‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33 : Kau seperti bunga Daisy
'Kayak mana ini wee? Harus jujur apa bohong awak ini?’ Bondan melirik ke kanan dan kiri, berusaha mencari alasan melalui terpaan angin lumayan kencang dikarenakan saat ini sedang hujan deras.
“Tuan Amran sedang ada urusan penting, Nyonya,” jawab tegas Randu.
“Di mana?!” Masira tidak puas, sudah dua kali mendengar jawaban sama tanpa ada keterangan lebih.
“Maaf, kalau itu saya tak bisa memberitahu, dan memang kurang tahu.”
“Tak mungkin!” Masira berteriak, jari telunjuknya menuding tidak sopan wajah asisten suaminya yang berdiri kokoh di teras villa. “Kau itu Kacung kepercayaannya, mustahil kalau tidak tahu dimana dia. Cepat katakan Amran dimana? Jangan lupakan fakta kalau aku ini istri bos mu, Randu!”
Randu tetap bergeming, menatap biasa saja pada sosok wanita pemarah yang wajahnya memerah. “Memang benar kalau Anda istri Tuan saya, tapi saya bekerja dibawah titah Tuan Amran – hanya Beliau yang berhak memberikan perintah! Bila dirinya enggan memberitahu Anda, berarti diri ini pun dilarang membocorkan keberadaannya. Saya harap Anda mengerti, Nyonya Masira! Selamat malam.”
“Randu Sialan. Berhenti kau!” Teriakan Masira teredam suara halilintar. Sang asisten sama sekali tidak berbalik untuk sekedar mendengarkan apalagi menuruti keinginan istri pertama Tuan nya.
“Bah! Kau hebat kali bisa membungkam mulut bak banjir bandang Nyonya Masira.” Bondan menyamai langkah Randu, tangannya memegang payung besar agar badan mereka tidak basah kuyup.
***
Brak!
Ponsel baru berumur dua bulan, hancur setelah dihantamkan ke dinding tembok.
Tabiat buruk Masira kambuh, melempar, membanting barang. Dia meradang, murka, melampiaskan kekesalan dengan merusak benda yang sebelumnya menjadi kesayangannya.
“Brengsek kau Dayu! Murahan! Jangan harap rakyat jelata seperti mu bisa merangkak naik menjadi Cinderella!” Dia melangkah di antara benda berserak, lalu mengangkat gagang telepon rumah di samping sofa. Menghubungi seseorang yang selama ini selalu menjadi penengah kala dirinya bertengkar, dan suaranya tidak didengar oleh Amran Tabariq.
‘Sekarang bersenang-senang lah dulu, setelah ini akan ku buat keberadaanmu seperti benda mati!’ ia meyakini kalau saat ini sang suami sedang bersama wanita merangkap pelacur.
***
Pada kamar hotel mewah, seorang pria memandang lekat wajah si wanita yang tertidur dalam pelukannya.
Amran sedikit menaikan posisi berbaring nya, sepelan mungkin jemari telunjuk dan jempol tangan kirinya membelai alis, kening, dan pipi sang istri kedua. Sementara tangan kanannya dijadikan bantalan oleh Dahayu.
Mereka tidur di bantal yang sama, serta berbagi selimut menutupi tubuh polos. Kulit saling menempel tanpa penghalang dan deru napas terdengar seirama.
Setelah percintaan panas didalam kamar mandi, sepuluh menit kemudian dilanjut lagi diatas peraduan. Selepasnya Dahayu kelelahan, berakhir tertidur pulas dalam dekapan suaminya.
Dahayu yang letih hati serta fisik – tidak lagi memperdulikan dimana, siapa, dan harus bagaimana. Cuma ingin sejenak melupakan segalanya, berharap setelah bangun nanti, perasaannya jauh lebih baik dari sebelumnya.
‘Terima kasih kau telah membuatnya patah hati, sehingga dia menoleh ke arahku. Tidak seperti dulu – jangankan memandang lama, melihat ulang saja dirinya enggan. Karena di hatinya hanya ada kau seorang Wisnu Syahputra.’ Senyum culas tersungging di bibirnya. Perasaannya seperti seseorang yang baru saja memenangkan perebutan lahan sengketa.
Ingatan pria yang senantiasa menatap rumit wajah si wanita kembali ke satu tahun silam. Pada waktu itu, dia sedang menelusuri perkebunan karet miliknya, hal biasa dilakukan saat ingin memeriksa langsung keadaan dilapangan.
Sampai pada rawa-rawa terbentang luas yang permukaan airnya ditumbuhi daun apung mata Lele atau dikenal juga dengan daun Kiambang kecil – ditepi seberang duduk sosok wanita berpakaian pekerja kasar – sepatu boots, kaos longgar lengan panjang, dan celana dimasukkan ke dalam sepatu.
