NovelToon NovelToon
Transmigrasi Sistem Si Pewaris Terkaya

Transmigrasi Sistem Si Pewaris Terkaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Sistem / Transmigrasi ke Dalam Novel / Fantasi Wanita
Popularitas:21.2k
Nilai: 5
Nama Author: Madya_

Lyra hanyalah gadis biasa yang hidup pas-pasan. Namun takdir berkata lain ketika ia tiba-tiba terbangun di dunia baru dengan sebuah sistem ajaib!

Sistem itu memberinya misi harian, hadiah luar biasa, hingga kesempatan untuk mengubah hidupnya 180 derajat. Dari seorang pegawai rendahan yang sering dibully, Lyra kini perlahan membangun kerajaan bisnisnya sendiri dan menjadi salah satu wanita paling berpengaruh di dunia!

Namun perjalanan Lyra tak semudah yang ia bayangkan. Ia harus menghadapi musuh-musuh lama yang meremehkannya, rival bisnis yang licik, dan pria kaya yang ingin mengendalikan hidupnya.

Mampukah Lyra menunjukkan bahwa status dan kekuatan bukanlah hadiah, tapi hasil kerja keras dan keberanian?

Update setiap 2 hari satu episode.

Ikuti perjalanan Lyra—dari gadis biasa, menjadi pewaris terkaya dan wanita yang ditakuti di dunia bisnis!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Madya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

29. Kepulangan Lyra

Pagi itu, cahaya keemasan matahari Eropa merambat pelan lewat celah tirai kamar hotel mewah tempat Lyra menginap. Aroma kopi segar dari dapur lantai bawah samar-samar tercium, bercampur dengan dinginnya udara pagi yang menembus kaca jendela besar. Lyra membuka mata perlahan. Tubuhnya masih terasa lelah, tapi ada kepuasan tersendiri yang menenangkan di dadanya. Semalam, ia baru saja menumbangkan sekutu Kandiswara di depan forum dunia sebuah kemenangan gemilang.

Belum sempat ia bangkit, suara Zen terdengar lembut di dalam benaknya, bagai nada yang hanya ia seorang bisa dengar.

“Selamat pagi, Lyra.”

Lyra tersenyum kecil sambil mengusap rambutnya yang jatuh ke bahu.

“Pagi, Zen. Ada hadiah lagi untukku, ya?”

“Ya. Sistem menghargai langkahmu yang gemilang. Masuk.”

Seketika, cahaya biru transparan membentuk layar holografis di hadapannya. Tulisan-tulisan emas melayang, berkilau indah.

(Ding! Selamat Lyra mendapatkan Kalung Resonansi Emosional

Fungsi: Mendeteksi niat jahat di sekitarmu dengan membaca fluktuasi emosi orang.

Bonus: Menenangkan emosimu sendiri sehingga kau tampil lebih berwibawa di depan musuh maupun investor.

Tambahan: Tambang Giok di Provinsi Guizhou, Tiongkok.)

Lyra menegakkan tubuhnya, mata berbinar menatap kalung yang perlahan terwujud di udara sebelum jatuh ringan di telapak tangannya. Rantai tipis perak berkilau, dengan batu giok hijau transparan di tengahnya.

“Indah sekali…” bisik Lyra, memutar-mutar kalung itu di jari.

Zen berbicara lagi, kali ini dengan nada lebih serius.

“Kalung ini akan jadi senjata tak kasatmata. Kau bisa membaca kebohongan, niat busuk, bahkan kegelisahan lawanmu. Namun penggunaannya butuh kendali emosimu sendiri. Jika hatimu kacau, resonansi akan terganggu.”

Lyra tersenyum tipis. “Bukankah itu artinya aku harus terus belajar mengendalikan diriku? Cocok sekali.”

Ia berdiri, melangkah ke depan cermin. Begitu ia mengenakan kalung itu, pantulan dirinya tampak berbeda matanya terlihat lebih tenang, aura wibawa semakin kuat.

