Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fira
Tasya terus berusaha menggesek ikatannya di sudut kursi. Rasa perih makin menjadi, darahnya menetes, tapi akhirnya simpul itu melemah. Dengan satu hentakan, ikatan di pergelangan tangannya terlepas. Ia langsung menahan napas, buru-buru menyembunyikan tangannya di belakang kursi, pura-pura masih terikat.
Suara langkah terdengar.
Tok … tok … tok…
Pintu berderit, dan Fira masuk sambil membawa botol air mineral. Tatapan dinginnya menyapu Tasya yang duduk lemah.
"Masih bertahan?" ejeknya sambil menaruh botol di meja kecil.
Tasya menunduk, lalu mendongak dengan wajah yang dibuat setenang mungkin. "Fira … aku nggak ngerti. Kamu sahabat aku, Fira. Kenapa harus sejauh ini? Kalau ada masalah sama aku, kita bisa bicarakan baik-baik."
Fira terkekeh, menyalakan rokok lain. "Bicarakan? Kau pikir semua masalah bisa selesai dengan obrolan manis? Kau terlalu naif, Tas."
Tasya menelan ludah, berusaha mengulur waktu. "Tapi kalau orang tahu kau nyekap aku … hidupmu bisa hancur. Aku janji, kalau kau lepasin aku sekarang, aku nggak akan laporin ke siapa-siapa."
Fira mendekat, menunduk sejajar wajah Tasya, menghembuskan asap rokoknya ke arah Tasya. "Janji? Aku nggak butuh janjimu. Aku hanya butuh kau hilang dari hidupku, bahkan dari bumi ini."
Tasya menahan batuk, matanya memicing. "Jadi, semua ini cuma karena … Revan?"
Fira terdiam sejenak, senyum tipis muncul di wajahnya. "Semuanya. Karir ... dan Revan."
Saat Fira sibuk dengan emosinya sendiri, Tasya menggenggam erat pecahan kayu kecil dari kursi yang ia patahkan diam-diam tadi. Tangannya bergetar, tapi matanya penuh tekad.
"Fira …" suara Tasya serak, pura-pura pasrah. "Kau bener-bener tega ya."
Fira mendekat lebih jauh, wajahnya hampir sejengkal dari Tasya. "Kau akan segera tahu seberapa tega aku."
Dan pada detik itulah ...
BRUK!
Tasya dengan sisa tenaganya menghantamkan pecahan kayu itu ke bahu Fira, membuat wanita itu terhuyung ke belakang. Fira terkejut, rokoknya terlepas, matanya membelalak.
"Dasar brengsek!"
Namun sebelum Fira bisa meraih Tasya, gadis itu sudah bangkit, menendang meja hingga menabrak Fira, lalu berlari sekuat tenaga ke pintu gudang.
Fira berteriak marah, "Tasya!!"
Tapi Tasya sudah berhasil membuka pintu dan kabur ke luar, napasnya tersengal, kakinya gemetar, tapi tekadnya lebih kuat dari rasa takut.
Udara malam menusuk paru-parunya. Tasya berlari tertatih-tatih, kakinya goyah seolah tak sanggup lagi menopang tubuhnya. Napasnya memburu, dada terasa terbakar, tapi ia tak berhenti. Bayangan Fira yang bisa saja mengejarnya membuat langkahnya terus maju.
Di kejauhan, cahaya lampu redup dari sebuah toko kecil pinggir jalan menjadi satu-satunya harapan. Tasya menyeret langkahnya, hampir jatuh, sampai akhirnya ia berhasil menabrak pintu kaca toko itu.
Kriiing! Bel pintu berdenting.
Pemilik toko, seorang pria paruh baya, menoleh kaget. "Astaga! Mbak, kenapa ini?!" serunya melihat Tasya dengan wajah pucat, bibir pecah, tangan penuh luka, dan napas yang terengah.
Tasya hampir terisak saat membuka mulut. "Tolong … tolong saya … saya korban penculikan …" suaranya parau, hampir tak terdengar.
Pria itu refleks berlari ke arahnya, menopang tubuh Tasya yang nyaris roboh. "Ya Tuhan … siapa yang lakukan ini pada mbak?!"
Dengan sisa tenaga, Tasya menggenggam lengan pria itu erat-erat. "Ponsel … pinjam ponsel … saya harus hubungi seseorang …"
Tanpa pikir panjang, pemilik toko segera merogoh saku celana, mengeluarkan ponselnya, lalu menaruhnya di tangan Tasya. "Cepat, Mbak, hubungi siapa saja! Saya juga akan telepon polisi!"
Tasya jari-jarinya gemetar hebat saat mencoba membuka layar. Matanya buram karena air mata dan kelelahan, tapi hanya satu nama yang muncul dalam kepalanya, Revan.
Dengan napas tersengal, ia menekan nomor Revan, lalu ponsel itu bergetar menunggu sambungan.
"Angkat … Revan … tolong angkat …" bisiknya dengan suara bergetar.
---
Suara di seberang sana membuat Revan seakan kehilangan napas. Tangan yang menggenggam ponsel bergetar hebat.
"Tasya?! Kau di mana?! Bertahan, aku akan datang!" serunya, hampir tak mampu menahan emosi.
