Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
Permintaan Marvin berhasil membuat Bianca membeku di tempatnya, ada debaran yang ia rasakan ketika menyadari kemana Marvin akan mengajaknya malam ini. Wanita itu terdiam tidak langsung menjawab permintaan pria diseberang telepon itu, banyak muncul pertanyaan dalam benaknya, kenapa Marvin mengajaknya bertamu kerumah orangtuanya, apakah Marvin sudah siap untuk bertemu dengan mereka, dan pertanyaan lainnya yang berhasil memenuhi kepala Bianca.
“”Ke rumah orangtua Kakak?” tanya Bianca mengulang pertanyaan Marvin, ragu dengan permintaan pria tampan yang berhasil menarik perhatiannya. Rasa heran masih menghinggapi dirinya dengan permintaan itu, apa Marvin sudah benar-benar siap untuk menemui ibunya, salah satu orang yang menurut pria itu tidak akan pernah siap untuk ia temui.
“ya.” Jawab Marvin singkat, “Oma Tuti mendesakku untuk datang dan memintaku mengajakmu.” Penjelasan Marvin membuat sudut bibir wanita cantik itu terangkat, senyum tipis merekah disana. Bianca mengenal siapa Tuti, wanita dengan ramput yang hampir putih seluruhnya adalah oma yang paling Marvin sayang dan hormati.
Bianca memang sudah mengenal Tuti, karena ia pernah menemani Marvin mengunjungi wanita tua itu ketika sedang berada di rumah orangtua Saka.
Bianca tidak langsung merespon, meski senang Tuti mengingat dirinya tapi kejadian siang tadi masih mengganggu pikiran dan hatinya, membuat Bianca harus berhati-hati dalam mengambil keputusan tapi hati kecilnya terus mendorong untuk menerima tawaran Marvin itu.
“selain karena permintaan oma, aku juga ingin kamu menemaniku, Ca.” Penuturan Marvin sekali lagi membuat Bianca senang tapi bingung di waktu bersamaan. Marvin yang tidak mendengar respon Bianca akhirnya melanjutkan ucapannya, “Jika kamu tidak bisa, tidak masalah, Ca. Aku merasa lebih bisa menguasai diriku kalau ada kamu.”
Bianca tersentak mendengar kalimat terakhir Marvin, ada nada kecewa meski samar terdengar dari suaranya. Ia tahu trauma Marvin membuat pria itu takut menerima penolakan dari orang lain dan merasa tidak enak hati jika harus mendesak orang lain untuk memenuhi keinginannya.
“jika kehadiranku dapat membantu dan tidak mengganggu, aku akan menemani Kak Marvin malam ini. Putus Bianca akhirnya meski ada keraguan dalam dirinya, ia tidak ingin kedekatannya dengan Marvin membuat profesionalitas kerjanya sebagai Psikolog dipertanyakan tapi ia juga tidak sampai hati menolak pria di seberang sana.
“Terima kasih, Ca. Aku akan menjemputmu ketika kamu selesai praktek.” Ujar Marvin hendak mengakhiri panggilan telepon, ada nada gembira dalam suara Marvin yang membuat Bianca merekahkan senyumnya.
“Kak Marvin tidak perlu menjemputku, biar aku saja yang menyusul ke kantor kakak.” Tolak Bianca pada niat Marvin yang ingin menjemputnya, ia tidak ingin ada kecurigaan dan omongan yang tidak mengenakan lagi dari para sejawatnya yang bisa saja melihat Marvin menjemputnya.
“kamu bawa mobil?” tanya Marvin memastikan ketidak inginan Bianca untuk di jemput.
“Tidak, Kak. Mobilku masih di bengkel.” Jawab Bianca apa adanya, “tapi tidak masalah, biar aku saja yang menyusul Kak Marvin ke kantor.” Lanjut Bianca cepat, Marvin tidak lagi mendesak dirinya dan kemudian mengakhiri panggilan tersebut.
setelah panggilan telepon dengan Marvin berakhir, Bianca merasa khawatir dengan keputusan yang diambilnya, ia tidak ingin keikutsertaannya dalam acara keluarga Marvin malam ini menjadi boomerang baru bagi dirinya yang membuatnya mempertaruhkan profesionalitasnya.