Tiba-tiba pintu kamar diketuk pelan.

“Nona Lyra, ini Serena,” suara lembut asistennya terdengar.

“Masuk,” jawab Lyra.

Serena masuk membawa nampan sarapan: croissant hangat, buah segar, dan kopi hitam. Begitu melihat kalung baru di leher Lyra, matanya langsung berbinar.

“Kalung yang indah sekali apakah kalung itu baru ?”

Lyra mengangguk. “Iya. Bukan sekadar perhiasan, ini alat deteksi emosi. Akan sangat membantu kita nanti di Jakarta.”

Serena meletakkan nampan di meja, lalu duduk di sofa dengan senyum lega.

“Kalau begitu, kita tidak perlu khawatir kalau ada yang mencoba menjebakmu lagi. Kau bisa membaca mereka sebelum mereka bergerak.”

Tak lama kemudian, dua pengawal utama Lyra masuk Elias dan Kael, masih dengan setelan hitam rapi meski wajah mereka terlihat lelah setelah malam panjang.

Elias menatap Lyra penuh rasa ingin tahu. “Nona, saya merasakan energi berbeda darimu pagi ini.”

Lyra tersenyum. “Kau peka sekali, Elias. Katakan, menurutmu bagaimana?”

Kael menambahkan dengan nada lebih ringan. “Kalau menurut saya, aura nona sekarang… menenangkan tapi berbahaya. Seperti samudra yang tampak tenang, tapi bisa menenggelamkan kapal.”

Serena tertawa kecil. “Itu perbandingan yang tepat sekali, Kael.”

Lyra duduk di kursi dekat jendela, menikmati cahaya matahari yang menimpa wajahnya.

“Kalian tahu… semalam aku menghancurkan sekutu Kandiswara. Tapi mereka sudah mengirim pesan bahwa permainan belum selesai. Mereka menungguku di Jakarta.”

Elias langsung menegang, tangannya mengepal. “Mereka berani mengancam lagi? Nona, beri saya izin, biar saya habisi duluan orang-orang itu.”

Lyra menggeleng, matanya menatap lurus keluar jendela. “Tidak, Elias. Kita tidak bisa hanya pakai kekerasan. Kita harus tahu siapa sebenarnya otak di balik ancaman itu. Dengan kalung ini, aku bisa memisahkan siapa lawan sejati, siapa pion. Kita tidak akan salah langkah lagi.”

Zen menyahut di dalam benaknya, suaranya mengalun tenang.

“Kau belajar cepat, Lyra. Kau tidak hanya mengandalkan kekuatan, tapi juga membaca hati manusia. Itu kunci kemenanganmu.”

Lyra menutup mata sejenak, lalu berbisik lirih.

“Jakarta… ayo kita lihat siapa yang benar-benar tidak keluar dengan selamat.”

Kalung di lehernya berkilau samar, seolah menjawab sumpah diam-diam itu.

...----------------...

Sore itu, matahari menurun dengan lembut, memantulkan cahaya keemasan ke jendela kaca besar sebuah rumah bangsawan. Lyra melangkah masuk ke taman dalam, di mana meja teh kecil sudah disiapkan. Taplak renda putih bersih, porselen biru-putih khas Prancis, dan teko teh melati mengepul harum. Mawar merah muda bermekaran di sisi meja, ditemani aroma manis lavender yang ditiup angin.

Lady Marguerite Leclerc duduk anggun di kursinya, rambut pirang keemasan disanggul rapi, dengan kalung mutiara melingkar di leher jenjangnya. Gaun krem berenda halus yang dikenakannya tampak sederhana tapi memancarkan wibawa seorang wanita bangsawan sejati.

Marguerite tersenyum lembut ketika Lyra mendekat.

“Madame Lyra, semalam kau membuat seluruh ruangan terdiam. Percayalah, aku sudah menghadiri puluhan forum, tapi jarang ada yang mampu menguasai panggung sepertimu.”

Lyra membungkuk sedikit, lalu duduk. Uap teh hangat naik perlahan di antara mereka.

