"Jangan pernah berharap ada cinta dalam hubungan ini, Ndu." - Wisnu Baskara Kusuma.
"Aku bahkan tidak berharap hubungan ini ada, Mas Wisnu." - Sewindu Rayuan Asmaraloka.
*****
Sewindu hanya ingin mengejar mimpinya dengan berkuliah di perantauan. Namun, keputusannya itu ternyata menggiringnya pada garis rumit yang tidak pernah dia sangka akan terjadi secepat ini.
Di sisi lain, Wisnu lelah dengan topik pernikahan yang selalu orang tuanya ungkit sejak masa kelulusannya. Meski dia sudah memiliki kekasih, hubungan mereka juga masih tak tentu arah. Belum lagi Wisnu yang masih sibuk dengan masa dokter residen di tahun pertama.
Takdir yang tak terduga mempertemukan kedua anak manusia ini dalam satu ikatan perjodohan.
Pernikahan untuk menjemput ketenangan hidup masing-masing. Tanpa cinta. Hanya janji bahwa hati mereka tak akan ikut terlibat.
Akankah perjanjian yang mereka buat dalam pernikahan ini dapat ditepati? Atau malah membawa mereka jatuh ke dalam perasaan masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amerta Nayanika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Bersama Dara
Benda pipih itu bergetar di atas meja belajar. Wisnu melirik pada sebuah pesan yang datang dari kekasihnya.
Sebuah senyuman tampak mengembang di wajahnya. Dia tentu ingat memiliki janji temu dengan pujaan hatinya itu malam ini. Dia bahkan sudah rapi sejak beberapa menit yang lalu.
Aroma buah persik berpadu pahit kulit jeruk — khas Wisnu sekali, menguar di seluruh sudut kamar. Dia memeriksa kembali pantulan dirinya pada cermin gantung yang ada di salah satu sisi dinding.
Setelah menarik lengan bajunya yang panjang sampai sebatas siku, Wisnu akhirnya beranjak keluar dari sana.
“Ndu,” panggilnya pelan saat keluar dari kamar.
Televisi yang mereka bawa dari kamar Wisnu tadi siang masih menyala di ruang keluarga. Volume suaranya cukup kecil, membuat acara komedi itu terdengar lebih tenang dari yang seharusnya.
Seingatnya, Sewindu tadi masih duduk di sana saat dia baru selesai membersihkan diri.
Wisnu melongok di balik sofa panjang yang ada di sana. “Ndu?” panggilnya sekali lagi.
Namun, gadis itu tak sama sekali menunjukkan pergerakan. Tempo nafas yang tenang dan teratur. Matanya terpejam lelap dalam tidurnya.
Buku sketsa kecil dan sebuah pensil tergeletak begitu saja di atas meja. Dibiarkan terbuka, menampilkan sebuah gambar abstrak yang hanya Sewindu yang dapat mengerti maknanya.
Melihat Sewindu terlelap, Wisnu beranjak masuk ke dalam kamar gadis itu. Dia ambil sebuah bantal dari sana dan dia selipkan di bawah kepala Sewindu yang sedang tertidur di sofa.
Alisnya berkerut saat melihat pergelangan kaki kiri Sewindu yang bengkak. Celana panjang itu rupanya sedikit tersingkap.
“Ceroboh,” cibirnya, tanpa tahu kalau hal itu disebabkan olehnya.
Setelah memastikan posisi tidur Sewindu sudah lebih baik, Wisnu langsung pergi begitu saja dari sana.
...****************...
Kembali dengan romansa Jogja dan kekasih cantiknya. Entah ke mana dia akan membawa kendaraan roda empat ini bersama Dara.
Berbeda dari biasanya. Jika sebelumnya, Wisnu menjadi orang yang selalu meminta untuk bertemu, kali ini Dara yang meminta bertemu lebih dulu.
“Kita udah berapa minggu sih nggak ketemu? Kok rasanya kayak lama banget, ya?” tanya Dara memecah kesunyian di antara mereka.
Wisnu menyipitkan matanya sebentar. “Dua minggu?”
Sikap Wisnu malam ini tak seperti biasanya. Pria itu tampak lebih banyak diam dan tak terlalu tertarik untuk membuka pembicaraan seperti biasanya.
Hal itu membuat Dara sedikit terusik. “Berarti sama kayak waktu kita berantem bulan lalu, ya?”
Wisnu sontak menoleh sekilas saat mendengarnya. “Apa sih, Ra?”
Nada suaranya berubah. Sahutan cepat itu terdengar lebih tajam dari cara bicara Wisnu yang biasanya lembut padanya. Tampaknya Wisnu sedang tidak ingin mengingat masa-masa tak menyenangkan di antara mereka.
Dara sontak menoleh sepenuhnya pada kekasihnya. “Kok ngomongnya gitu, Nu? Aku kan cuma bilang gitu.”
Di depan sana, lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Dia menghentikan laju kendaraannya bersama kendaraan lain. Wisnu menghela nafasnya pelan.
“Kok gitu nafasnya?” tanya Dara. Wanita itu menarik tubuhnya menjauh dari Wisnu.
Sementara itu, Wisnu mengerutkan dahinya samar. “Aku cuma nafas loh, Sayang.”
“Kamu kan tahu, aku nggak suka kalau ada yang kayak gitu,” sahut Dara sengit. “Kamu ada masalah?”
