ruangan bergetar.
“Aziya. Putriku.” William mendesah, menatap pria itu dalam-dalam. “Aku mendengar dia menyebut namamu tadi malam. Entah dari mana dia tahu, tapi… itu lebih cepat dari yang aku perkirakan.”
Xavier terdiam sejenak, lalu tersenyum samar, senyum yang samar-samar mengandung bahaya. “Tidak apa-apa, itu artinya, dia sudah mengingat ku. Anak itu… memang berbeda. Tak heran Gino begitu terobsesi padanya.”
Mendengar nama itu, William mengepalkan tangan. Matanya menyala dengan amarah yang ditahan bertahun-tahun. “Gino.”
Nama itu bagai racun di bibirnya. Gino, pria brengsek yang pernah masuk ke kehidupan Aziya, mengkhianatinya bahkan membuatnya koma.
“Kali ini dia harus bayar lunas.” Suara William dingin, penuh dendam.
Xavier mencondongkan tubuh sedikit. “Itu sebabnya aku di sini. Kau tahu sendiri… tak ada satu pun target yang bisa lolos dariku. Termasuk dia.”
William mengangguk perlahan, sorot matanya mulai tenang. “Aku tahu. Itu sebabnya aku merestui kedekatanmu dengan Aziya.”
Xavier menaikkan alisnya, sedikit terkejut tapi cepat kembali tenang. “Kau… serius?”
“Ya.” William bersandar di kursi, pandangannya tajam. “Aku tahu kau bisa melindunginya. Bahkan mungkin lebih baik dariku sendiri. Kau bukan sekadar sekutu mafia biasa, Xavier. Kau… lebih dari itu. Dan kalau Aziya akhirnya memilihmu…” Ia berhenti sejenak, menelan gengsi yang berat. “…aku tidak akan menentangnya.”
Ruangan hening. Xavier menatap William lama, sebelum akhirnya mengeluarkan tawa kecil yang dingin. “Lucu sekali. Seorang William, raja mafia yang ditakuti setengah dunia, merestui anak gadisnya bersama pria yang bahkan dia tahu sangat berbahaya.”
William menatapnya lurus. “Berbahaya atau tidak… kau tetap satu-satunya yang bisa aku percaya untuk urusan ini.”
Mata Xavier meredup sedikit, ada kilatan emosi yang sulit ditebak. “Aku tidak berjanji bisa memberi kebahagiaan padanya. Hidupku… dipenuhi darah dan bayangan.”
“Begitu pun dengan Aziya, tapi dia juga butuh pelindung, kau bisa memberinya perlindungan. Itu lebih dari cukup,” jawab William tegas.
Sesaat, Xavier hanya diam. Lalu ia melangkah mendekat, menaruh pisau lipat kecil di meja William, tajamnya berkilat terkena sinar lampu.
“Kalau begitu… biarkan aku urus Gino dengan cara yang hanya aku bisa."
★★★
Malam itu, udara terasa berat. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk. Aziya berdiri di balkon kamarnya, menggenggam pagar besi dingin. Matanya menatap kosong ke arah halaman rumah yang sunyi, pikirannya dipenuhi satu nama.
Xavier.
Nama itu terasa asing, tapi juga akrab. Menggetarkan hati sekaligus menimbulkan rasa takut.
Tiba-tiba, sebuah suara berat terdengar dari bayangan di bawah pohon besar halaman rumah.
“Jadi… kamu sudah tahu namaku.”
Aziya terlonjak. Matanya membelalak, mencari sumber suara itu. Dari kegelapan, seorang pria perlahan melangkah keluar. Jas hitamnya basah oleh sisa gerimis, rambutnya sedikit berantakan, tapi sorot matanya tajam dan menusuk.
“Kenapa… lo ada di sini?” suara Aziya bergetar, antara marah dan bingung.
Xavier hanya menatapnya lama, sebelum tersenyum tipis. “Seharusnya aku yang bertanya itu padamu. Bagaimana bisa kamu tahu namaku, Aziya?”
Aziya menelan ludah. Tubuhnya gemetar tapi ia berusaha berdiri tegak. Suaranya melemah, “gue pernah dengar dari Gabriel… waktu gue koma.”
Sekilas, wajah Xavier berubah. Tatapan matanya yang biasanya dingin kini bergetar halus. “Gabriel…”
Aziya mengangguk, matanya mulai berkaca. “Dia bilang… orang yang selalu bersama gue, yang gue cintai selama ini… bukan dia. Tapi… lo.”
