Anya gadis cantik berusia 24 tahun, terpaksa harus menikahi Revan CEO muda anak dari rekan bisnis orangtuanya.
Anya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan kesepakatan kedua keluarga itu demi membayar hutang keluarganya.
Awalnya ia mengira Revan mencintai tulus tapi ternyata modus, ia hanya di jadikan sebagai Aset, untuk mencapai tujuannya.
Apakah Anya bisa membebaskan diri dari jeratan Revan yang kejam?
Jika ingin tahu kisah Anya selanjutnya? Langsung kepoin aja ya kak!
Happy Reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riniasyifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Saat Damian menghilang di balik pintu ruang kerja, Anya tak membuang waktu. Senyumnya merekah, matanya masih berbinar membayangkan kebun buah yang baru saja diceritakan Damian. Ia segera memanggil salah satu pelayan wanita yang sedari tadi setia menunggunya di dekat pintu.
"Nona butuh sesuatu?" tanya pelayan itu sopan.
"Antarkan aku ke kebun buah, ya? Aku ingin memetik beberapa buah," jawab Anya dengan semangat.
Pelayan itu tersenyum ramah.
"Tentu saja, Nona. Mari saya antar."
Anya mengikuti pelayan itu melewati lorong-lorong mewah mansion, hingga akhirnya mereka tiba di taman belakang. Benar saja, pemandangan yang lebih indah dari yang ia bayangkan terhampar di hadapannya. Sebuah kebun buah yang luas membentang, dipenuhi dengan berbagai macam pohon buah yang berbuah lebat.
Mata Anya berbinar-binar melihat buah-buahan yang sudah masak di atas pohon. Ada mangga yang menggantung ranum, jeruk yang berwarna oranye cerah, apel merah yang menggoda, dan berbagai macam buah lainnya yang bahkan tidak ia kenali.
"Wah, ini seperti surga!" seru Anya dengan nada riang.
Pelayan itu terkekeh pelan. "Tuan Damian memang sangat menyukai buah-buahan, Nona. Beliau sering menghabiskan waktu di kebun ini untuk bersantai."
Tanpa menunggu lebih lama, Anya berjalan mendekat ke salah satu pohon mangga yang buahnya terlihat paling ranum. Ia menjinjitkan kakinya, berusaha meraih salah satu buah yang menggantung tinggi.
"Biar saya bantu, Nona," tawar pelayan itu, melihat Anya kesulitan.
"Tidak perlu, aku bisa sendiri," tolak Anya halus. Ia ingin merasakan sensasi memetik buah langsung dari pohonnya.
Dengan sedikit usaha, akhirnya Anya berhasil meraih sebuah mangga yang besar dan ranum. Ia tersenyum puas, lalu memetik beberapa buah lainnya yang terlihat sama menggodanya.
"Hmm, wanginya harum sekali!" gumam Anya, mencium aroma manis mangga yang baru saja ia petik.
Lalu beralih ke pohon jeruk, memetik beberapa buah yang berwarna oranye cerah. Aroma segar jeruk langsung memenuhi indra penciumannya, membuatnya merasa semakin segar dan bersemangat.
Anya terus berkeliling kebun, memetik berbagai macam buah yang menarik perhatiannya. Ia merasa seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. Kegelisahan dan ketakutan yang sempat menghantuinya seolah menghilang, tergantikan oleh kebahagiaan sederhana yang ia rasakan saat ini.
"Nona sepertinya sangat menikmati kebun ini," kata pelayan itu, tersenyum melihat Anya yang begitu ceria.
Anya mengangguk dengan semangat.
"Aku sangat menyukainya! Aku tidak menyangka di mansion ini ada kebun buah yang indah seperti ini." jujur Anya.
Ia berhenti sejenak, menatap buah-buahan yang sudah ia kumpulkan di dalam keranjang yang dibawanya.
"Aku jadi ingin membuat jus buah yang segar," katanya dengan ide tiba-tiba.
"Tentu saja, Nona. Mari saya bantu menyiapkan bahan-bahannya," jawab pelayan itu sigap.
Anya tersenyum senang, lalu mengikuti pelayan itu kembali ke dalam mansion, menuju dapur. Ia sudah tidak sabar untuk membuat jus buah segar dari buah-buahan yang baru saja ia petik.
Saat mereka tiba di dapur, Anya terkejut melihat Damian sudah berdiri di sana, bersandar santai di island table tengah dapur dengan mengenakan kemeja yang lengannya digulung hingga siku, memperlihatkan otot lengannya yang kekar. Ia terlihat sedang menyesap kopi dari cangkir putih polos, matanya menatap ke arah jendela besar yang menghadap ke taman.
"Damian?" sapa Anya dengan nada heran.
"Kau ... sudah di sini?" tanyanya bingung. Bukankah baru saja ia melihat pria itu keluar dari ruang kerjanya untuk pergi ke kantor?
Damian menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya melihat Anya. "Aku memang belum pergi," jawabnya santai.