“Kadang kebenaran memang harus disampaikan dengan suara lantang,” ujar Lyra dengan tenang. “Kalau tidak, ia akan tenggelam dalam kebohongan yang disusun dengan indah.”

Marguerite mengangkat cangkir, menatap Lyra penuh arti.

“Benar sekali. Tapi kau harus tahu, keberanian seperti itu selalu mengundang permusuhan. Orang-orang yang merasa singgasananya goyah akan menyerang tanpa ampun.”

Lyra tersenyum samar, menyesap tehnya. “Aku sudah terbiasa hidup di antara orang-orang yang mencoba menjatuhkanku. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah berdiri lebih tinggi setiap kali mereka mendorongku jatuh.”

Keheningan sebentar tercipta, hanya suara burung gereja yang hinggap di pagar besi tembaga. Lalu, Marguerite menyodorkan sebuah kartu emas tipis, ukirannya berbentuk bunga lily yang anggun.

“Ini adalah jaringan pribadiku,” katanya pelan. “Para bangsawan muda Eropa yang lebih senang membangun masa depan daripada terkubur dalam tradisi usang. Mereka visioner, seperti dirimu. Jika kau membutuhkanku, cukup kirim satu pesan, dan kau akan menemukan banyak tangan yang siap mengulurkan dukungan.”

Lyra menerima kartu itu dengan lembut, jari-jarinya menyentuh permukaan emas yang dingin namun berharga. Ia menatap Marguerite dengan senyum tulus.

“Aku menghargai dukunganmu, Lady Marguerite. Dunia ini memang lebih mudah ditembus jika kita memiliki sekutu yang cerdas, bukan hanya sekadar kuat.”

Marguerite tertawa pelan, ada rasa kagum dalam suaranya. “Kau berbeda dari kebanyakan pengusaha muda yang hanya memikirkan laba. Ada sesuatu dalam caramu berbicara yang membuat orang percaya bahwa dunia bisa berubah lebih baik.”

Lyra mengangkat alis, sedikit menggoda. “Hati-hati, Lady Marguerite. Pujianmu bisa membuatku lupa betapa banyak musuh yang menunggu di balik pintu.”

Marguerite menghela napas, pandangannya sedikit redup. “Itulah sebabnya aku mengundangmu. Hati-hati di negerimu, Lyra. Rumor yang beredar… keluarga besar Kandiswara belum selesai. Mereka masih memiliki sekutu yang berbahaya, bahkan di luar negeri dan aku ingatkan kamu punya musuh yang tidak terlihat.”

Lyra meletakkan cangkirnya dengan tenang. Senyum kecil muncul, kali ini dengan ketegasan yang nyaris menusuk.

“Biarkan mereka mencoba. Aku sudah siap. Semakin banyak mereka menyerang, semakin jelas kebenaran yang akan terbuka.”

Angin berhembus lembut, menggoyangkan kelopak mawar. Marguerite menatap Lyra lebih lama, seolah menilai sekaligus mengagumi kekuatan dalam dirinya.

“Aku berharap kita bertemu lagi, bukan sebagai tamu dan tuan rumah, tapi sebagai sekutu yang berjalan di jalan yang sama.”

Lyra menunduk tipis. “Itu janji yang akan kusimpan, Lady Marguerite.”

Suasana terasa hening namun sarat makna. Dua wanita dari dunia yang berbeda, duduk bersama di bawah cahaya senja, terikat bukan hanya oleh secangkir teh, tetapi oleh benang halus ambisi dan keyakinan pada masa depan yang ingin mereka bentuk.

...----------------...

Beberapa jam sebelum penerbangan, ruang tunggu VIP bandara dipenuhi cahaya lembut dari lampu gantung kristal kecil yang menggantung di atas. Suara gesekan koper beroda dan percakapan lirih para penumpang elit bercampur menjadi latar samar. Aroma kopi hitam baru diseduh memenuhi udara, kontras dengan ketegangan yang masih menggantung di benak Lyra setelah jamuan panjang tadi malam.

