Amor Tenebris (Cinta yang lahir dari kegelapan)
“Di balik bayangan, ada rasa yang tidak bisa ditolak.”
...
New Book, On Going!
No Plagiat❌
All Rights Reserved August 2025, Eisa Luthfi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eisa Luthfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
...◾▪️Amor Tenebris ▪️◾...
Bab 11 – Jejak yang Terkubur
Lyra Winter berdiri di tepi parit penggalian, kakinya menapak tanah yang setengah becek oleh hujan semalam. Matahari baru saja naik, memantulkan cahaya emas di permukaan dedaunan yang masih basah. Udara pagi membawa aroma tanah basah bercampur debu kuno, bau yang entah bagaimana membuat hatinya selalu berdebar setiap kali ia menjejakkan kaki di situs arkeologi.
Tangannya menggenggam buku catatan lusuh dengan sampul cokelat tua. Setiap halaman penuh coretan: sketsa temuan, angka koordinat, bahkan beberapa catatan kecil yang kadang lebih mirip puisi ketimbang laporan ilmiah. Profesor Halden, kepala tim penggalian, pernah menegurnya soal itu. Tapi Lyra tidak bisa menahan diri—bagi dirinya, benda-benda kuno itu seakan punya jiwa yang harus diabadikan, bukan hanya lewat angka dan data.
“Lyra!” Suara berat Profesor Halden memecah lamunannya.
Ia menoleh. Lelaki paruh baya itu berdiri di seberang parit, jas lapangan berwarna khaki-nya tampak sudah kotor oleh lumpur. Di sampingnya berdiri Clara, sesama junior arkeolog yang selalu terlihat rapi meski di tengah debu dan tanah.
“Kau seharusnya sudah memeriksa bagian utara situs ini sejak setengah jam lalu,” kata Halden sambil menyipitkan mata.
Lyra mengangguk cepat. “Ya, Profesor. Saya hanya sedang mencatat—”
“Catatan bisa menunggu. Batu tidak akan menunggu.” Nada bicaranya datar, tapi Lyra tahu itu bukan sekadar sindiran. Halden memang selalu bicara seperti itu: singkat, keras, dan dingin.
Dengan cepat Lyra menyeberangi papan kayu yang dipasang sebagai jembatan darurat di atas parit. Clara meliriknya sambil tersenyum tipis, seakan berkata kau dapat masalah lagi. Lyra hanya membalas dengan senyum kecil, sebelum melangkah ke sisi utara situs.
Situs penggalian itu berada di sebuah lembah yang dikelilingi bukit rendah. Menurut laporan awal, tempat ini dulunya adalah kompleks pemakaman kuno dari abad pertengahan. Penduduk desa sekitar menyebutnya Lembah Hitam, karena banyak cerita rakyat yang menakutkan beredar: suara-suara aneh di malam hari, hewan yang tiba-tiba mati, hingga orang-orang yang hilang tanpa jejak.
Sebagai arkeolog muda, Lyra terbiasa mendengar kisah semacam itu. Baginya, mitos selalu punya akar pada kenyataan, meski sering kali dibalut imajinasi. Justru di situlah daya tariknya.
Ia jongkok di dekat batu nisan yang setengah terkubur. Permukaannya dipenuhi lumut, tapi coretan simbol samar masih bisa terlihat. Dengan hati-hati, ia menyikatnya menggunakan kuas kecil. Debu beterbangan, dan lambat laun bentuk ukiran muncul.
Sebuah simbol lingkaran dengan tiga garis yang bersilang di tengahnya.
Lyra tertegun. Ia pernah melihat simbol itu. Bukan di buku, bukan di situs sejarah lain, melainkan… di mimpinya.
Mimpi itu—bayangan kastil kelam, lorong panjang, dan sepasang mata merah yang menatapnya dari kegelapan. Ia bahkan bisa mengingat rasa dingin yang menusuk kulitnya saat itu.
Tangannya bergetar sedikit. Ia buru-buru mencatat simbol itu di bukunya, menyalinnya sedetail mungkin.
“Menarik, bukan?” Clara tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Suaranya lirih, tapi mengandung nada ingin tahu yang jelas.
Lyra menoleh kaget. “Kau melihatnya juga?”
“Tentu saja. Sulit untuk tidak melihat sesuatu yang aneh seperti ini.” Clara jongkok, mengamati simbol itu. “Tapi aku rasa ini hanya tanda ritual. Banyak makam abad pertengahan menggunakan simbol seperti ini.”
“Tanda ritual, ya…” Lyra mengulang pelan, tapi hatinya tidak yakin. Simbol ini… terlalu identik dengan mimpinya.
Clara bangkit, menepuk-nepuk celananya. “Hei, kau jangan terlalu serius. Kalau tidak hati-hati, kau akan berakhir seperti arkeolog yang hilang itu.”
Lyra mendongak. “Arkeolog yang hilang?”
Clara tersenyum samar. “Kau belum dengar, ya? Ada laporan lama, seorang peneliti yang pernah bekerja di sini beberapa dekade lalu. Namanya August Veyron. Dia menghilang begitu saja, meninggalkan tenda, peralatan, bahkan catatannya. Orang-orang bilang… dia terseret oleh sesuatu dari bawah tanah.”
Lyra merasakan bulu kuduknya meremang. “Dan kau percaya itu?”
Clara mengangkat bahu. “Aku percaya satu hal: setiap situs punya rahasia. Dan terkadang, rahasia itu menelan siapa pun yang terlalu dekat.”
Hari itu berjalan lambat. Lyra menghabiskan waktu memeriksa beberapa batu nisan lain, tapi pikirannya terus kembali pada simbol itu. Malam nanti, ia tahu, ia akan sulit tidur.
Dan benar saja.
Tenda-tenda tim arkeologi berjejer di tepi lembah, lampu minyak menyala redup di tiap pintunya. Lyra berbaring di kasurnya, tapi matanya menolak terpejam. Hujan rintik turun di luar, menciptakan suara monoton yang seharusnya menenangkan, namun justru membuat pikirannya semakin gaduh.
Ia bangkit, mengambil buku catatan dari meja kecil. Di sana, simbol lingkaran bersilang menatapnya kembali.
“Mengapa kau muncul lagi?” bisiknya.
Tiba-tiba, ia merasa udara di dalam tenda menjadi dingin. Lilin di sudut meja bergetar, apinya hampir padam. Lyra menoleh cepat, jantungnya berdegup kencang.
Ada bayangan di balik kain tenda. Bayangan tinggi, berdiri diam.
“Clara?” suaranya nyaris gemetar.
Tak ada jawaban.
Bayangan itu bergerak perlahan, lalu menghilang. Lyra buru-buru keluar, menyingkap kain tenda.
Kosong. Hanya hujan, gelap, dan desiran angin yang membawa aroma tanah basah.
Namun dari kejauhan, tepat di tepi bukit, ia bisa bersumpah melihat sesuatu. Sepasang mata merah, berkilat dalam kegelapan.
Lyra kembali ke dalam tenda dengan tangan bergetar. Ia tahu ia tidak berhalusinasi. Simbol itu, mimpi itu, dan sosok yang tadi dilihatnya… semuanya saling berkaitan.
Dan tanpa ia sadari, dunia yang terkubur di bawah tanah sedang perlahan menggeliat, mencari jalan untuk bersatu dengan dunianya.
Sebuah bisikan samar terdengar di telinganya saat ia menutup tenda.
“Lyra…”