Wan Yurui terbangun kembali saat usianya masih belia. Ingatan di dua kehidupan itu melekat kuat tidak bisa di hilangkan. Satu kehidupan telah mengajarinya banyak hal. Cinta, benci, kehancuran, kehilangan, penghianatan dan luka.
Di kehidupan sebelumnya dia selalu diam di saat takdir menyeretnya dalam kehampaan. Dan sekarang akankah semua berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Wulandari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta dan keabadian
Dengan gaun merah berlapiskan jahitan emas membentuk burung phoenix yang siap terbang. Mahkota permata merah delima yang ia kenakan menghiasi kepalanya. Tertata rapi membuat kekaguman bagi siapa saja yang memandangnya. Wanita mulia pilihan takdir berdiri tegap memandang langit pagi dengan lapisan rintik salju. Angin bertiup lembut dari timur menyapa wajah cantik penuh karisma.
Seratus ribu prajurit yang ada di bawah kendalinya telah siap mengikuti setiap perintah. Tepat di belakangnya pelayan wanita yang sudah mengabdi dengannya selama dua puluh tahun.
Dari depan seorang pria paruh baya datang membawa pedang di genggaman tangannya. "Yang Mulia, Putra Mahkota telah aman."
"Segara siapkan pasukan."
"Baik."
Sebelum melangkah pergi meninggalkan halaman istana utama. Ratu Wan Yurui sedikit membalikkan tubuhnya menatap ratusan anak tangga yang langsung menuju aula utama. Di barisan akhir anak tangga Kaisar Ming Jing berdiri tegap menatap dingin. Pria yang telah memimpin Kekaisaran selama sepuluh tahun terakhir itu hanya bisa terdiam melihat penghianatan dari istrinya.
Ratu Wan Yurui melangkah pergi di ikuti seratus ribu pasukan yang ada di bawah kendalinya. Mereka langsung mengarah kejalur utama Ibu Kota. Menuju gerbang tertinggi yang menutupi jantung Kekaisaran Jing. Di atas tembok setinggi tiga puluh meter Ratu Wan Yurui menatap ratusan ribu pasukan yang di pimpin Panglima perang Yu Xiao.
Lautan manusia di hamparan tanah berjarak seratus kilometer. Membentang jauh dengan tombak dan pedang di tangan mereka. Semua mata menajam siap membunuh siapa saja yang datang memprovokasi. Di barisan terdepan pria dengan zirah menatap tenang. Dia duduk di atas kuda putih pemberian orangtuanya saat masih berusia sepuluh tahun. Namun tatapannya berubah di saat melihat wanita yang pernah hidup bersamanya selama dua tahun.
Ratu Wan Yurui sedikit melirik kearah Jenderal perangnya.
"Baik." Pria itu langsung mengangguk mengerti. "Panglima Yu, kami bisa melepaskan Putra Mahkota Yun asalkan anda berjanji beberapa hal kepada kami." Teriakan kuatnya terdengar menggema. Karena mekanisme yang telah di pasang pada bagian tertentu di atas tembok tinggi dan bagian bawah tembok. Suara yang seharusnya tidak terdengar dari jarah jauh dan dari ketinggian. Bisa memungkinkan tersampaikan.
Di barisan garda depan seorang Jenderal tingkat dua mendekat. "Panglima, lebih baik langsung menyerang saja. Tidak perlu lagi berbicara omong kosong kepada mereka."
Panglima Yu Xiao melirik tajam kearah Jenderal itu. Dengan nada dingin dia berkata, "Lakukan kesepakatan."
"Baik," jawab Jenderal Ling menundukkan kepalanya. Setelah siap dia menatap kearah bagian atas tembok. "Jika penawaran yang kalian berikan sesuai. Kami akan siap menyetujuinya."
"Perjanjian perdamaian tertulis tanpa penyerangan."
Jenderal Ling menatap Panglimanya. Satu anggukan membuatnya paham. "Baik, kami menyetujuinya."
Satu prajurit langsung turun dengan tali yang telah di sediakan membawa gulungan surat resmi. Setelah sampai di bawah dia berlari kuat menghampiri Panglima perang Yu Xiao. Memberikan surat resmi sebagai tanda persetujuan.
Pria di atas kuda putihnya itu melihat isi di dalam gulungan surat resmi. Setelah beberapa detik dia menggambil belati di pinggangnya.
Sreeettt...
Belati menyayat telapak tangan kirinya. Darah segar mengalir dan di biarkan menetes pada ujung surat resmi. Satu tanda dari jempolnya membuat persetujuan tertulis yang telah di sahkan.
Prajurit itu berlari kembali membawa surat di tangannya. Dia memanjat kembali memberikan surat kepada Jenderal perang. Setelah melihat isi di dalam surat Jenderal perang memberikannya kepada bawahannya. "Segera kirim surat ini kepada Perdana menteri pertahanan."
"Baik."
Prajurit itu segera pergi melaksanakan tugas yang di berikan.