Anya mengerutkan keningnya. "Maksudmu?"
Damian meletakkan cangkir kopinya di atas meja, lalu berjalan mendekat ke arah Anya.
"Aku punya ruang kerja pribadi di mansion ini," jelasnya sambil menunjuk ke sebuah pintu di ujung dapur.
"Aku hanya berpura-pura pergi ke kantor tadi, tapi sebenarnya aku hanya pindah ruang kerja saja."
Anya terdiam sejenak, mencerna penjelasan Damian. Ia merasa sedikit bodoh karena tidak menyadari hal itu. Tapi di sisi lain, ia juga merasa lega karena Damian masih berada di mansion ini. Entah kenapa, ia merasa lebih aman dan nyaman saat berada di dekat pria itu.
"Oh," hanya itu yang bisa ia ucapkan. Pipinya sedikit merona karena merasa malu.
Damian terkekeh pelan melihat tingkah Anya.
"Kau baru saja memetik buah-buahan di kebun?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan. Pandangannya tertuju pada keranjang buah yang dibawa Anya.
"Sepertinya enak sekali."
Anya mengangguk dengan semangat.
"Ya, aku ingin membuat jus buah segar," jawabnya.
"Apa kau mau?"
Mata Damian berbinar mendengar tawaran Anya.
"Tentu saja. Aku akan dengan senang hati membantumu," jawabnya.
"Lagipula, aku juga sedang ingin menikmati sesuatu yang segar." lanjut Damian.
Anya tersenyum senang, lalu meletakkan keranjang buah di atas meja. Ia mulai mengeluarkan buah-buahan yang sudah ia petik, memilih buah-buahan yang paling matang dan segar. Damian memperhatikan Anya dengan seksama, mengagumi kecantikan alami gadis itu. Ia menyukai bagaimana Anya terlihat begitu ceria dan bersemangat saat berada di kebun buah.
"Kau tahu," kata Damian tiba-tiba, membuat Anya menoleh ke arahnya.
"Kau terlihat sangat bahagia saat berada di kebun buah tadi. Aku senang melihatmu tersenyum seperti itu."
Pipi Anya merona mendengar pujian Damian. Ia tidak menyangka Damian akan memperhatikan hal itu.
***
Sedangkan di sisi lain tepatnya di sebuah ruangan kecil berdinding abu-abu di kantor polisi, Revan duduk dengan angkuh di kursi besi. Tangannya terborgol di depan, tapi tatapan matanya tetap tajam dan penuh amarah.
Di hadapannya, duduk seorang pria paruh baya dengan setelan jas mahal dan koper kulit berisi dokumen. Pria itu adalah pengacara Revan, Tuan Harrison, salah satu pengacara terbaik di kota ini.
"Aku tidak peduli bagaimana caranya, Harrison," desis Revan dengan suara rendah, namun penuh tekanan.
"Aku ingin keluar dari tempat menjijikkan ini secepat mungkin. Aku tidak sudi berlama-lama di sini, bercampur dengan para sampah masyarakat." lanjutnya tegas.
Tuan Harrison menghela napas pelan. Ia sudah terbiasa dengan sikap arogan dan tuntutan Revan. Sebagai pengacara, ia tahu betul bagaimana cara menghadapi kliennya, bahkan yang paling sulit sekalipun.
"Saya mengerti, Tuan Revan," jawab Tuan Harrison dengan nada tenang.
"Saya sedang mengusahakan yang terbaik untuk membebaskan Anda. Namun, Anda harus ingat, kasus ini cukup rumit. Ada banyak bukti yang memberatkan Anda." jelasnya.
Revan mendengus sinis.
"Bukti? Omong kosong! Semua itu hanya rekayasa. Mereka menjebakku! Kau harus mencari cara untuk membuktikan bahwa aku tidak bersalah."
Tuan Harrison membuka kopernya dan mengeluarkan beberapa lembar dokumen.
"Saya sudah mempelajari berkas kasusnya dengan seksama, Tuan Revan. Saya menemukan beberapa celah yang bisa kita manfaatkan. Namun, itu semua membutuhkan waktu dan strategi yang tepat." jelasnya dengan sabar.
"Waktu? Aku tidak punya waktu untuk itu!" bentak Revan, geram.
"Aku ingin keluar sekarang juga! Kau mengerti?! Kalau kau tidak bisa membebaskanku, aku akan mencari pengacara lain yang lebih kompeten!" ancamnya dengan mata menatap tajam sang pengacara.
Tuan Harrison tidak terpengaruh dengan ancaman Revan. Ia tahu betul bahwa Revan tidak akan bisa menemukan pengacara lain yang lebih baik darinya.
"Tenang, Tuan Revan," ujarnya Tuan Harrison dengan nada menenangkan.
"Saya akan melakukan segala yang saya bisa. Tapi Anda juga harus bekerja sama dengan saya. informasi yang akurat dan jujur. Jangan menyembunyikan apa pun dari saya."
# Bersambung ....