Penampilannya jauh dari kata feminim, apalagi dengan potongan rambut bob sangat pendek tanpa poni. Saat itu ia belum tahu siapa gerangan, tapi matanya sering mencuri pandang, menatap penasaran, terlebih kala mereka bersitatap hanya sepersekian detik, dan sang wanita langsung menunduk melihat joran pancing terbuat dari pelepah sawit berbatang kecil.
Dari sekedar rasa penasaran berkembang menjadi keingintahuan tinggi tentang sosok tenang, tidak peduli pada sekitar, seolah keberadaan pria asing sama sekali tidak membuatnya terganggu.
Beberapa hari kemudian mereka kembali dipertemukan, lebih tepatnya Amran lah yang menunggu seraya membawa joran pancing layak. Masih pada posisi sama, terbentang jarak sekitar lima meter.
Wanita pendiam dan minim ekspresi itu terlihat santai, sesekali bersiul membalas nyanyian burung liar. Dia seperti memiliki dunia sendiri, seakan sosok diseberang rawa-rawa hanyalah benda mati, bukan objek hidup.
Tiga kali pertemuan selanjutnya, Amran bersembunyi di sela tiga pohon Merbau yang diameternya dua kali lebih besar dari tubuhnya. Layaknya seorang penguntit, ia mengintip – dan untuk pertama kalinya mendengar tawa renyah saat si wanita menarik joran pancing yang mata kailnya dimakan ikan Gabus besar.
Amran terpaku, sejenak termangu dengan tatapan lurus kedepan, tepat dibelakang si wanita terdapat tumbuhan bunga Daisy – yang menurutnya menggambarkan sosok wanita itu sendiri.
Itulah terakhir kali seorang Amran Tabariq mengintip dibalik pohon besar, setelahnya dia kembali ke kota mengurus pabrik dan memenuhi rengekan sang istri yang tidak betah tinggal di perkebunan.
Setahun kemudian – tiba-tiba Masira datang dengan permintaan tidak masuk akal. Awalnya langsung dia tolak, tapi diam-diam meminta sang asisten mencari tahu siapa calon penampung benihnya.
Ternyata calonnya yakni, wanita yang dia juluki bunga Daisy liar.
‘Tahukah engkau – dirimu mirip sekali dengan bunga Daisy, bisa tumbuh dimana saja, sekalipun dicela bebatuan. Sama seperti kehidupanmu yang keras, penuh aral melintang, dikucilkan, dibuang, dan selalu tertindas. Namun, dirimu tetap berdiri kokoh, jatuh bangkit lagi, pantang menyerah meskipun kutahu itu sangat sulit dan menyakitkan. Pemikiranmu sangat sederhana, cuma ingin melihat ibumu sembuh. Sosokmu sungguh mempesona – tak peduli apa kata mereka, sekalipun dunia, asal ibumu tetap ada disampingmu.’
Sebagai penutup malam, dikecupnya dalam kening Dahayu. Jemari Amran mengelus liontin kalung bunga Daisy, mahar emas pernikahan darinya yang tersemat indah pada leher jenjang sang istri kedua.
.
.
Sosok yang semalaman tertidur pulas dalam dekapan seorang pria – terlihat mulai membuka mata, dan langsung bertemu wajah terpahat sempurna.
Dahayu menatap sejenak, lalu dirinya hendak beranjak, dan sadar kalau dibawah selimut tak ada sehelai benang menutupi tubuhnya.
Pergerakan pelan itu mengusik tidur Amran, tangannya semakin mengeratkan lingkaran diperut. "Masih terlalu pagi untuk bangun, tidurlah lagi!"
"Aku mau mandi wajib, lalu sholat subuh." Meskipun tidak melihat jam, tapi dia terbiasa bangun diwaktu sholat wajib pertama penyambut hari baru. Seakan tubuhnya sudah terprogram dan tidak membutuhkan alarm untuk membuatnya terjaga.
Amran mengendurkan pelukannya, menatap takjub sekaligus merasa kerdil, sebab sholatnya masih belum sempurna, paling jarang menunaikan kewajiban subuh umat muslim.
"Mau tidak, kau berdiri di sisi saya, bersama kita menuju hingga Jannah, Dahayu?"
.
.
Bersambung.
amran kamu harus tegas dan masira ceraikan saja dia, karena dia hendak mencelakai anakmu.
Kamu harus berjuang lebih keras lagi untuk meraih hati dahayu
perjuangan Amran akan semakin lama untuk meraih dahayu,,,
kasih pelajaran yg banyak buat si masira-masira itu Amran