Langkah sepatu kulit yang mantap terdengar mendekat. Lyra menoleh sekilas. Alessandro. Lelaki itu mengenakan setelan abu-abu gelap yang jatuh sempurna di tubuh jangkungnya. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada sesuatu di balik tatapan matanya keresahan yang jarang ia perlihatkan.

Alessandro berhenti tepat di hadapannya. Ia menatap Lyra cukup lama, seakan menimbang kata yang tepat, lalu bersuara rendah, nyaris seperti bisikan yang hanya ditujukan untuknya.

“Aku masih tidak mengerti bagaimana kau bisa begitu tenang setelah semua yang terjadi. Kau tahu mereka tidak akan diam saja, kan?”

Lyra menutup bukunya perlahan, lalu menatap balik dengan senyum samar yang menenangkan sekaligus berbahaya.

“Tenang bukan berarti lengah, Alessandro. Justru karena aku tahu mereka akan menyerang, aku sudah menyiapkan langkah berikutnya.”

Cahaya lampu memantul di mata Lyra yang berkilau tenang, seolah badai yang baru saja ia lalui hanya membuatnya semakin kuat. Alessandro mengerutkan kening, jemari panjangnya mengepal tipis di samping tubuhnya. Ia bukan pria yang mudah khawatir, tapi ada sesuatu dalam keberanian Lyra yang membuatnya campur aduk, kagum, sekaligus cemas.

Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya kini lebih pelan namun tajam.

“Kau bermain di atas api, Lyra. Dan api itu bisa melahap siapa saja. Kalau kau butuh bantuan…” Alessandro terhenti sejenak, sorot matanya mengeras, “hubungi aku. Apa pun itu.”

Sejenak, dunia di sekitar mereka seakan mereda. Hanya ada keheningan yang dipenuhi ketegangan samar. Lyra menatapnya dalam-dalam, matanya menelisik seolah ingin membaca alasan di balik tawaran itu. Ada kejujuran di sana, tetapi juga sesuatu yang tak ia biarkan keluar sepenuhnya.

Senyum tipis kembali muncul di bibir Lyra. Ia berdiri perlahan, gaun biru tuanya berkilau lembut, mengikuti gerak tubuhnya setiap langkah.

“Kuhargai tawaranmu.” Suaranya tenang, namun dalam, penuh lapisan yang sulit ditebak. Lalu ia menambahkan dengan nada yang nyaris seperti janji, “Sampai jumpa, Alessandro.”

Lyra berbalik, meninggalkan aroma samar parfum melati yang membuat Alessandro terdiam di tempatnya. Lelaki itu hanya menatap punggung Lyra yang menjauh, langkah-langkahnya tegap, seakan dunia ada di genggamannya.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Alessandro merasakan sesuatu yang membuat dadanya bergetar bukan rasa takut, bukan pula sekadar rasa hormat. Sesuatu yang lebih dalam, yang mungkin akan ia sadari nanti.

...----------------...

 Di media sosial, dunia benar-benar meledak.

#BlueQueen mendominasi trending di Twitter Eropa, sementara di Asia muncul tagar #LadyIronHeart yang menyalip berbagai isu politik dan hiburan.

Potongan video Lyra saat menampar balik fitnah Valente disiarkan ulang oleh akun-akun besar. Dalam beberapa jam saja, jutaan orang sudah menonton dan jumlahnya terus meroket.

Komentar netizen penuh dengan kekaguman sekaligus rasa lega.

"Perempuan ini baru saja mempermalukan korporasi besar di depan dunia."

"Dia berdiri sendirian, tapi terlihat lebih kuat daripada sekutu mana pun."

"Ini bukan sekadar bisnis, ini revolusi citra Indonesia di mata dunia!"

Beberapa media Eropa menuliskan headline pedas:

“Wanita Timur Membalikkan Meja Arogansi Barat.”

