Sekelompok siswa SMA dipaksa memainkan permainan Mafia yang mematikan di sebuah pusat retret. Siswa kelas 11 dari SMA Bunga Bangsa melakukan karyawisata. Saat malam tiba, semua siswa di gedung tersebut menerima pesan yang menunjukkan permainan mafia akan segera dimulai. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan menyingkirkan teman sekelas dan menemukan Mafia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kita Terjebak
Suara bel mulai terdengar sama persis seperti saat tengah malam mereka tertidur. Namun kali ini cahaya matahari menjadi awal mula perjalanan kesadaran mereka.
"Apa yang terjadi?"
"Astaga, kepala gue pusing..."
“Brengsek, gue mimpi nggak sih?!”
Runtukan demi runtukan terdengar dari mulut mereka. Mengintai lorong yang masih penuh dengan bercak darah Bima. Menyadari bahwa semua yang terjadi bukan sekedar mimpi.
“No, Bima?!” Lirihan Sinta memicu Khalil untuk beranjak, menuju portal untuk membawa Bima terjun bebas di jurang kematian. Tepat di lapangan, tubuh Bima terkapar tidak berdaya. Penuh cairan darah.
Pria itu berusaha mengontrol napasnya. Melihat kondisi semua temannya yang panik atas hal diluar dugaan mereka. Sebelum benar-benar sadar, sebuah notifikasi kembali muncul, menampilkan raut panik dari setiap orang tersisa.
Sebelum Pemungutan Suara Berakhir, Polisi Menggunakan Keahlian Mereka.
"Polisi?" Khalil bergumam pelan, tangan nya mengotak-atik layar ponselnya. Mencari apa yang dimaksudkan.
Rizal Dieksekusi Oleh Mafia.
Rizal adalah Mafia.
Semua Peserta, Identifikasi Mafia, Dan Mulai Memilih.
"Bedebah! Siapa yang buat game kayak ini!?"
"Apa yang mereka inginkan!?"
"Gue takut!"
"Gue pengen pergi dari sini!"
Aura ketakutan dan resah mulai terdengar di masing-masing mulut murid.
"Dimana Rizal?" Khalil mulai bersuara kembali, menatap sekeliling yang hanya diam saat pertanyaan terlontar dengan spontan. Lagian sejak kemarin, dia juga tidak melihat keberadaan Rizal. Padahal biasanya, dia berkumpul juga dengan Farhan
Semuanya terdiam. Lebih tepatnya tidak ada yang tahu Rizal dimana, secara pria itu memang sudah menghilang secara misterius.
"Siaran nya!" Fattah berseru, membuat semua pasang mata tertuju padanya, "Siapa yang bertanggung jawab sama siaran nya?!"
Fattah benar, mungkin jika mereka bisa menemukan siapa penanggung jawab siaran itu. Pasti akan ketemu siapa yang membuat permainan gila ini.
"Studionya ada di lantai dua" Sahutan Agil membuat arah pandangan semua orang terfokus, terlebih Fattah yang sudah lebih dulu geram.
Tanpa perintah sebagian murid yang ingin, bergegas menuju lantai dua. Menemukan dimana letak studio siaran untuk menemukan dalang dibalik permainan ini. Sementara yang lain, masih di tempat yang sama.
"Astaga..." Khalil memijat keningnya sambil menyandarkan tubuhnya pada dinding. Sebelum kejadian baru kembali mengalihkan fokusnya. Teriakan yang tak jauh dari lorong, tepat pada toilet utama.
Semua yang tersisa. Terlebih Dion, Arsya, Merah, dan Khalil beranjak, menuju toilet. Keempat murid itu mendapati Farhan yang tampak panik dengan wajah ketakutan.
"Farhan? Kenapa?" Khalil menepuk pundak Farhan saat ketiga yang lainnya memilih tetap ada di ambang pintu. Menyaksikan cairan merah mengalir segar di lantai
Tidak ada jawaban, sementara Khalil sudah mulai mencium bau anyir yang menusuk ke tulang hidung. Tanpa banyak kata, Khalil membuka salah satu bilik dengan bercak darah itu.