*
Bianca mengikuti langkah Marvin memasuki pintu utama rumah megah yang berdiri kokoh di hadapan mereka. Setelahmemantapkan hati akhirnya Marvin mengajak Bianca untuk masuk kedalam rumah yang menjadi kediaman Anton, Febi dan tuti. Kemunculan Marvin membuat suasana ruang keluarga di rumah itu yang semula ramai mendadak menjadi hening, semua mata tertuju pada pria disamping Bianca. Bianca yang berada tepat disebelah Marvinpun merasa menjadi pusat perhatian.
Langkah Marvin terhenti ketika menyadari semua orang melihat ke arahnya dan ia menjadi pusat perhatian mereka, tubuhnya juga menegang ketika seorang wanita menatapnya tajam, seolah tidak percaya bahwa ia akan hadir dan membawa seorang wanita.
“Ternyata kamu masih ingat rumah dan keluargamu.” Suara ketus dari wanita yang menatap Marvin tajam itu terdengar memecah keheningan, Saka tersadar dari keterkejutannya melihat Bianca berdiri disana dan dengan cepat menghampiri Marvin dan Bianca, menyambut keduanya.
Bersamaan dengan itu, Bianca menyadari tubuh Marvin yang menegang dan seolah terpaku di tempatnya berdiri, menyentuh lengan pria itu, menyalurkan sesuatu yang membuat pria itu merasa sedikit tenang. Marvin menoleh ke Bianca yang tersenyum tenang kepadanya.
Seolah mendapatkan energi, Marvin melanjutkan langkahnya diikuti Bianca dan Saka, menyapa wanita yang menyambut kedatangannya dengan tidak ramah tadi, menghampiri Anton dan saat itu Bianca tahu pria yang memang memiliki garis muka yang mirip dengan Marvin adalah papa dari pria itu.
“Malam, Pa. Gimana kondisi Papa?” tanya Marvin berusaha terdengar biasa saja meski ia tidak nyaman karena terus diperhatikan oleh Febi.
“Jauh lebih baik, apalagi setelah melihatmu disini.” Anton berkata dengan wajah penuh senyum melihat kemunculan Marvin malam ini, “siapa dia?” tanya Anton sambil melihat ke arah Bianca.
“Temanku.” Jawab Marvin singkat.
“Malam, Om. Saya Bianca, teman Kak Marvin dan Kak Saka.” ujar Bianca sambil mengulurkan tangannya ramah.
“Salam kenal dan selamat datang, Bianca.” Anton menyambut uluran tangan Bianca dan memberikan senyum ramah kepada wanita muda yang dibawa putranya itu.
“Terima kasih, Om.” Balas Bianca sambil memberikan senyumnya. Selesai dengan Anton Bianca kembali mengikuti Marvin yang melangkah menghampiri wanita dengan rambut yang hampir putih seluruhmya, wanita yang dikenal Bianca sebagai Oma Tuti. Ia pernah menemani Marvin menemui wanita itu di rumah Saka.
Marvin menyapa Tuti dan memberikan kecupan singkat dipipi wanita tua itu, kemudian menyerahkan bungkusan yang dibawanya sedari tadi, bungkusan berisi roti abon gulung kesukaan Tuti. Febi masih memerhatikan setiap pergerakan putranya.
“Halo, Oma.” Sapa Bianca ramah pada Tuti. Wanita itu memeluk Bianca, Marvin pernah mengenalkan wanita muda itu sebagai teman dan Psikolog yang mendampingi dirinya pada Tuti.
Tuti sangat menyukai Bianca sejak pertemuan pertama mereka, terlebih lagi perubahan cucunya yang sangat jelas terlihat di matanya.
