"Janji di Atas Bara" – Sebuah kisah tentang cinta yang membakar, janji yang teringkari, dan hati yang terjebak di antara cinta dan dendam.
Ketika Irvan bertemu Raisa, dunia serasa berhenti berputar. Cinta mereka lahir dari kehangatan, tapi berakhir di tengah bara yang menghanguskan. Di balik senyum Raisa tersimpan rahasia, di balik janji manis terselip pengkhianatan yang membuat segalanya runtuh.
Di antara debu kota kecil dan ambisi keluarga yang kejam, Irvan terperangkap dalam takdir yang pahit: mempertahankan cintanya atau membiarkannya terbakar menjadi abu.
"Janji di Atas Bara" adalah perjalanan seorang pria yang kehilangan segalanya, kecuali satu hal—cintanya yang tak pernah benar-benar padam.
Kita simak kisahnya yuk, dicerita Novel => Janji Di Atas Bara
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 10
Udara malam mulai menipis, kabut tipis menari di bawah cahaya lampu jalan.
Dari kejauhan, suara jangkrik bersahut-sahutan. Cafe yang tadi penuh kenangan kini tinggal siluet di belakang mereka.
Irvan dan Raisa berjalan berdampingan tanpa banyak bicara. Hanya sesekali tangan mereka bersentuhan, saling mencari hangat di udara yang mulai dingin.
Sampai akhirnya mereka tiba di depan rumah besar keluarga Dharma. Gerbang besi hitam itu berdiri tegak, memantulkan cahaya lampu taman yang lembut.
Raisa menoleh ke arah Irvan, tersenyum kecil. "Terima kasih sudah mengantarku."
Saat Raisa hendak melangkah masuk, Irvan menahan lengannya. Tatapan matanya dalam_seolah belum rela waktu berakhir begitu cepat.
Tanpa berkata apa pun, Irvan menarik Raisa lembut dan mencium bibirnya.
Ciuman itu tak lama, tapi sarat makna_seolah keduanya takut malam akan benar-benar berakhir.
Ketika Raisa melepasnya, ia tersenyum dengan nada manja namun lembut. "Sudah, sayang-- Kita lanjutkan nanti."
Irvan menggeleng pelan, jemarinya masih menggenggam tangan Raisa. "Tapi aku masih ingin bersamamu."
Raisa terkekeh kecil, lalu membalas ciuman singkat di bibir Irvan. "Sudah, cukup, sayang. Nanti kita bisa ketahuan. Di dalam masih ada tamu menungguku."
Irvan mengernyit, tak mengerti. "Untuk apa menunggumu?"
Raisa menarik napas, menjawab santai tapi matanya sedikit redup. "Karena ada pertunangan-- juga pernikahan."
Irvan mematung. Wajahnya kehilangan warna. "Pernikahan? Lalu bagaimana dengan hubungan kita?"
Raisa memegang pipinya, menatap lembut. "Tenang saja. Aku bisa menolaknya. Apapun keputusanku, Papa pasti menyetujuinya."
Ia berbalik untuk pergi, tapi Irvan kembali menahan pergelangan tangannya.
"Sudah larut, Irvan," bisik Raisa dengan senyum yang memaksa.
Lalu ia mendekat, menengadahkan wajahnya, dan mencium Irvan lagi_ kali ini lebih lama, lebih dalam, seolah menjadi penegas janji yang tak terucap.
Dan tanpa mereka sadari_ di lantai dua rumah itu, Dharma berdiri di balik jendela, memperhatikan semuanya.
Cahaya lampu menyorot wajahnya yang tegang_antara marah, kecewa, dan tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.
Raisa akhirnya melepas ciumannya. Ia menatap Irvan dengan senyum getir. "Ingat tentang malam ini-- Jangan pernah lupakan."
"Kita akan berhenti komunikasi untuk sementara waktu, supaya Papa tidak curiga. Oke?"
Irvan menelan keras, tapi tak bisa mengangguk.
Raisa melangkah mundur perlahan, kemudian berbalik dan masuk ke halaman rumah. Gerbang besi itu menutup perlahan di antara mereka, memisahkan dua hati yang baru saja belajar saling mencintai.
Irvan masih berdiri di luar, membiarkan dingin malam menusuk kulitnya.
Tatapannya tak lepas dari punggung Raisa, hingga gadis itu benar-benar hilang di balik pintu rumah.
"Raisa-- gumamnya lirih. "Aku tak akan pernah melupakan malam ini."
***
Raisa membuka pintu utama dengan pelan. Dentingan kecil dari besi beradu membuatnya menahan napas sesaat_takut kalau suara itu terdengar ke dalam. Ia melangkah masuk hati-hati, menutup kembali pintu itu, lalu berjalan ke arah tangga.
Namun begitu ia sampai di ruang tengah, langkahnya terhenti.
Di sana_ di bawah cahaya lampu gantung yang temaram_Dharma berdiri tegak dengan tangan bersedekap, sementara Nenek Ratna duduk di sofa, menatap Raisa dengan sorot mata lembut tapi penuh arti.
Suasana ruang itu hening, namun tegang.
