Kamu anak tuhan dan aku hamba Allah. Bagaimana mungkin aku menjadi makmum dari seseorang yang tidak sujud pada tuhanku? Tetapi, jika memang kita tidak berjodoh, kenapa dengan rasa ini...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MUTMAINNAH Innah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Abi tahu Jasson ke mana?" tanyaku penasaran.
"Iya," sahut abi begitu sejuk di telinga.
"Di mana, Bi?" sorakku kegirangan.
"Nay," abi memanggilku pelan. Suasana hatiku jadi bercampur aduk. Apakah berita bahagia atau sedih lagi yang harus kudengar? "Abi bukannya tidak setuju dengannya. Abi juga sangat menghargai keinginannya untuk mualaf. Hanya saja, kedatanggannya ke sini yang saat itu belum muslim abi rasa lancang sekali. Terlebih kamu berani menemuinya tanpa sepengetahuan umi dan abi, kamu nggak pernah senakal itu sebelum mengenalnya, Nak," papar abi.
"Bi, percayalah, itu semua bukan karena pengaruh dari Jasson. Dia bahkan nggak tahu sama seklali dengan semua itu," belaku.
"Apapun alasannya, hatimu sudah dibutakan cinta, Nak. Sampai kamu tidak memikirkan oang tuamu lagi, bahkan agamamu sendiri yang melarang itu."Bi, Nay mohon, sekarang Jasson di mana? Apakah abi terlibat dalam menghilangnya dia? Bahkan media sosialnya pun sudah tidak ada, Bi," ucapku memelas.
"Setelah abi memergoki kamu di cafe itu, besoknya abi menemuinya. Untuk bicara baik-baik dengannya jika memang dia serius denganmu. Abi juga nggak mau anak gadis abi sedih, tetapi tetap kita harus takut dan taat kepada Allah. Abi lalu meminta keseriusannya, abi tidak ingin dia hanya di mulut saja berjanji untuk mualaf. Abi memberinya waktu selama enam bulan untuk mualaf dan belajar mengaji, salat dan belajar tentang islam. Nyatanya apa? Sudah lebih dari waktu yang abi tentukan dia tidak datang menemuimu. Sekarang kamu tahu 'kan seperti apa dia?"
Aku terdiam. Apa yang harus kujawab? Benarkah semua itu? Abi nggak mungkin berbohong. Jika memang abi sudah begitu berati abi sudah mengalah. Maksudku, dari awal abi yang ingin lelaki yang sangat taat untukku lalu sekarang sudah setuju dengannya yang baru saja masuk islam yang tentu ilmunya masih dasar. Harusnya Jasson memanfaatkan momen ini untuk bisa bersamaku. Apakah dia mulai jenuh menghadapi abi? Atau dia bertukar pikirran?
"Jujur, umi dan abi masih menunggunya, sekarang sudah hampir delapan bulan kepergiannya. Dia masih belum memberi kabar. Apakah kamu tetap akan menghabiskan sisa umurmu untuk menunggu?" tanya abi lagi.
Aku masih belum bisa menjawab.
"Nay, perpisahan itu pasti. Semua orang pernah merasakan kehilangan. Kita kembali lagi pada Allah, kita dekatkan lagi diri pada Allah. Barangkali Allah punya gantinya yang lebih baik." Sekarang gilian umi yang bicara.
"Apa maksud umi?" tanyaku memastikan.
"Nay, Nak Rahman itu orang yang taat.
Ilmu agamanya tidak diragukan lagi. Dulu abi dan Pak Yahya sempat ingin menjodohkan kalian. Tetapi nggak ada salahnya juga jika kamu taruf dulu dengannya. Jika tidak cocok Terjawab sudah kecurigaanku kemaren.
Ternyata benar, abi punya niat untuk mendekatkanku dengan kepala sekolah galak itu. Yang dingin dan kaku itu!
"Dia kaku sekali, Bi. Dia juga dingin seperti kulkas, abi yakin menjodohkan Nay dengannya?" tanyaku sambil membeberkan sifatnya yang barangkali abi tidak mengetahuinya.
"Mungkin itu karna dia menjaga pandangan, dan menjaga sikap di depan oarng yang bukan mahramnya." Abi malah membelanya.
"Nggak mungkin, Bi. Lagian dia kan agamanya sudah tinggi, dia juga sangat tampan, beberapa teman-teman Nay juga mengaguminya. Mungkin ada wanita lain yang lebih pantas dari Nay untuk menjadi istrinya." Aku berusaha menolak.
Bagiku tampan dan beriman saja tak cukup. Butuh kecocokan juga dalam berhubungan, apalagi menikah itu hanya sekali seumur hidup. Bukan main-main. Kalau Nayla belum siap, jangan dipaksa, Bi." Umi menengahi.