Hening. Angin malam berhembus, membuat tirai kamar Aziya berkibar lembut.
Xavier melangkah lebih dekat ke bawah balkon, menatapnya dari bawah. “Jadi akhirnya kamu tahu.”
Aziya menutup mulutnya dengan tangan, dadanya naik-turun. “lo… yang selama ini ada di samping gue? Lo yang selalu ada buat gue saat gue bahkan tidak tahu siapa lo sebenarnya?”
Xavier mendongak, sorot matanya tajam tapi penuh luka. “Ya. Aku yang ada di sana. Aku yang memilih tinggal… bahkan saat dunia menolak keberadaanmu. Tapi aku tidak menunjukkan siapa diriku sebenarnya. Karena aku takut kamu akan menjauhi ku."
Air mata menetes di pipi Aziya. Hatinya berdegup kencang, kacau antara marah, rindu, dan cinta yang tiba-tiba menyeruak. Aziya menatap lama Xavier dan setelah itu berbalik masuk kedalam kamarnya, tidak lama setelah itu dia menyusul Xavier keluar rumah. Aziya menatap lama Xavier yang sekarang sudah ada dihadapannya. Sedangkan Xavier hanya menatap lembut, penuh rindu.
“Kenapa, Xavier? Kenapa harus sembunyi di balik nama orang lain? Kenapa lo biarin gue jatuh cinta pada bayangan?”
Xavier menatapnya lama. Ada getaran dalam suaranya ketika akhirnya ia bicara.
“Karena aku… pria yang dipenuhi darah dan dosa. Aku tidak pantas untukmu. Tapi setiap kali aku mencoba menjauh… hatiku selalu kembali padamu.”
Aziya terdiam, tubuhnya gemetar. Kata-kata itu menghantam hatinya begitu dalam.
Tanpa sadar, ia melangkah maju, hampir mendekati pagar balkon. “Jadi… perasaan itu… nyata?” suaranya bergetar penuh harap. “Bukan cuma mimpi waktu gue koma? Semua yang gue rasain itu karena lo?”
Xavier menatapnya, kali ini tanpa topeng dingin, tanpa jarak. Sorot matanya terbuka, menelanjangi hatinya yang rapuh.
“Ya, Zi. Itu aku. Dan hanya aku.”
Aziya terisak pelan, tapi senyum samar muncul di wajahnya. Jantungnya berdetak liar, dadanya terasa sesak oleh campuran sakit dan bahagia. Pria yang ia cintai selama ini… ada di hadapannya. Nyata.
"Tapi gue bukan perempuan lemah, kenapa lo harus takut dengan status lo? Gue gak peduli siapa pun lo, yang gue tau, gue mencintai lo. Xavier bukan Gabriel."Xavier yang mendengar itu tersenyum samar. Orang yang dia cintai selama ini membalas perasaan, walaupun dia sudah berada ditubuh aslinya, bukan orang lain.
"Aku lebih mencintai mu, Zi."
Xavier maju selangkah tepat dihadapan Aziya, jarak mereka hanya beberapa senti. Xavier menatapnya dalam, lalu berbisik seolah janji,
“Apapun yang terjadi… ingat ini, Aziya. Kamu milikku. Hanya milikku.”
Aziya yang mendengar itu tersenyum samar, lalu berhamburan memeluk Xavier, sembari bergumam pelan.
"Aku rindu..."lirihnya.
Xavier mengangguk. "Aku juga, aku bahkan hampir putus asa karena merindukan mu. Hingga akhir nya aku mengancam Daddy mu." Mendengar itu Aziya melepaskan pelukannya lalu menatap dalam Xavier.
"Mengancam?"Xavier mengangguk.
"Ya, kalau dia tidak menerima ku, aku akan hancurkan bisnis dia. Dia akhirnya mau dengan syarat bantu mencari mantan mu."Aziya berubah kesal. Sekarang dia benar-benar yakin kalau ini memang orang yang bersamanya di tubuh Azira, sifatnya sama persis.
"Lo gak berubah, suka bersikap semaunya."
"Kamu..."ralat Xavier seakan memerintah Aziya untuk menggunakan kata aku-kamu.
"Iya iya, kamu."melihat wajah kesal Aziya Xavier mencubit hidungnya gemas.
"Aku janji, aku akan selalu mencintaimu, Aziya."