Wisnu bergeming, meredam dirinya sendiri dalam diam. Entahlah, mungkin karena energinya sudah terpakai untuk memindahkan barang-barangnya siang tadi. Wisnu jadi lebih mudah tersulut emosi.
“Kalau ada masalah itu, cerita ke aku, Nu. Kamu juga tahu, aku selalu dengerin kamu.”
Pria itu menggeleng. Untuk menegaskan bahwa dirinya baik-baik saja, Wisnu menarik sebuah senyum simpul di wajahnya. “Aku nggak apa-apa.”
“Maaf, Sayang,” lanjutnya sambil mengusap surai halus Dara. “Jadi, kita mau ke mana?”
Dara yang tampaknya sudah kehilangan minatnya itu diam menatap lurus pada jajaran kendaraan yang masih berhenti. “Ke tempat biasanya aja, makan.”
Nada bicara wanita itu terdengar sedikit ketus. Senyuman tipis yang sebelumnya selalu bertengger manis di wajah cantiknya, hilang seketika. Matanya masih enggan melirik ada Wisnu.
Mau menghela nafas pun, Wisnu sudah pasti salah di matanya. Alhasil, mau tak mau Wisnu hanya mengangguk sambil menunggu lampu lalu lintas kembali hijau.
“Dara,” panggilnya pelan.
Pria itu kembali menoleh pada kekasihnya. Tangannya kembali terangkat, mengusap surai lembut Dara yang dibiarkan terurai indah.
“Maaf, Sayang. Aku cuma capek aja hari ini,” ucapnya lebih lembut.
Dara meringis sinis. “Kamu yang nggak kerja aja capek, apalagi aku yang kerja seharian ini?”
“Kamu lagi pms?” tanya Wisnu hati-hati. Dia juga melirik tanggal yang tertera di jam tangannya.
Benar saja, ini sudah mendekati akhir bulan. Dara memang akan selalu seperti itu jika sudah mendekati masa datang bulannya. Perasaannya jadi lebih sensitif daripada biasanya.
Wisnu mengatupkan bibirnya dan kembali mendongakkan kepalanya. “Maaf aku lupa. Kamu mau apa?”
Dara melirik sebentar dari sudut matanya. Dia melepaskan tangan Wisnu dari kepalanya. “Mau ketemu kamu! Tapi kamu malah kayak gitu.”
Mendengar sahutan bernada ketus itu, tentu membuat Wisnu sedikit kesal — namun gemas juga di waktu bersamaan.
Ini bukan pertama kalinya dia menghadapi Dara yang seperti ini. Wisnu hanya bisa tersenyum lembut di balik kemudi. Membiarkan Dara melepaskan kesalnya lebih dulu.
Sementara Wisnu, pria itu teringat sesuatu. Dia lantas mengambil ponselnya dan mengetikkan pesan pada seseorang di seberang sana.
Siapa tahu, Sewindu mencarinya begitu bangun nanti.
...****************...
Sayup suara televisi yang menyiarkan berita malam hari terdengar masuk ke telinganya. Matanya pedih mengerjap beberapa kali sebelum benar-benar terbuka sepenuhnya.
Pukul 08:13 malam. Langit di luar sana sudah pasti gelap gulita.
“Aw!” Sewindu memekik tertahan saat merasakan nyeri bukan main di pergelangan kakinya.
Gadis itu menggembungkan pipinya keras-keras, menahan rasa sakit di sana. Sekedar digeser saja nyerinya bukan main. Apalagi saat dia mencoba berjalan.
Sewindu berdiri dari tempatnya, menyangga tubuhnya dengan sebelah kaki. “Berdiri aja susah, apalagi jalan!” gerutunya kesal.
Dia melirik pada pintu kamar Wisnu yang tertutup rapat. Tidak terdengar pergerakan apa pun di dalam sana.
“Giliran kemarin aku mau keluar malam aja langsung bangun,” cibir Sewindu pelan.
Dia kembali mendudukkan dirinya pada sofa. Jemarinya menggaruk pelan kulit kepalanya — bingung melihat bantal yang dia kenakan. Seingatnya dia tertidur begitu saja di sana.
Sewindu meraih ponsel yang melesak masuk di sela sofa hijau tua itu. Matanya langsung tertuju pada sebuah pesan masuk dari Wisnu.
Pria itu mengabari kalau dia sedang menghabiskan waktu dengan Dara dan mungkin akan makan malam di luar.
Sebuah senyuman mengembang di wajah Sewindu. Kebetulan sekali! Saat kakinya sedang sakit begini, takdir berpihak padanya untuk tidak banyak bergerak.
Dengan senyum ceria dia membalas pesan itu, mengiyakan saja apa yang dikatakan Wisnu di sana.
Tak peduli dengan ceklis satu yang tertera di sana, Sewindu kembali mematikan layar ponselnya dan meletakkannya asal.
Tatapan cerianya berubah kosong, mengarah pada pintu kamarnya yang tertutup rapat.
Sekarang, bagaimana caranya untuk masuk ke dalam sana. Tanpa bantuan orang lain, hanya dengan sebelah kakinya yang baik-baik saja.
TOK! TOK! TOK!
Sepertinya semesta yang mendengar keluhannya. Sebuah ketukan terdengar dari pintu utama.