"Bukan memaksa, kita hanya menyarankan yang terbaik untuknya. Ini tidak harus sekarang, mereka kan satu lingkungan kerja. Lama lambat nanti mereka juga akan saling mengenal. Hanya saja, yang abi takutkan, jika Nayla tetap menerima tugas untuk menjadi pembina asrama itu," papar abi.
"Nay, sebaiknya kamu pikir-pikir dulu, ya. Pertimbangkan umurmu juga," pinta umi.
"Iya, Mi," sahutku.
Aku terpaksa mengiyakan walaupun sudah mantap dengan jawabannya. Nggak ada yang perlu di pikir-pikir lagi. Aku sudah mantap untuk tidak menikah. Apalagi jika Jasson benar-benar tidak kembali seperti yang dikhawatirkan oleh abi.
Tetapi, aku sendiri tidak begitu yakin dengan kekhawatiran abi itu. Jasson tahu seperti apa keseriusanku dengannya. Dia pun begitu serius padaku. Kami berdua sama-sama punya luka yang akhirnya sembuh setelah saling mengenal lebih dekat.
Mungkin saat ini dia hanya sedang memantaskan diri. Ya, kuharap begitu.
***
Atas bujukan umi dan abi, akhirnya kuturuti keinginan mereka untuk tidak menerima tawaran menjadi pembina asrama itu.
Sayang sekali, padahal gajinya lumayan, dan aku juga bisa sambil belajar dengan Aisyah di sana. Tetapi semuanya harus pupus seketika.
Hari ini, kami berlima kembali di tanya tentang kesediaan untuk bisa menjadi pembina asrama. Ternyata, tidak ada satu pun yang bersedia.
"Ya sudah, terimakasih," hanya itu respon kepala sekolah saat mendengar jawaban kami berlima. Sebelum akhirnya kami pamit dari ruangannya.
Setelah itu, kupikir semuanya sudah selesai. Tetapi tiba-tiba Aisvah meneleponku mengabarkan bahwa aku di minta abangnya ke ruangan kepala sekolah. Loh, ada apa lagi ini? Aku segera ke sana.
"Assalamualaikum," ucapku di pintu ruangannya.
"Waalaikum salam, masuk," perintahnya.
"Silahkan duduk," ucapnya sabil mengarahkan tangannya ke sofa di hadapannya.
Aku duduk dengan penuh tanda tanya.
Ada perasan nggak enak juga karena di ruangan ini aku dengannya hanya berdua saja. Tetapi pintu sengaja terbuka lebar. Gorden pun terbuka sempurna sehingga dinding dari kaca ruangan ini tembus pandang ke ruanganlainnya. Di luar sana terlihat beberapa pegawai tata usaha yang sedang sibuk dengan pekerjaan mereka.
"Ada apa, Pak?" tanyaku setelah melihat ke sekitar.
"Kenapa Ibu menolak untuk menjadi pembina asrama di sekolah ini?" tanyanya.
Aku terheran, tadi ketika kami bersama dia sama sekali tidak menayakan hal ini. kenapa sekarang dia menanyakan itu? Apakah memang didatanginya satu per satu lima orang kemaren untuk menanyakan alasan ini?
"Sebenarnya bukan kemauan saya, Pak.
Tetapi ini saran dari orang tua. Saya tidak berani membantah mereka," terangku.
"Jadi, sebenarnya Ibu berminat?" tanyanya lagi.
"Iya, sangat berminat," sahutku.
"Saran itu kan sebenarnya bisa di terima atau tidak. Tidak menerima saran bukan berarti membangkang kepada orang tua 'kan? Membina asrama ini menurut saya gajinya lumayan. Mendidik mereka di sana juga amal jariyah yang tak ternilai besarnya. Benar-benar ladang amal sebenarnya," paparnya. Aku pun membenarkannya di dalam hati. "Kalau boleh tahu, apa alasan orang tua Ibu menyarankan untuk menolak ini?" tanyanya kemudian.
"Karena mereka tidak ingin saya menikah terlalu lama, tiga tahun kontrak cukup lama bagi mereka," jelasku.
Masuk
"Memangnya Ibu ada rencana menikah dalam tiga tahun ini?" cecarnya.
"Nggak sih, Pak. Cuma kan kita nggak tahu jodoh kapan datangnya," jawabku ragu.
Sepertinya obrolan ini sudah masuk ke ranah pribadi.
"Apakah Ibu belumpunya calon?"
desakknya lagi.
"Maaf, Pak ini privasi," sahutku mulai kesal. Untuk apa dia bertanya sejauh itu.
"Atau orang tua ibu sudah pernah membahas tentang perjodohan?"
Aku tersentak dengan pertanyaanya.
Apakah Ustaz Yahya juga sudah memberitahunya juga tentang perjodohan itu?
Tidaakk!! Aku nggak mau berjodoh dengannya. Aku ketakutan tiba-tiba.