Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kencan Dante & Kasus Pembunuhan Berlanjut!
Percaya atau tidak, ini malam kencan buat Dante. Aneh ya, bahwa aku bisa dapat pacar. Lengkap dengan seks segala?
Tenang dulu. Seks tidak pernah masuk hitungan. Setelah bertahun-tahun jungkir balik menahan malu mencoba tampak normal, akhirnya aku dapat kencan sempurna.
Abigail boleh di bilang sama cacatnya denganku. Setelah menikah terlalu muda, dia berjuang menafkahi dua anak berumur delapan dan lima tahun.
Pasangan hidupnya punya masalah kecil. Pertama alkohol, lalu heroin dan akhirnya kumat. Abigail di pukuli. Merusak perabotan, berteriakan, melempari barang sambil mengancam.
Lalu memerkosa Abigail. Menularkan penyakit najis pecandu narkoba. Ini terjadi setiap hari. Abigail tetap bertahan, bekerja, memperjuangkan suami masuk rehabilitasi sampai dua kali.
Entah karena bosan, sang suami kemudian beralih ke anak-anaknya suatu malam. Abigail tidak tahan lagi. Dia melawan habis-habisan.
Wajah rusak Abigail sudah sembuh sekarang. Mengobati lengan dan rusuk patah sudah biasa dijalani dengan dokter. Tapi kasus Abigail cukup menggegerkan. Hasil karya seorang monster yang notabene suami sendiri.
Tuntutan cerai yang diajukan Abigail sudah final, sang suami masuk bui, lalu? Ah... mulailah elemen misteri benak manusia hadir menengahi.
Entah bagaimana dan kenapa, Abigail tersayang memutuskan berkencan lagi. Saat itu dia cukup yakin ini adalah hal yang patut dilakukan.
Tapi akibat bertahun-tahun siksaan lahir di tangan Lelaki Terkasih, dia jadi mati rasa terhadap seks. Hanya ingin punya teman Lelaki. Itu saja.
Sungguh pencarian panjang dan lama. Yang dicarinya adalah Lelaki imajiner yang lebih peduli punya teman bicara sambil menonton film ketimbang pasangan seks, karena dia belum siap untuk itu.
Aku bilang imajiner, ya? Pasti. Soalnya Lelaki Normal sama sekali tidak seperti itu. Umumnya wanita sadar hal ini begitu mereka punya dua anak dan melangsungkan perceraian pertama.
Abigail yang malang menikah terlalu muda dan memperoleh pengalaman teramat buruk untuk sampai pada kesimpulan ini. Dan, sebagai efek samping usaha penyembuhan trauma perkawinan, alih-alih yakin bahwa semua lelaki itu binatang, dia malah mengembangkan gambaran indah dan romantis akan seorang lelaki sempurna yang bersedia menanti tanpa batas sampai dia sanggup membuka diri perlahan-lahan.
Dan kemudian, aku mampu mengimitasi semua itu dengan sempurna. Dengan tulus pula, karena aku memang tidak punya minat membangun hubungan seks. Yang aku inginkan cuma samaran. Abigail adalah sosok yang tepat untuk itu.
Bicara soal fisik, Abigail tidak jelek. Dia menarik. Tubuh mungil, bebas dan bersemangat, ramping atletis dengan rambut pendek dan mata biru. Dia juga fanatik fitness.
Sering kali menghabiskan waktu luang dengan olahraga lari, naik sepeda atau hal lain yang sejenis. Boleh dibilang, kegiatan favoritnya adalah berburu keringat.
Yang terbaik dari semua ini adalah kedua anaknya. Ava berumur delapan tahun dan Lucas berumur lima tahun saat aku temui. Mereka sangat pendiam. Wajarlah.
Anak-anak dengan orang tua yang sering berteriak seolah ingin saling bunuh sambil lempar-lemparan perabot, cenderung menarik diri. Semua anak yang lahir di zona horor macam itu pasti begitu.
Meski pada akhirnya mereka pasti bisa ditarik keluar, lihat saja aku. Aku telah melewati berbagai horor tak terperikan semasa kecil (bentuknya seperti apa pun aku tidak ingat, saking traumanya), tapi nyatanya sanggup berakhir jadi warga yang berguna, bahkan terhitung pilar masyarakat.
Aku pikir, mungkin itu separuh sebab kesukaanku pada Ava dan Lucas. Aku sungguh menyukai mereka. Entah kenapa. Aku tau persis siapa aku dan paham banyak hal soal diri sendiri. Tapi satu dari sekian karakter yang tidak aku pahami adalah sikapku terhadap anak-anak.
Aku suka anak-anak.
Mereka penting buatku. Sangat penting.
Aku sendiri tidak paham, kenapa. Aku sungguh tidak peduli jika semua manusia di jagat ini mendadak tewas, selain aku dan Nadia tentunya.
Orang lain tidak lebih penting dari perabot. Seperti kata psikiaterku dulu, aku tidak punya kesadaran realita terhadap orang lain. Tidak merasa aneh, lain sendiri atau apa. Biasa saja.
Tapi terhadap anak-anak, lain cerita.
Aku sudah mengencani Abigail selama hampir setahun setengah. Selama itu pula, perlahan tapi pasti, aku menunjukkan usaha mengambil hati Ava dan Lucas.
Aku cukup diterima. Tidak mungkin aku sakiti mereka. Terbayang pun tidak. Aku ingat ulang tahun mereka, hari mengambil rapor, juga hari libur sekolah. Aku bisa datang kapan saja dan aku bisa dipercaya.
Ironis, memang. Tapi begitulah.