Setelah basa basi yang dilakukan Marvin, ruangan yang tadi sempat hening karena kemunculannya kembali dipenuhi obrolan hangat, Biancapun bisa mengimbangi obrolan keluarga itu karena penerimaan mereka yang sangat terbuka kepada Bianca, hanya Marvin yang sibuk dengan perasaannya sendiri, merasa asing di tengah keluarganya.
Sesekali Bianca memerhatikan Marvin yang terlihat tidak nyaman bahkan ketika menyantap makan malamnya, Bianca menggenggam tangan Marvin dan membisikkan, “tidak apa-apa, Kak Marvin bisa pergi kapan saja kalau tidak nyaman.” Bisikan yang selalu dibalas senyum dan anggukan oleh pria itu, tanpa keduanya sadari Anton memerhatikan perhatian kecil yang diberikan Bianca kepada putranya yang membuat ia tersenyum.
perhatian kecil yang diberikan Bianca bukan hanya menarik perhatian Anton, tapi juga istrinya , Febi yang sedari tadi terus memerhatikan putranya secara diam-diam.
“gimana kamu bisa berakhir ikut kesini, Ca?” tanya Saka ketika ia, Bianca, dan Marvin berada di taman rumah megah itu.
“Kak Marvin yang ajak, minta ditemenin.” Saka hanya ber oh ria mendengar jawaban Bianca, meski hatinya cemburu melihat kedekatan keduanya.
“Ca, pulang yuk.” Ajak Marvin yang memang sedari tadi sudah tidak nyaman berada di rumah itu, Sakapun merasa salut karena kehadiran Bianca bisa membuat Marvin bertahan cukup lama di rumah orangtuanya. Bianca mengangguk dan meraih tasnya.
“Lu balik ke apartmentkan?” pertanyaan itu kali ini ditujukan kepada Saka yang langsung menatap Marvin.
“Gue ikut balik aja deh.” Sahut Saka ikut bangkit berdiri yang hanya direspon anggukkan oleh Marvin yang lebih dulu melangkah diikuti Bianca disebelahnya.
Ketika ketiganya berpamitan, anggota keluarga yang lain masih menikmati dessert yang disediakan dan masih berbincang tentang banyak hal, bukan hanya Marvin yang membawa teman wanita, beberapa sepupunya juga ada yang membawa pasangan mereka itu yang di jelaskan oleh Marvin dan Saka secara bergantian tadi.
“sering-sering kunjungin Oma disini ya, sayang.” Ujar Tuti kepada Marvin dan Bianca setelah cucu sulungnya itu pamit pulang. Marvin hanya mengangguk ragu sambil melirik tipis ke arah Anton dan Febi.
Marvin kemudian pamit pada orangtuanya dan saudaranya yang lain begitupun dengan Saka dan Bianca.
Hari ini Bianca melihat keretakan pada Marvin dan orangtuanya dan bagaimana sikap seorang ibu kepada putranya, meski Bianca yakin wanita bernama Febi yang dipanggil mama oleh Marvin dengan canggung itu sangat merindukan putranya karena Bianca menangkap kerinduan yang mendalam dibalik suara ketus dan tatapan tajam yang ditujukan kepada Marvin.
setelah selesai berpamitan, ketiganya meninggalkan ruangan yang masih penuh dengan suara canda tawa. Di tengah obrolan ringan dengan Marvin dan Saka, mendadak Bianca menghentikan langkahnya, terkejut dengan sosok wanita yang baru saja muncul dari pintu masuk yang sebentar lagi akan ia lalui, Bianca mematung sesaat namun dengan cepat menarik nafas dalam mengurangi debaran dalam dadanya dan segera menguasai dirinya.
“Mba Bianca.” Suara seorang perempuan menyebutkan nama Bianca dengan tidak kalah terkejut, seolah tidak percaya mendapati Bianca di rumah keluarga Dirgantara bersama dengan Marvin dan Saka.
“Mba Fani.” meski terdengar getaran dalam nada suara Bianca, wanita itu berhasil menguasai dirinya membalas panggilan dari wanita itu sambil menganggukkan kepalanya ramah.