NovelToon NovelToon
Umbral

Umbral

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Rudi Setyawan

Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30 — Uji Coba Berbahaya

DAVIN kembali mengalihkan perhatiannya pada laptop. Dia memastikan semua koneksi pada laptopnya terputus total. WiFi telah dinonaktifkan, Bluetooth dimatikan, dan port LAN dicabut agar tidak ada kemungkinan sambungan kabel tersembunyi yang aktif. Firewall diperketat, seluruh aplikasi yang berpotensi terhubung ke server luar dihentikan, dan sistem sinkronisasi otomatis dimatikan satu per satu.

Untuk lebih aman, dia menutup semua aplikasi berbasis cloud, menonaktifkan fungsi berbagi file, serta menutup akses terhadap drive eksternal yang bisa tersusupi. Bahkan jaringan WiFi di rumah Rayan sudah dimatikan—meninggalkan laptopnya dalam kondisi benar-benar terisolasi, seolah-olah sebuah mesin tua yang hanya hidup pada dirinya sendiri.

Meskipun tegang, Tari tetap merasa perlu memberi update ke grup. Tanpa suara dia merekam Davin yang fokus di depan laptop—bergeser ke Rayan yang menatap lensa kamera tanpa senyum—lalu sedikit membidik layar raksasa di dinding. Dia mengirim video pendek itu ke grup disertai tulisan singkat: “Davin ngelakuin uji coba lagi.”

Sasha langsung membalas: “Astaga, dia beneran bandel!”

Naya menimpali dengan santai: “Kalau kamu mau nyetop dia, laptop-nya harus diumpetin ke planet Mars.”

Elisa mengetik seperti desahan lega: “Untung gue pulang. Gue bilang juga apa, Sha?”

Sasha merespons cepat dengan emoji wajah merah: “Ya ampun, Lis! Jangan di grup!”

“Sori.”

Lalu hening.

Davin, Rayan dan Tari agak terperanjat ketika ponsel mereka tiba-tiba berdering bersamaan. Ternyata Sasha sengaja menyalakan video conference di grup karena dia ingin memantau aktivitas di rumah Rayan secara real-time. Davin dan Rayan mengabaikan dering ponsel mereka. Tapi Tari menerima panggilan video itu—sekedar untuk menunjukkan uji coba “nekat” Davin pada ketiga temannya yang berada di tempat terpisah.

Di layar TV, tampak grafik gelombang suara Umbral berdetak seperti denyut jantung raksasa. Suaranya bergema keras di ruang santai keluarga—membuat udara seakan bergetar.

Davin menunggu. Detik demi detik merayap begitu lambat. Tidak ada respons. Tidak ada intervensi.

“Itu grafiknya stabil, kan?” bisik Rayan.

“Gue belum nyentuh gelombang suaranya, Bro,” sahut Davin tanpa menoleh.

Dia masih menunggu selama satu menit lebih—seperti pemburu yang dengan sabar mengintai sasarannya.

Dia lalu mengetik serangkaian perintah untuk mengacak gelombang suara Umbral dengan distorsi resonansi. Grafik di layar mendadak melonjak liar—seperti jeritan binatang buas yang diserang dari segala arah. Pola frekuensinya menjadi sinyal acak yang menghantam balik ke sumbernya.

Tik.

Layar TV mendadak mati.

Rayan mencondongkan tubuh ke depan dengan mata menyipit. “Anjir, Umbral ngerusakin TV gue?” cetusnya seperti tanpa sadar. “Dia beneran bikin gue marah sekarang!”

“Diam, Bro,” potong Davin datar. Dia nyaris gagal meredam rasa tegang di dadanya. “TV-nya nggak papa. Kalau ada yang meledak, paling laptop gue yang kena.”

Layar TV tiba-tiba menyala lagi. Hanya pancaran biru kosong dan tanpa suara. Rayan menoleh pada Davin dengan kening berkerut.

Davin masih memicingkan mata ke arah laptopnya yang gelap total. “Aneh,” gumamnya seperti ditujukan pada dirinya sendiri. “Harusnya nggak ada path yang bisa ganggu power management. Tapi ini seolah ada overcurrent di jalur USB—kayak ada surge singkat yang bikin board-nya drop.”