Jam dinding berdetak pelan, terdengar jelas di antara udara yang berat.
Raisa bisa merasakan pandangan ayahnya menembus punggungnya. Tapi tak ada suara keluar dari bibir Dharma. Ia hanya diam, memandangi putrinya menaiki anak tangga satu per satu.
Raisa berusaha tetap tenang, meski jantungnya berdentum cepat.
Begitu hampir mencapai lantai dua, langkahnya sempat terhenti_ada rasa bersalah yang tiba-tiba menekan dadanya. Ia menoleh sedikit ke bawah, tapi Dharma tetap tak berkata apa-apa. Hanya pandangan itu_ tajam, kecewa, tapi juga seolah berusaha menahan diri.
Nenek Ratna memecah keheningan dengan suara lembut, nyaris seperti bisikan yang menenangkan.
"Apa kau tidak berpikir ulang, Dharma?"
Dharma tidak menjawab. Hanya rahangnya yang menegang, matanya masih tertuju pada tangga yang kini sudah sepi setelah Raisa menghilang di balik koridor kamar.
Nenek Ratna melanjutkan pelan, penuh kebijaksanaan seorang tua. "Kau dengan Darwis bersahabat dekat. Tidak ada salahnya kalau mereka berdua--kita nikahkan."
Ucapannya meluncur lembut, tapi menggetarkan udara di antara mereka. Dharma memejamkan mata sejenak, menahan gelombang emosi yang jelas masih menguasainya. Tangannya mengepal kuat.
Dharma tak membalas, hanya menatap kosong ke arah jendela yang menembus halaman depan dan sunyi.
Di sana tadi berdiri anak gadisnya_ gadis yang baru saja ia lihat berciuman dengan putra sahabatnya.
Dan dalam diam, Dharma tahu__malam itu telah mengubah banyak hal.
_-_-_-_
Dua hari telah berlalu sejak malam di depan rumah Raisa_malam yang terus berputar di kepala Irvan tanpa henti.
Malam, telah menyelimuti kota dengan hawa lembap dan angin yang dingin menusuk. Lampu-lampu jalan berkelip temaram, dan di antara sunyinya malam, Irvan tampak mondar-mandir di halaman dengan wajah tegang dan langkah tak sabar.
Ponsel di tangannya sudah entah berapa kali ia tekan tombol panggil, namun hasilnya tetap sama_suara operator yang dingin dan tak berperasaan:
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif."
Irvan memukul pelan dahinya dengan ponsel, lalu mengacak rambutnya frustasi.
"Sial! Dua hari-- dua hari dia nggak aktif juga!"
Gilang, yang sedari tadi memperhatikan dari kursi kayu, meneguk kopinya dan mengangkat alis santai. "Mungkin ponselnya rusak, Van. Atau disita bokapnya?"
Irvan berhenti mondar-mandir, menatap Gilang dengan mata gelisah. "Tapi kenapa harus ponsel yang disita?" Ia kembali terdiam, menggigit bibir.
Gilang mencondongkan tubuh, menyandarkan siku di lututnya. "Mungkin dia memang akan menikah, dan kau ditinggalkan begitu saja."
Irvan menunduk. Ia teringat malam itu_ciuman terakhir, ucapan Raisa tentang "pernikahan", dan tatapan aneh dari jendela rumah besar itu.
Hatinya tiba-tiba mencelos. "Aku rasa-- Om Dharma tahu, dan tidak merestui kita."
Gilang langsung menegakkan duduknya. "Kalau itu benar, ya wajar dia disuruh diam di rumah. Dharma itu orangnya keras, apalagi urusan keluarga."
Irvan menatap kosong ke tanah, jari-jarinya meremas ponsel. "Tapi Raisa janji, Gilang. Dia bilang cuma sementara. Katanya 'kita akan berhenti komunikasi biar Papa nggak curiga'."
Ia menghela napas berat. "Tapi kenapa lama banget? Kenapa kayak gini jadinya--"
Gilang berdiri, menepuk bahu sahabatnya. "Sabar dulu. Bersikaplah tenang."
Irvan mendongak, matanya tajam tapi penuh kekhawatiran. "Aku nggak bisa tenang, Lang. Aku harus tahu dia baik-baik aja."
Gilang menarik napas panjang. Ia mengenal Irvan terlalu baik_kalau sudah begini, artinya dia pasti akan melakukan sesuatu, apapun risikonya. "Jadi-- kau mau apa sekarang?"
Irvan menatap ke arah jalanan di depan rumah, rahangnya mengeras. "Aku akan cari tahu sendiri."
Gilang memegang bahunya, mencoba menahan. "Van, jangan gegabah dulu__"
Tapi Irvan sudah lebih dulu melangkah cepat keluar dari halaman. Langkahnya mantap, tapi di dadanya, hatinya berkecamuk hebat.
Ia tak tahu apakah akan bertemu Raisa-- atau justru menghadapi amarah ayahnya.
Yang jelas, hari itu, Irvan tak lagi mau diam.
...----------------...
Next Episode...
oh cintaaaa
kumaha ieu teh atuh nya
lanjut
badai akan segera d mulai
hm
lanjut
haruskah