“Aish, brengsek!” Sentak Hagian yang baru saja datang. Mencium aroma tidak sedap bersama mayat Rizal yang terkapar lemas di dalam toilet.
“Astaga, Rizal?!” Kejut Arsya, tentu dengan tatapan yang serupa yang ditampilkan semua murid. Siapa yang tidak terkejut mendapati dua temannya tewas tanpa sebab yang jelas?
Khalil menelan ludahnya susah payah, memijat kembali pelipisnya untuk menetralisir rasa yang ada. Pening dan ingin pingsan, mungkin itu yang Khalil rasakan saat ini. Bahkan beberapa yang tidak tahan memilih keluar dari kamar mandi karena mual.
“Lo nggak papa, Khal?” Farhan menepuk pundak Khalil, dibalas gelengan kecil.
Arsya berjongkok saat yang lain menghindar. Gadis itu memang gila, berani sekali berurusan dengan darah! Bahkan dengan entengnya dia menyentuh cairan merah dengan telunjuknya.
"Darahnya masih basah, dia belum lama meninggal”
"Ini permainan Mafia!" Farhan tersentak, "Bagaimana jika kita semua juga mati?"
Khalil yang masih berusaha stabil, menatap ke arah Hagian yang berjalan maju. Mendekati Farhan untuk meraih kerah seragam milik Farhan, cukup kencang. Bahkan Khalil bisa lihat urat di tangan Hagian tampak jelas.
“Brengsek, bisa diem nggak? Siapa yang bilang kita bakal mati?! Lo aja!”
“Udah, lepasin!” Khalil menyingkirkan tangan kekar itu, sambil sedikit mendorong tubuh Hagian agar menjauh, “lagian dia cuman nanya, kenapa lo sewot banget?”
“Pertanyaan goblok” pekik Hagian sambil menjauhi kedua pria itu. Terlibat lebih jauh di kondisi segenting ini? Bahkan bukan Hagian banget, dia lebih memilih meninggalkan tempat tanpa peduli apakah akan ada yang jauh lebih bodoh setelahnya.
“Udah, biarin aja, Khal” Arsya beranjak, menatap Khalil sambil membersihkan telapaknya yang penuh darah. Sebelum pandangannya justru terfokus pada Agil dan beberapa orang yang sempat ke studio siaran.
"Nggak ada siapa-siapa disana, kosong, dan ruangannya dingin” ujarnya sambil terengah, namun lebih terkejutnya lagi setelah mendapati tubuh Rizal bersimbah darah. Membuat Agil mundur satu langkah.
“Hei, ketua! Lo kok diem aja sih dari tadi?!” Hagian muncul lagi, pria bodoh yang Khalil yakini akan mati setelah ini. Mulai beradu dengan ketua kelas yang banyak diamnya seperti Dion.
"Kita harus pergi dari sini, itu satu-satunya jalan terbaik" ucapnya dengan berat.
Entahlah, tapi Khalil bisa lihat bagaimana keraguan dari wajah Dion yang ketara. Dia seperti tidak yakin dengan keputusannya sendiri.
Tapi dia tetap melakukannya, “kasih tahu yang lain, kita bakal segera pergi”
“Lo kenapa suka banget sih di sebelah gue?!” Runtuk Khalil mendapati tubuh Agil yang entah sejak kapan ada di sebelahnya.
“Kebetulan kalik, Khal! Apaan sih lo” decaknya kesal.
Tanpa menjawab, Khalil mengikuti arah semua orang melangkah. Meninggalkan gedung tanpa banyak tanya ataupun teguran. Mereka hanya menganggap keputusan ketua kelas selalu benar dan memang sepantasnya dijalankan.
Tepat di halaman depan gedung. Saat semua sibuk keluar, Khalil yang sudah hadir lebih diri, berdiri paling ujung menghentikan langkahnya. Mengintai sekeliling halaman penuh dengan garis blokade berwarna putih, mengelilingi arena gedung.
“Dari awal dateng kayaknya nggak ada garis ini deh”
Tangannya bersedekap dada, membalikkan tubuhnya saat semua murid sudah berkumpul dihalaman. Terutama Hagian dan kedua temannya keluar paling akhir.