“Gue beneran blank, Prof. Gue nggak bisa baca grafik aneh itu. Apa Umbral tetap bisa intervensi pada saat offline?”

“Lo minta jawaban sebelum gue tahu pertanyaannya, Bro.”

Rayan menarik napas panjang. “Oke, gue ngerti. Pertanyaan tadi gue tarik lagi.”

“Rasanya ini lebih tegang dari nonton film horor,” gumam Tari. “Kita kayak bermain-main sama Umbral. Dan kita bahkan nggak tahu apa dia masih ada dalam portalnya—atau udah di luar.”

Davin mengangkat wajahnya. “Gue harus ngelakuin uji coba ini, Ri,” ujarnya tanpa bermaksud membela diri.

“Aku tahu. Dan omonganku tadi bukan buat debat.”

Rayan menatapnya dengan lekat. “Lo nggak ada ngerasa apa-apa? Siapa tahu… dia udah minum kopi di dapur?”

Tari menggeleng pelan. “Aku nggak ada ngerasa energi ganjil. Tapi ini rumah kamu, Ray. Kalau kamu berharap dia nongol, mungkin dia akan mampir setelah kami pulang.”

“Hahaha. Lucu banget.”

Davin diam saja. Dia menekan tombol power laptop, lalu menunggu. Ada bunyi kipas berputar samar. Dan layar hitam itu akhirnya memunculkan logo boot.

“Good. Sistem recovery jalan. Untung nggak kena kernel panic,” ujarnya lega. Dia mengetik cepat, lalu membuka ulang program yang tadi dia jalankan. Tidak ada interupsi—tidak ada gangguan eksternal. Tapi keningnya tampak berkerut.

Dia melihat algoritmanya masih kacau. Alih-alih menjadi trace pola serangan, dia justru merangkai sinyal liar yang tak bisa dikenali. Ternyata programnya masih harus dibenahi. Dia tahu persis kalau dia membutuhkan waktu yang panjang untuk itu. Dan bukan sekarang.

Dia bersandar ke kursinya, lalu melepaskan napas panjang. “Program gue ternyata cuma kayak batu kecil—dan dipake buat ngelawan T-rex. Kalian ngerti maksud gue, kan?”

“Gue ngerti—dan gue mulai gugup sekarang,” sahut Rayan. “Untuk T-rex, lo perlu senjata lebih gede dari bazoka, Prof. Kalau perlu, pake mobil tank.”

“I know. Tapi paling nggak, offline terbukti aman. Umbral ternyata nggak punya akses kalau jalurnya gue putus.”

Untuk memastikan keyakinannya, Davin menekan beberapa shortcut, lalu mengaktifkan mode online kembali. Dia harus melakukannya.

Hening.

Tanpa sadar Rayan menelan ludah—sementara Tari makin erat mencengkeram ponsel di tangannya. Mereka tidak berkata apa-apa. Karena di balik rasa takut, mereka sama-sama menginginkan satu hal: melihat bukti nyata.

--

--

Di layar kaca, grafik gelombang suara Umbral berdenyut seperti garis nadi berwarna. Frekuensinya masih stabil. Dengung dan desahan lirih suaranya memenuhi ruangan—membuat siapa pun pasti akan merasa terseret ke dunia lain. Celetukan konyol Rayan tentang suara Umbral yang mirip bunyi-bunyi purba dari neraka seakan berkelebat dalam kepala ketiganya.

Tanpa dapat dicegah ketegangan di rumah Rayan menjalar jauh menembus tembok rumahnya. Layar-layar kecil di tiga tempat berbeda menampakkan kengerian yang sama.

Di kamar tidurnya yang tak begitu luas tapi mewah, Sasha terbelalak ngeri. Matanya terpaku pada ruang santai keluarga rumah Rayan yang terpampang di layar. Dia sampai lupa untuk buru-buru mandi dan berganti pakaian.

Jauh di Bandung, di ruang santai keluarga rumah Ayu, Naya menahan napas. Seluruh keluarga sudah berkumpul di rumah sepupunya sepulang dari rumah sakit bersalin—dan tadinya mereka berkerumun di kamar tidur Ayu. Namun satu per satu mereka beranjak ke ruang santai keluarga. Naya melirik kanan-kiri ketika sadar semua mata tertuju pada wajah tegangnya. Dia mencoba tersenyum pada Ratna, ibu Ayu, yang menatapnya dengan tajam. Ratna tidak senang dengan aktivitas Naya yang dianggapnya penuh bahaya—dan dia sering menegur Yuli karena membiarkan Naya terlibat dalam pembuatan video horor. Namun Naya tetap saja bandel.