"Yang Mulia, kita sudah tidak bisa menahan pasukan Yang Mulia Kaisar terlalu lama."
"Buka gerbang utama. Biarkan Putra Mahkota Yun kembali," ujar Ratu Wan Yurui memberikan perintah.
"Baik." Jenderal perang segera pergi melaksanakan perintah.
Sekitar setengah jam gerbang Ibu Kota di buka hanya untuk memberikan jalan kepada Putra Mahkota Yun. Pemuda usia tujuh belas tahun dengan tubuh lemah penuh luka itu berjalan tertatih keluar dari gerbang Ibu Kota.
Panglima perang Yu Xiao memacu kudanya mendekat. Tepat di hadapan Putra Mahkota dia langsung menarik tubuh lemah itu agar bisa naik tepat di belakangnya.
"Ciahhh...." Kuda melaju pergi menjauh dari gerbang Ibu Kota. "Mundur." Semua pasukan segera mundur setelah mendapatkan perintah.
Dari atas tembok tinggi Ratu Wan Yurui menatap dengan senyuman indah di wajahnya.
"Yang Mulia, semua sudah berakhir," ujar Jenderal perang setelah menyelesaikan misinya.
Sedangkan di istana utama, Jenderal tertinggi Qing telah berhasil menyelamatkan Kaisar Ming Jing dari kepungan para pemberontak. "Menuju ketembok Ibu Kota." Berlari sekuat tenaga menuruni tangga di ikuti semua pasukan.
"Baik."
Wanita dengan gaun kemegahannya berdiri tegap di atas tembok pembatas. Dia menatap tenang menuju kearah para pasukan yang telah pergi menjauh. Wajah cantiknya tersapu angin yang membawa butiran salju. Di tangannya petasan isyarat di genggam kuat.
Setelah cukup jauh Panglima perang Yu Xiao mengalihkan pandangannya kebelakang. Saat dia sadar jika wanita dengan jubah indahnya berdiri tanpa rasa takut di ujung pembatas tembok. Dia menghentikan laju kudanya, "Yuuhhhh..." Jenderal Ling juga ikut berhenti.
"Bawa Putra Mahkota bersamamu," ujar Panglima perang Yu Xiao yang telah menyadari keanehan.
"Baik." Jenderal Ling segara mengambil alih penjagaan kepada Putra Mahkota.
Ciuuuu...
Dorrrrrr...
Petasan di tangan Ratu Wan Yurui di lepaskan. Ledakan di langit bahkan terdengar di seluruh Ibu Kota.
Ciuuu...
Dorrrr...
Ratusan petasan meledak dari setiap sudut Ibu Kota. Memberikan isyarat jika semua prajurit di bawah kendalinya telah mendengar perintah terakhir dari dirinya.
"Apa yang dia katakan?" Ujar Panglima perang Yu Xiao melihat kearah Ratu Wan Yurui.
Jenderal Ling menatap tenang mengikuti gerakkan bibir wanita di atas tembok tinggi itu. "Yu Xiao, jika ada kehidupan setelah kematian. Dan kita di pertemukan sebelum aku menikah. Aku pasti akan berlari kearahmu sekalipun kamu tidak mencintaiku." Ratu Wan Yurui menatap langit dengan tatapan mata berkaca-kaca. "Ming Jing, jika kematianku bisa membuatmu tenang. Tidak akan ada penyesalan yang tertinggal di hatiku." Jenderal Ling menghentikan kata-katanya.
Tangan panglima perang Yu Xiao bergetar. Saat dia ingin memacu kudanya pergi. Dia di tahan, "Tunggu." Teriak Jenderal Ling. "Aku sangat ingin beristirahat di padang sabana luas yang ada di perbatasan negara bagian. Lautan bunga terlihat sangat indah. Duduk santai menikmati harumnya udara luar bersama seseorang yang telah mengikatkan tali simpul mati di pergelangan tangan ini."
Mendengar itu nafas Panglima perang Yu Xiao semakin menekan kuat. "Ciahhhh..." Kuda di pacu sangat kuat.
Ledakan petasan terakhir terdengar.
Semua pedang yang ada di tangan pasukan Qiang di letakkan di leher mereka.
Ssreettttt...
Satu sayatan mematikan langsung di tarik penuh kekuatan. Darah menyembur kesegala arah mengalir seperti aliran sungai kecil di setiap tempat yang ada di Ibu Kota. Menandakan tugas mereka telah berakhir sebagai prajurit yang harus memberikan kedamaian negara. Kematian sebagai hukuman atas pemberontakan yang mereka lakukan.
Senyuman terakhir dari Sang Ratu terlihat sangat indah. Dia memejamkan kedua matanya lalu terjun bebas dari atas tembok tinggi Ibu Kota.
"Tidakkk..." Kaisar Ming Jing berlari sekuat tenaga berusaha meraih tubuh di hadapannya. Namun tangannya tidak pernah sampai.
Deeeemmmm...
Tubuh itu jatuh menghantam tanah yang telah terbalut salju. Darah mengalir tanpa henti di setiap bagian tubuhnya.
