“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”
Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.
Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.
Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.
Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mencari tau?
Siang itu matahari bersinar terik, menembus genteng rumah Andi yang mulai lapuk. Suasana rumah sepi, hanya suara ayam tetangga yang sesekali terdengar. Di dalam kamar, Andi duduk di kursi kayu kecil, matanya terpaku pada layar laptop dan ponsel yang tergeletak di meja. Keringat membasahi pelipisnya, bukan karena panas, tapi karena jantungnya berdegup kencang.
“Ini… apa maksudnya?” gumam Andi pelan, matanya tak lepas dari halaman riwayat transaksi yang sedang terbuka.
Ia baru saja mengecek data dari aplikasi pinjaman online yang mencantumkan nama Bu Marni sebagai peminjam. Tapi ada satu hal yang membuatnya nyaris tak bisa bernapas — nomor rekening penerima dana pinjaman itu adalah miliknya sendiri.
“Rekening aku? Kok bisa—” Andi menegakkan badan, matanya membulat. Dengan cepat ia membuka aplikasi mobile banking di ponselnya. Jari-jarinya bergerak lincah, meski sedikit bergetar.
📅 Tanggal 12 September
💰 Jumlah: Rp80.000.000
➡️ Transfer ke: Maya A.
Andi terdiam cukup lama. Hening. Hanya suara kipas angin rusak yang berdengung pelan menemani keterkejutannya.
“Uangnya… ke rekening Maya,” gumamnya lirih. Seketika dada Andi sesak, matanya panas, campuran antara marah dan tak percaya.
Ia menelusuri transaksi satu per satu, dan semua alur dana mengarah jelas — pinjaman atas nama Bu Marni → masuk ke rekening Andi → langsung ditransfer ke rekening Maya.
“Ini nggak masuk akal…” Andi berdiri, langkahnya mondar-mandir tak karuan. “Ibu nggak pernah pinjam uang online… Ibu bahkan nggak punya HP!”
Ia kembali menatap layar. Nomor pendaftaran akun pinjaman—nomor ponsel milik Andi sendiri. Sadar atau tidak, identitasnya dipakai untuk memuluskan semua transaksi itu.
Tiba-tiba ingatannya terlempar beberapa minggu lalu.
Maya—dengan wajah manisnya—pernah meminjam ponselnya dengan alasan “cuma butuh hotspot sebentar.” Saat itu Andi tidak curiga sedikit pun.
“Jangan-jangan…” bisik Andi pelan, matanya mengecil.
Semua potongan mulai menyatu di kepalanya:
📌 Nama ibu dipakai.
📌 Nomor ponsel miliknya.
📌 Rekeningnya sebagai perantara.
📌 Uang mengalir ke Maya.
Andi mengepalkan tangan begitu kuat hingga buku jarinya memutih. “Maya… kalau ini beneran kamu—kamu udah bikin Ibu dalam masalah besar.”
Ia menatap keluar jendela. Siang itu terasa panas menusuk, tapi jauh lebih panas amarah di dadanya. Nafasnya naik turun cepat.
“Cukup. Aku nggak bisa diam.”
“Andi… kok mukamu kayak orang habis ketemu hantu?” Maya menyipitkan mata, masih santai.
Andi berdiri di depannya, napasnya memburu, tangannya mengepal kuat. “Maya, aku cuma mau nanya satu hal… jawab jujur!” suaranya berat, menahan emosi.
Maya meletakkan ponsel di pangkuannya, menaikkan satu alis. “Apaan sih? Kok serius amat?”
Andi maju selangkah. “Kamu… pakai KTP Ibu buat ngambil pinjaman online?”
Pertanyaan itu membuat Maya langsung membeku sejenak—tapi kemudian tertawa sinis. “Hah? Apa-apaan sih kamu! Aku baru pertama kali ketemu ibu kamu tiga hari yang lalu, waktu aku mulai tinggal di sini. Gimana ceritanya aku bisa pakai KTP-nya?!”
Andi menatap tajam, tidak puas dengan jawaban itu. “Lalu kenapa uang pinjaman itu masuk ke rekening aku, dan beberapa jam kemudian kamu pakai rekening aku buat transfer ke rekening kamu?! Maya… jawab aku!”
Maya langsung berdiri, nadanya meninggi. “Lah! Aku mana tahu, Andi! Aku pikir itu uang kamu yang sengaja kamu kasih ke aku! Aku kira… kamu mau kasih aku uang buat belanja dan beli barang-barang aku!”
Andi melotot. “APA?!!”
Dari kamar, Bu Marni yang baru saja bangun mendengar keributan langsung keluar dengan langkah terburu-buru. “Ada apa ini ribut-ribut siang bolong?” tanyanya.
Andi menghadap ke ibunya dengan suara bergetar. “Bu… utang seratus lima puluh juta itu… pinjamannya atas nama Ibu. Tapi uangnya malah masuk ke rekening Andi, terus ditransfer ke Maya!”
Mendengar nama Maya, wajah Bu Marni langsung berubah drastis. Merah padam dan matanya membelalak. “APA?!! Jadi semua utang itu gara-gara perempuan ini?!” bentaknya sambil menunjuk Maya dengan telunjuk bergetar.
“Eh, jangan nuduh sembarangan ya, Bu!” Maya membalas dengan nada tinggi, tak mau kalah. “Saya nggak tahu apa-apa soal utang itu! Yang transfer uangnya ke saya itu Andi! Kalau bukan buat saya, ngapain dikirim ke rekening saya?!”
“ITU UANG HARAM!!” teriak Bu Marni histeris. “Karena kamu, aku bisa ditagih debt collector! Kamu perempuan pembawa sial!!”
Maya menepuk dadanya, marah. “Hei! Jangan seenaknya hina saya ya! Kalau Andi nggak mau ngasih uang itu, ngapain dikirim ke saya?!!”
Andi membanting telapak tangannya ke meja kayu hingga terdengar suara “DUAAARR!” yang membuat Maya dan Bu Marni sama-sama terkejut. “Cukup!! Kalian berdua jangan saling lempar kesalahan!”
Warga yang mendengar keributan mulai berdatangan ke depan rumah. Bisik-bisik mulai terdengar.
🗣️ “Itu si Maya ya? Perempuan yang ngaku hamil?”
🗣️ “Ih, ribut mulu rumah itu.”
🗣️ “Kasian Bu Marni… utang segitu banyak.”
Bu Marni mendekati Maya dengan mata melotot tajam. “Dengar ya, kalau aku sampai ditagih lagi sama rentenir itu… kamu yang harus tanggung jawab!”
Maya melangkah mundur, tidak mau kalah. “Jangan bawa-bawa saya! Salah sendiri anak Ibu ngirim uangnya ke saya! Jangan salahin saya!”
Andi menatap Maya tajam, rahangnya mengeras. “Maya… kamu jangan main bersih. Kalau kamu yang pakai ponsel aku waktu itu, berarti kamu bisa aja daftar pakai data ibu.”
Maya menatap balik, suaranya meninggi. “AKU NGGAK TAU APA-APA, ANDI!”
Ketegangan makin meningkat. Bu Marni menjerit histeris, Maya membalas dengan suara tajam, dan Andi berada di tengah seperti bara api yang siap meledak. Suara warga di luar semakin ramai, beberapa bahkan merekam dari pagar.
“INI RUMAH ATAU PENTAS OPERA SIH!” teriak Bu Lastri dari luar pagar, setengah bergosip setengah bersorak.
Andi menggenggam rambutnya frustasi. “Astaga… semuanya kacau!”
bukan ada apanya🤲🤲🤲