“Orang gila? Katanya nggak mau mati, malah keluar paling terakhir” sarkasnya hanya di jawab lirikan dari Agil dan Sadam yang ada di sebelahnya.
Hampir saja menginjakkan kaki keluar batas garis, suara peringatan membuat Khalil kembali memundurkan tubuhnya. Membuat semua kebingungan pada situasi yang masih belum diketahui dengan jelas.
“Fiks ini game buatan, speaker aja dari tadi nggak ada anjir. Mana bisa sampe sini tuh suara? Mana konsisten banget lagi”
Permainan Harus Berlangsung Di Dalam Batasan.
Khalil menelan ludahnya susah payah. Saat kalimat itu terus berulang sebelum tubuhnya benar-benar menjauh dari ujung garis itu.
"Apa itu batas nya?"
"Kita harus berada di dalam garis!"
"Kita terjebak?"
Khalil menunduk, menatap garis putih pekat yang terlihat baru saja dibuat. Warna jernih dengan pola yang beraturan, “gue udah yakin dari tadi”
“Maksud lo?”
Gumaman Khalil justru disahut Sadam, “kita kejebak disini?”
“Pahami aturannya, berarti kita harus ngalahin mafia supaya game ini berakhir dan kita bebas” Khalil berusaha meyakinkan Sadam.
“Oh gitu ya?”
Agil mendesis, melirik Sadam sebelum kembali mengarahkan pandang pada Khalil, “lo polisi?”
“Kenapa lo mikir gitu?”
“Terus kok bisa mikir sejauh itu?”
Khalil mengerenyit. Bukannya sejak awal sudah dijelaskan bahwa permainan akan berakhir jika mafia lebih dulu kalah? Kenapa Agil bersikap seperti orang bodoh?
“Lo tuh tipe murid yang nggak pernah dengerin guru pas di kelas, Gil” Khalil menepuk pundak Agil, lantas dibalas cengengesan.
“Padahal sayang banget kalo lo juga warga, game ini bakal nggak seru!” Decak Sadam memecahkan suasana canggung mereka.
“Biar gue periksa garisnya!” Seruan suara Dion membuat semua pasang mata mengikuti langkah kaki pria itu.
“Buat apa?!” Ranu mendesak, “orang gila mana yang percaya sama omong kosong kayak gini? Ayolah jangan bodoh!”
Dion menghentikan langkahnya tepat saat kalimat larangan berbunyi berulang kali, saat kedua kaki Ranu juga melewati batas permainan itu.
Hanya ringai lebar yang bisa Khalil lihat sebelum sepersekian detik suara itu terhenti.
“Tidak ada yang terjadi kan?” Ranu terkekeh.
“Orang gila! Apa yang lo lakuin?!”
"Ranu, cepetan masuk lagi!”
"Astaga! Jangan lewati garis itu!"
"Berhentilah!”
Khalil hanya diam. Walau tidak ada salahnya mencoba, tapi setelah ini pasti akan fatal. Karena pria itu sudah benar-benar yakin, mereka terjebak dalam game yang entah buatan siapa.
Karena Melanggar Peraturan, Ranu Akan Dieksekusi.
“Jangan keluar garis, Septian?!” Seru suara itu membuat Khalil membulatkan mata. Entah terdorong atau tanpa sengaja keluar garis. Wajah Septian tidak menandakan demikian, pria itu juga panik.
Karena Melanggar Peraturan, Septian Akan Dieksekusi.
Ditambah hal yang sama terjadi pada dua pria itu, sama persis dengan yang dilakukan Bima semalam.
Namun konotasi jauh lebih menyakitkan, saat kedua manusia itu saling membenturkan kedua kepala satu sama lain. Lantas menikam kepalanya sendiri dengan bongkahan batu dan sebuah pohon besar di dekat mereka.
Teriakan histeris dari semua murid terdengar beriringan. Terlebih Sinta yang tersungkur di tanah, karena kembali menyaksikan teman-temannya bunuh diri.
Ranu dan Septian adalah Warga.