Sambungan telepon putus-putus karena sinyal buruk, tapi cukup bagi Revan untuk menangkap kata-kata penting, toko kecil … pinggir jalan … Fira …
Tanpa buang waktu, Revan berteriak ke arah Bram yang sedang memberi instruksi ke tim. "Aku dapat telepon dari Tasya! Dia berhasil kabur! Cepat, siapkan koordinat di sekitar toko pinggir jalan terdekat!"
Bram menoleh tajam, wajahnya sama tegangnya. "Kirim nomor yang dipakai Tasya, biar tim IT triangulasi sinyalnya!"
Tak sampai lima menit, tim berhasil melacak perkiraan lokasi dari panggilan terakhir. Revan langsung masuk ke mobil, hampir menghancurkan pedal gas dengan tekanannya. Bram ikut naik, dan konvoi mereka meluncur kencang membelah malam.
Beberapa jam kemudian.
Suasana di depan toko kecil itu sudah ramai. Mobil polisi berjejer, sirene berputar, dan sebuah ambulans dengan pintu terbuka bersiap mengevakuasi korban. Cahaya merah-biru berkedip-kedip, memantul di wajah orang-orang yang berkerumun.
Revan turun dari mobilnya dengan napas memburu, langkahnya besar-besar. Matanya langsung mencari, dan ketika melihat Tasya duduk di kursi plastik depan toko dengan selimut menutupi tubuhnya, wajah pucat, dan luka-luka di lengan serta bibirnya, jantung Revan seperti diremas.
"Tasya …" suaranya pecah, hampir tak keluar.
Tasya menoleh pelan. Begitu melihat Revan, matanya basah, air mata mengalir begitu saja. "Revan …"
Revan berlari menghampirinya, berlutut di depan kursi itu, lalu menggenggam tangan Tasya dengan hati-hati. Luka-lukanya membuatnya semakin marah, tapi ia berusaha tenang di depan Tasya. "Aku di sini sekarang. Kau aman, Sayang … kau aman."
Tasya tersedu, tubuhnya gemetar. "Aku … aku takut sekali …"
Revan menahan kepalanya di dada Tasya, kedua tangannya bergetar menahan emosi. Kalau aku terlambat sedikit saja …
Bram mendekat, wajahnya muram. Ia menatap Tasya sebentar, lalu kembali fokus pada polisi yang sedang mencatat keterangan. "Revan, kita harus segera menangkap Fira. Dia sudah keterlaluan."
Revan perlahan berdiri, wajahnya berubah keras, penuh amarah yang ditekan. Rahangnya mengatup kuat, tatapannya tajam menembus malam. "Aku bersumpah, Bram. Aku tidak akan pernah memaafkan Fira. Tidak setelah apa yang dia lakukan pada Tasya."
Tangannya mengepal, matanya kembali ke arah Tasya yang kini dibawa petugas medis ke ambulans. Revan mengikuti langkah mereka, memastikan Tasya dalam lindungannya.
Dalam hati, hanya ada satu tekad, Fira akan membayar semua ini. Dengan harga yang setimpal.
Sirene ambulans meraung pelan, pintunya sudah terbuka lebar. Petugas medis sibuk memeriksa kondisi Tasya, tensi, pernapasan, luka-luka di tangannya yang masih berdarah.
Bram menoleh cepat ke arah Revan, wajahnya tegas meski penuh kekhawatiran. "Revan, ikutlah dengan Tasya ke rumah sakit. Keadaannya kritis, dia membutuhkanmu di sampingnya."
Revan masih menatap jalan, seolah menanti kabar Fira, tapi Bram menepuk pundaknya keras. "Dengar aku. Saat ini, prioritasmu adalah Tasya. Aku yang urus pengejaran Fira."
Revan terdiam, dadanya bergemuruh. Tangannya mengepal, antara ingin memburu Fira dengan segera atau tetap bersama Tasya.
Tiba-tiba suara motor besar berhenti mendadak. Aldo turun dengan wajah penuh keringat, napasnya masih terengah karena perjalanan cepat. Begitu melihat kondisi Tasya, matanya membesar. "Astaga…" gumamnya.
Ia segera menghampiri Revan dan Bram. "Pak Revan, jangan ragu. Bapak harus ikut Tasya ke rumah sakit. Dia butuh Pak Revan lebih dari siapa pun sekarang."
Revan menoleh pada Aldo, rahangnya mengeras. "Tapi Fira—"
Aldo langsung memotong, tatapannya mantap. "Biar aku dengan Pak Bram yang urus itu. Kau tenangkan Tasya. Kalau sampai dia kehilangan nyawa karena kau terlalu sibuk mengejar Fira."
Kata-kata Aldo menusuk tepat di hati Revan. Ia menatap lagi Tasya yang terbaring lemah di brankar, matanya nyaris terpejam, napasnya pendek-pendek.
Revan mengembuskan napas berat, lalu mengangguk singkat pada Bram dan Aldo. "Kalau begitu, pastikan kalian temukan Fira. Hidup atau mati, aku ingin dia nggak bisa kabur dari ini."
Bram menepuk bahu Revan sekali lagi. "Percayakan itu pada kami."
Revan segera naik ke ambulans, duduk di samping Tasya sambil menggenggam erat tangannya. Wajahnya penuh tekad sekaligus luka batin yang dalam.
Ambulans melaju, meninggalkan kerumunan, sementara Bram dan Aldo saling berpandangan.
"Kita kejar dia sekarang," ucap Bram dingin.
Aldo mengangguk, matanya membara. "Fira nggak akan jauh."
TO BE CONTINUED