Aku menjadi satu-satunya lelaki di jagat ini yang bisa mereka percayai seutuhnya. Abigail pikir ini sekedar usaha panjang pendekatan terhadapnya. Bagiku mereka bahkan lebih penting ketimbang Abigail. Aku tidak ingin melihat mereka tumbuh jadi seperti aku, meski mungkin sudah agak terlambat.
Malam jumat ini Ava yang membuka pintu. Gadis cilik itu mengenakan kaus kebesaran yang menggantung sampai ke bawah lutut. Rambutnya ditarik ke belakang membentuk dua kuncir. Wajah kaku tanpa ekspresi.
"Hai, Uncle Dante," ujarnya dengan sikap khas pendiam. Baginya, tiga kata saja sudah terlalu banyak.
"Selamat malam, Gadis Cantik. Apa boleh aku bilang kalau kamu tampak cantik sekali malam ini?" Jawabku.
"Oke." Angguk Ava menahan bukan pintu. "Uncle Dante sudah datang." Ujarnya lagi.
Aku melangkah melewatinya. Lucas, adik lelaki Ava, berdiri di belakang. Memasang sikap berjaga-jaga.
"Lucas," Aku berikan sebatang Silverqueen. Lucas menyambut tanpa melepas tatapan dariku.
"Dante?" Abigail memanggil dari ruang sebelah.
"Di sini." Kataku.
Abigail kemudian muncul, sambil mengencangkan kaitan anting. Tampil menarik dan langsing dibalut gaun biru ringan yang jatuh sampai pertengahan paha, dan tentu saja, sepatu kets terbaik. Aku belum pernah melihat atau bahkan mendengar perempuan mengenakan sepatu kets saat kencan. Sungguh elok.
"Hai tampan. Biar aku bicara dulu dengan pengasuh sebelum berangkat."
"Ayo, jangan nakal dengan Alice. Tidur jam sembilan." ujar Abigail pada anak-anaknya.
"Nanti pulang lagi kan?" Tanya Lucas.
"Ya ampun, Lucas! Tentu saja ibu akan pulang."
"Maksudku Uncle Dante." Ujar Lucas.
"Kamu pasti sudah tidur nanti. Tapi aku janji memberi salam untuk kamu nanti. Oke?" Aku menjawab.
"Aku tidak akan tidur." Si bocah bertekad.
"Kalai begitu aku mampir dan kita main sama-sama." Aku jawab lagi.
"Sungguh?"
"Sumpah. Kita main apa aja. Yang menang dapat kuda."
"Kamu tidur saja, Lucas. Kami pergi dulu. Baik-baik bersikap. Jangan nakal." Seru Abigail.
Setelah itu Abigail menggamit tanganku keluar pintu. "Kamu ini. Terlalu memanjakan mereka." Bisiknya.
* * *
Filmnya biasa saja. Selesai menonton, kami mampir minum-minum menjelang tengah malam di kedai kecil di Shadow Beach, atas gagasan Abigail. Meski tinggal di Shadowfall City hampir seluruh hidupnya, dia masih menganggap Shadow Beach sebagai tempat glamor.
Kami jalan-jalan mengobrol macam-macam. Malam sungguh indah. Lalu, kami berkendara pulang ke rumah Abigail setelah ritual kencan selesai, melewati penempatan di salah satu area remang Crystal Residence.
Sekilas kerlip cahaya merah menangkap mata, membuat aku melirik ke sisi jalan. Ada TKP! Pita kuning sudah dibentang, disusul beberapa kendaraan resmi Kepolisian.
Pasti dia lagi, batinku. Sebelum sadar maksud pikiranku sendiri, aku bawa mobil ke arah TKP.
"Mau kemana kita?" Tanya Abigail.
"Ah, aku mau memeriksa TKP sebentar. Barangkali mereka butuh bantuan." Kataku.
"Kenapa tidak telepon saja?"
"Masalahnya, mereka tidak selalu tau kapan butuh aku."
Sebenarnya ide mampir ini bagus juga, untuk memamerkan diri pada Abigail. Untuk apa punya samaran kalau tidak ditunjukkan?
Tapi kalau jujur, dentuman kecil di dasar benaklah yang memaksa berhenti. Tidak peduli alasan. Pasti dia lagi. Aku harus melihat sendiri. Aku tinggalkan Abigail di mobil, bergegas lari.
Dia pasti bikin ulah lagi. Dasar nakal. Dan benar demikian. Jejeran kantong plastik berisi potongan tubuh membentuk manusia ada disana. Alejandro berjongkok hampir di posisi yang sama dengan saat aku tinggalkan di TKP sebelumnya.
"Siapa Berengsek yang melakukan ini." Semburnya saat aku dekati.
"Yang pasti bukan aku." Elakku menjawab.
"Si Berengsek itu membuat kami tetap bekerja malam jumat begini. Kamu datang bawa pacar ya? Sayang sekali tetap tidak ada tugas buat kamu." Keluh Alejandro.
"Pelaku dan polanya sama?"
"Sama. Kering. Sama sekali tidak ada darah."
Kalimat itu selalu membuat kepalaku pening. Aku ikut mengintip. Potongan tubuh kali ini juga kering dan bersih.
"Ada sedikit perbedaan dalam pola potongan kali ini. Di empat tempat. Sangat kasar disini, nyaris berkesan emosional. Lalu di sini, tapi tidak terlalu kentara. Di sini dan di sini... di tengah-tengah yang dua tadi. Bagaimana itu?"
"Bagus sekali."
"Lalu lihat ini." Katanya. Alejandro membuka salah satu kantong dengan pensil. Nampak potongan berkilau putih. Daging dikelupas sempurna dari tulang dengan sangat hati-hati, cukup panjang, memperlihatkan tulang yang bersih.