Panglima perang Yu Xiao melompat dari kudanya berlari mendekati wanita yang selalu ia rindukan selama sepuluh tahun terakhir. Langkahnya semakin pelan bahkan terjatuh berulang kali. Dengan semua tenaga yang tersisa dia meraih tubuh wanitanya. "A Rui," suaranya bergetar. Bahkan hampir tidak terdengar. "A Rui." Berusaha menggoyangkan tubuh tanpa nafas di dalam dekapannya. "Aaaaaaaa..." Teriakan rasa sakit menggema. "Tidak seharusnya aku membiarkanmu kembali. Aku salah, aku mohon kembalilah." Ribuan panah seperti menusuk tubuhnya tanpa henti. "Aku mohon jangan tinggalkan aku sendiri di dunia ini. Aku salah, aku mohon kembalilah."
"Lepaskan dia..." Kaisar Ming Jing berteriak kuat. "Tidak ada yang boleh menyentuhnya. Bunuh dia, bunuh dia." Kesadarannya hampir hilang karena melihat istri yang ia cintai telah pergi untuk selamanya. Dia benar-benar hampir gila.
"Yang Mulia." Pelayan wanita yang selalu setia kepada Ratu Wan Yurui berlutut dengan surat di tangannya. "Surat terakhir Yang Mulia Ratu."
Dengan tertatih Kaisar Ming Jing mengambil surat itu. Dia membaca isi di dalamnya. "Aaaaaaaa..." Teriakan dan tangisan tidak bisa di tahan. Dia terjatuh bersimpuh penuh penyesalan. "Aaaa..." Kedua tangan halus itu di pukulkan ketubuhnya tanpa henti. "Aku bodoh. Aku sangat bodoh. A Rui... Maafkan aku."
Pelayan wanita menatap kearah langit. "Yang Mulia Ratu pesan anda telah tersampaikan. Sekarang waktunya hamba ikut dalam perjalanan." Racun yang telah ia simpan di bawah lidahnya langsung di telan.
Buurr...
Darah menyembur dari mulutnya selang beberapa detik saja nafasnya terhenti.
Panglima perang Yu Xiao mengangkat tubuh di dalam dekapannya. Tubuh mungil Wan Yurui terasa seperti batu ratusan kilogram. Bahkan tubuhnya hampir tidak mampu menahannya. Setiap langkah seperti menginjak jutaan duri yang telah tertanam untuk ia lalui. Air mata mengalir tanpa henti. Hati yang telah membeku untuk satu nama. Kini harus terkubur dalam satu jiwa bersama orang yang ia cintai.
Setelah kematian Ratu Wan Yurui Kaisar Ming Jing membuat menara tertinggi untuk mengenang mendiang istrinya. Di ruangan tertinggi di dalam menara tersimpan dua papan nama. Untuk Ratu Wan Yurui dan putranya dengan sang Ratu yang telah pergi lebih dulu sebelum di lahirkan.
Sedangkan ratusan ribu kilometer jauhnya. Di salah satu gua yang ada di padang sabana penuh dengan milyaran bunga. Tersimpan dua jiwa yang telah abadi dalam kematian.
"Ayahanda." Putra Mahkota Yun duduk dengan mendekap kedua kakinya. Saat Ayahandanya datang dia menatap dengan linangan air mata.
Kaisar Yun ikut duduk di samping putranya. "Pamanmu telah memilih jalannya sendiri."
"Mereka saling mencintai. Tapi hanya bisa bersama dalam kematian," ujar Putra Mahkota menatap penuh kesedihan.
Kaisar Yun menatap kearah mulut gua yang telah di segel rapat dari luar. "Kaisar terdahulu memang sangat kejam. Beliau menculik istri Pangeran keempat Kekaisaran Jing yang saat ini telah menjadi Kaisar untuk membuat propaganda. Wanita berparas cantik itu di berikan kepada Panglima Yu Xiao sebagai hadiah kemenangannya. Mereka hidup bersama selama dua tahun tapi tidak pernah sekalipun pamanmu menyentuhnya. Dia menghormatinya, mencintainya juga berharap orang yang ia cintai bisa hidup dengan ketenangan. Mereka hidup layaknya suami istri saling menghormati. Namun mereka juga tidak pernah saling memahami. Pamanmu tidak ingin terlalu mengikatnya dalam dilema. Karena pamanmu tahu wanita yang ia cintai bukan seutuhnya miliknya. Hingga Pangeran keempat berhasil merebut tahta dan berhasil merebut kembali yang seharusnya menjadi miliknya."
Mendengar kisah cinta penuh luka membuat Putra Mahkota tidak bisa menghentikan air matanya.
"Tapi saat ini mereka telah di satukan dalam keabadian. Mungkin ini akhir terbaik untuk mereka berdua," ujar Kaisar Yun sembari mengelus lembut kepala putranya.
pergi jauh jauh.....
jangan menempel sama mereka berdua.....