“Skandal Valente: Bagaimana Seorang Nona Muda Menghancurkan Imperium Bisnis dengan Sekali Sentuhan.”

Lyra sendiri duduk di balkon kamar hotelnya malam itu, angin laut berhembus lembut membawa aroma garam. Ia melihat layar ponselnya yang penuh notifikasi wartawan ingin wawancara, lembaga investasi internasional mengajukan kolaborasi, bahkan politisi berpengaruh mengirimkan ucapan hormat.

Namun, Lyra hanya tersenyum kecil. Ia menyesap teh hangat di tangannya, matanya menatap lampu-lampu kota di kejauhan.

"Begini rasanya... saat dunia akhirnya tahu siapa yang sebenarnya bermain kotor. Dan begini rasanya saat kau mengubah fitnah jadi senjata."

Zen berbisik lembut dalam pikirannya.

“Kau tidak hanya menang dalam forum, Lyra. Kau sudah menanam nama di hati publik dunia. Dari titik ini, setiap langkahmu akan semakin diperhatikan dengan baik oleh sekutu maupun musuh.”

Lyra menyandarkan punggung, membiarkan rasa hangat kemenangan memenuhi dadanya. Ada kepuasan yang indah bukan hanya karena ia menghancurkan Valente, tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa pengorbanannya benar-benar bergema ke seluruh dunia.

Tapi senyumnya perlahan meredup ketika pesan anonim itu masuk. Ancaman. Peringatan. Bayangan Kandiswara yang belum hilang.

Lyra menatapnya lama, lalu mendengus pelan.

"Biar saja. Mereka pikir aku akan takut hanya karena ancaman kata-kata? Mereka bahkan belum tahu seberapa jauh aku bisa melangkah."

...----------------...

Sesampainya di Jakarta, langkah Lyra menuruni tangga pesawat disambut cahaya lampu bandara yang menyilaukan. Hera sudah menunggu bersama para pengawal, wajahnya lega sekaligus tegang. Suara riuh penumpang lain seolah menghilang, berganti dengan tatapan penuh waspada dari beberapa orang asing di kejauhan. Lyra bisa merasakan, udara Jakarta malam itu bukan sekadar lembab tapi penuh aroma bahaya.

Ia masuk ke mobil hitam yang sudah menunggunya. Di kaca, pantulan lampu jalan berlari cepat, sementara Lyra hanya menyandarkan kepala sambil menutup mata sebentar. Hera duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat.

“Kau sudah menang di forum internasional, tapi wajah-wajah yang kulihat tadi… seakan mereka tidak ingin kita benar-benar pulang dengan damai.”

Lyra membuka mata, tatapannya tenang.

“Mereka bisa menatap sepuasnya. Tapi bila mereka menantangku di Jakarta… mereka akan menyesal memilih kota ini sebagai medan perang.”

Malamnya, setelah membersihkan diri, Lyra duduk di sofa ruang tamunya dengan rambut masih basah. Jubah tidurnya sederhana, tetapi sorot matanya tajam. Ia baru saja menuangkan teh hangat ketika ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan anonim masuk.

Lyra menatap layar lama, seolah setiap huruf adalah undangan perang. Senyum tipis terukir di bibirnya, dingin, penuh antisipasi. Bukannya ketakutan, justru rasa lapar akan pertempuran yang lebih besar muncul di matanya.

“Selamat datang di Jakarta,” gumamnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan doa kematian.

Zen masuk dengan suara rendah di pikirannya.

“Lyra, ini bukan ancaman biasa. Aku mendeteksi ada email masuk dengan kode enkripsi lama milik jaringan Kandiswara. Isinya undangan untuk sebuah pertemuan elit lokal. Sangat mungkin jebakan.”

Lyra mengambil ponselnya, membuka email itu perlahan. Kata-kata di layar berisi undangan jamuan eksklusif dengan dalih diskusi peluang investasi energi terbarukan. Lokasi: sebuah hotel mewah di pusat kota, esok malam.

Lyra menutup email, menatap layar ponselnya gelap, lalu meletakkannya kembali di meja.