Sementara di kamar tidurnya yang penuh boneka lucu dan bernuansa serbabiru, tanpa sadar Elisa menyelinapkan ponselnya ke bawah bantal. Dia seperti berusaha memutuskan hubungan dengan sesuatu yang terlalu mengerikan untuk dia saksikan. Detak jantungnya berpacu kencang. Seharusnya tadi dia tidak ikut-ikutan menjawab video conference. Namun semua sudah terlambat. Rasa takut terlanjur menguasai dirinya.

“Umbral… udah ngeh?” bisik Rayan sedikit bergetar.

“Dia nggak ngasih respons kalau belum disentuh,” sahut Davin sambil terus menatap pola gelombang suara Umbral di layar. “Kita masih kayak ngendap-endap dekat jin yang lagi ngorok.”

Rayan tertawa kering. “Lemparin aja batunya, Prof. Biar dia tahu kalau kita mau lewat.”

“Are you sure?”

“Kita harus tahu, kan? It’s now or never, Prof.”

Tari menghela napas panjang lagi. “Aku tahu kamu tegang, Ray. Tapi mulut kamu sering ngaco seolah kamu rileks banget.”

“Berarti lo belum ngerti gue.” Rayan menyeringai kecut. “Kalau gue makin rileks, itu artinya gue udah hampir mewek.”

Davin menghembuskan napas agak keras. Tangannya mulai bergerak lincah di atas keyboard. Apa yang dilakukannya sekarang benar-benar penuh risiko. Tapi dia tak bisa berhenti sekarang—sebelum dia mendapatkan jawaban yang pasti.

Rasanya jarak bukan penghalang bagi Umbral, dan kalau gue menyentuh dia sekarang, mungkin ini saatnya dia menoleh.

Begitu dia menekan tombol Enter, grafik gelombang suara Umbral di layar kaca langsung bergolak liar.

“Dia nge-lock lokasi rumah ini,” gumamnya. Tanpa dapat dicegah tangannya gemetar—siap menonaktifkan semua koneksi. “Kayak di kafe tadi.”

Rayan berdiri dengan tegang. “No kidding? Lo nggak perlu ngasih kasih tahu gue hal-hal yang gue udah tahu, Prof!”

Davin masih menunggu beberapa detik—memastikan intervensi Umbral yang membalas secara aktif. Lalu dia menonaktifkan semua koneksi.

Tari mengecilkan volume TV karena suara Umbral membuat degup jantungnya makin tak karuan. Rayan juga secara spontan mematikan AC seolah hawa dingin ruangan membawa isyarat buruk.

Lonjakan grafik di layar berangsur mereda—dan dalam beberapa detik kembali stabil.

Namun ketenangan hanya ada di layar TV. Sedangkan suasana ruang santai keluarga masih diliputi rasa tegang. Dengung samar AC, suara desir angin sore di halaman, bahkan desah napas mereka sendiri—semua terasa seperti ancaman. Ternyata jarak puluhan kilometer tak berpengaruh bagi Umbral—dan lokasi rumah Rayan sudah dikunci oleh entitas nonfisik itu.

“Anjir, gue beneran merinding, Prof,” bisik Rayan dengan suara bergetar.

“Welcome to the club, Bro.” Davin tertawa gugup. “Ternyata dia punya protokol pertahanan yang mengerikan.”

Rayan menatap sahabatnya dengan tegang. “Lalu ngapain lagi kita sekarang? Cuma menunggu?”

Davin mengangguk samar. “Ya, cuma menunggu.”

Satu menit berlalu dalam hening… dua menit…. Mereka bertiga menunggu dalam diam tapi waspada. Bunyi sekecil apa pun membuat mereka menoleh tegang. Suhu ruangan tak berubah. Lampu-lampu tetap menyala terang. Setiap sudut rumah tetap senyap. Tapi tak seorang pun bisa menarik napas lega.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!