“Kalau itu jebakan, Zen…” ia berhenti sejenak, suaranya turun, dingin dan mantap. “…maka aku akan membakarnya habis-habisan. Biar mereka yang menyesal pernah mencoba memancingku keluar.”

...----------------...

Di luar jendela villa milik Lyra, lampu kota berkilau seperti lautan bintang buatan. Di jalan sepi yang hanya sesekali dilintasi mobil malam, sebuah sedan hitam tanpa plat resmi berhenti dengan sunyi. Kacanya gelap pekat, memantulkan cahaya lampu jalan yang dingin.

Di dalam, dua pria berjas hitam duduk tanpa suara. Udara di kabin mobil itu berat, penuh kewaspadaan. Salah satu dari mereka menyalakan rokok, asapnya melingkar pelan di udara. Yang lain mengangkat telepon satelit kecil, bukan ponsel biasa, suaranya rendah dan penuh hormat.

"Target sudah kembali ke apartemennya. Instruksi berikutnya, Tuan?"

Hening sebentar di seberang. Lalu suara seorang pria parau terdengar, nyaris hanya bisikan, tapi cukup untuk membuat kedua pria itu saling berpandangan ngeri.

"Jangan bergerak dulu. Biarkan dia merasa aman. Kita tidak terburu-buru… malam ini hanya langkah pembuka. Besok, ketika ia percaya dirinya sudah memenangkan permainan, saat itulah kita mencabut semua dari akarnya."

Telepon terputus. Sunyi kembali menguasai kabin.

Pria yang merokok menekan puntungnya ke asbak mobil, lalu berucap lirih.

"Kalau benar dia sekuat yang dikatakan, ini bisa jadi misi terakhir kita."

Yang lain hanya menatap apartemen Lyra dari balik kaca gelap, bibirnya melengkung tipis.

"Atau justru misi paling berharga."

Mobil itu tetap diam, seperti bayangan yang menunggu saat tepat untuk menerkam.

Jangan lupa like, subscribe dan komen agar author semangat update. Terima kasih🤗

1
Evi Yana
kpan up lg thor ?
Anita Dewi13
/Determined//Smile//Angry//Proud/
Ressah Van Germ
sebaiknya jgn terlalu banyak menampilkan drama para pengawal, yg nbnya adalah robot, agar tidak merusak alur/ mengurangi kesukaan pembaca.
Ressah Van Germ
gimana mau komen kalo dibuat tegang terus kyk gini? 🤭💪
Ressah Van Germ
masih binun, zen ini nama sistem, tp apa berwujud manusia spt para pengawal jg?
Ressah Van Germ
sorry gak s4 komen...
lagi asyik ngikuti alurnya..🤭💪
Ressah Van Germ
sayangnya ga ada ktrampilan beladiri/ kekuatan fisik, apa belum ya?
Ressah Van Germ
coba mampir, sapatau sesuai harapan
...
Ken Dita Yuliati
tegaaanggg bacanya dan deg-degkan tau taunya nunggu bab selanjutnya.....,
Lala Kusumah
tegaaaanng degdegan banget 😵‍💫🫣🫣😵‍💫
Grey Casanova
udah tamat kah?
Lala Kusumah
cepat hempaskan mereka Lyra 💪😍😍
💜 ≛⃝⃕|ℙ$°INTAN@RM¥°🇮🇩
pembantu/asisten rumah tangga
💜 ≛⃝⃕|ℙ$°INTAN@RM¥°🇮🇩
hai kak mampir
Lala Kusumah
tegaaaanng 😵‍💫😵‍💫🫣🫣
Lala Kusumah
kereeeeeennn Lyra 👍👍👍
Lala Kusumah
siaaap, lanjutkan 👍👍👍
Lala Kusumah
kereeeeeennn n hebaaaaaatt Lyra 👍😍💪😍
Mimi Johan
Bagus sekali ceritanya
Lala Kusumah
siap lanjutkan Thor 🙏🙏🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!