Naomi harus menjalani hari-harinya sebagai sekretaris di perusahaan ternama. Tugasnya tak hanya mengurus jadwal dan keperluan sang CEO yang terkenal dingin dan arogan yang disegani sekaligus ditakuti seantero kantor.
Xander Federick. Nama itu bagai mantra yang menggetarkan Naomi. Ketampanan, tatapan matanya yang tajam, dan aura kekuasaan yang menguar darinya mampu membuat Naomi gugup sekaligus penasaran.
Naomi berusaha keras untuk bersikap profesional, menepis debaran aneh yang selalu muncul setiap kali berinteraksi dengan bosnya itu.
Sementara bagi Xander sendiri, kehadiran Naomi di setiap harinya perlahan menjadi candu yang sulit dihindari.
Akan seperti apa kisah mereka selanjutnya? Mari langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 22 Lama-lama Ngelunjak!
Naomi berdiri terpaku, hanya berbalut tank top dan celana pendek ketat setelah membersihkan diri. Keringat dingin membanjiri pelipisnya saat menyadari keteledorannya.
Pakaian ganti! Kenapa tidak dia bawa masuk tadi?
“Bagaimana ini?” gumamnya, panik. Mengutuk kebodohannya sendiri, ia teringat kesempatan untuk kabur yang ia sia-siakan.
“Kamu bodoh, Naomi! Kenapa tadi tidak kabur aja sih dan malah mengiyakan permintaannya untuk menginap? Habislah aku,” jerit batinnya, memaki diri sendiri.
Pandangan Naomi menyapu sekeliling kamar Xander yang luar biasa luas. Mungkin tiga kali ukuran kamarnya.
Sebuah ruangan khusus pakaian ganti yang lebih mirip butik mewah, lengkap dengan maneken, dan di sisi lain, sebuah gym pribadi dengan deretan alat fitnes modern.
“Pak Xander benar-benar memiliki segalanya,” gumamnya dengan nada tak percaya.
Matanya tertuju pada lemari pakaian Xander yang menjulang tinggi. Tanpa pikir panjang, ia meraih salah satu kemeja pria itu yang terlihat kebesaran dan buru-buru memakainya, berharap bisa sedikit menutupi kegugupannya.
Ketika Naomi keluar dari ruang ganti, matanya membelalak kaget. Xander duduk santai di tepi ranjang, menopang kepala dengan satu tangan sementara jari-jarinya bergerak lincah di atas layar ponsel.
Pria itu hanya mengenakan celana boxer pendek, memperlihatkan dada bidang berototnya yang terbentuk sempurna, berkilau di bawah cahaya lampu.
Otot bisep dan trisepnya tampak jelas, menonjol kan kekuatannya. Sebuah tato naga kecil melingkar di bahu kirinya, menambah kesan misterius pada penampilannya.
“Astaga! Cobaan macam apalagi ini,” gumam Naomi, suaranya nyaris tak terdengar. Jantungnya berdetak tak karuan, iramanya lebih cepat dari deru mesin balap.
Gadis itu berusaha menenangkan diri, tetapi pemandangan di depannya benar-benar menguji batas kesabarannya. Mendengar suara langkah kaki Naomi, Xander menoleh. Tatapan matanya yang tajam dan dingin bertemu dengan mata Naomi yang masih membelalak.
“Sudah selesai mandinya?” tanyanya datar, tanpa senyuman.
Naomi hanya mengangguk, bibirnya masih menganga, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Ia merasa seperti boneka yang digerakkan oleh tali, kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Sebuah kedipan mata dari Xander, diikuti senyum tipis yang jarang terlihat, membuat wajah Naomi memerah bak tomat matang.
“Kenapa melihatku sampai begitu?” Xander bertanya.
“Tidak ada. Jangan besar kepala!” Jawab Naomi masih menatap dada polos Xander.
“Tadi rasanya gerah, jadi aku lepas baju.” ucap Xander santai, seakan tahu apa yang Naomi pikirkan.
Naomi buru-buru duduk di samping Xander, menjaga jarak aman sejauh mungkin. Ia melirik pria itu. Xander tidak terlihat seperti orang sakit.
Bahkan, dia sedang menyeruput kopi hitam dengan santai, uapnya mengepul lembut di udara.
“Anda sedang menggoda saya?" Naomi memberanikan diri bertanya, suaranya sedikit bergetar.
Xander mengangkat satu alisnya, ekspresinya kembali datar. “Menggoda mu? Untuk apa?” Dia balik bertanya, membuat Naomi kesal setengah mati.
Pria ini benar-benar pandai membalikkan keadaan.
“Bisakah anda memakai baju?” Naomi mengomel, nada suaranya berubah menjadi lebih kesal. “Bagaimana kalau anda masuk angin? Saya yang repot nanti!” Ia tidak peduli jika terdengar lancang, ia hanya ingin pria itu menutupi tubuhnya.
Xander meletakkan cangkir kopinya, senyum tipis kembali tersungging di bibirnya.
“Aku nyaman berpakaian seperti ini. Biasanya aku malah tidak pernah mengenakan apapun saat tidur.” Suaranya rendah dan serak, membuat bulu kuduk Naomi merinding.
Tadi katanya sakit? Lalu ini apa?
“Pria ini benar-benar sinting!” umpat Naomi dalam hati. Ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan betapa terkejut dan terganggunya ia dengan pernyataan Xander.
“Dan satu lagi.” Xander menyela keheningan, “jangan panggil aku Tuan saat kita di luar kantor. Panggil saja Xander.” Ada nada perintah dalam suaranya, tidak ada ruang untuk penolakan.
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Atmosfer menjadi tegang, setiap detik terasa seperti jarum jam yang berdetak lambat. Naomi mencoba menenangkan nafasnya yang memburu. Xander, dengan segala ketenangannya, akhirnya membuka pembicaraan lagi.
“Apa kamu tidak mengantuk?” tanyanya.
Jelas saja Naomi mengantuk, matanya sudah terasa berat dan tubuhnya lelah. Namun, rasa kantuknya kalah dengan rasa waspada yang tak pernah pudar.
Naomi berada dalam satu kamar dengan Xander, seorang pria yang tingkah lakunya sulit ditebak dan auranya begitu dominan.
“Saya keluar sebentar,” ucap Naomi.
“Mau kemana? Di sini saja.”
Awalnya Naomi berniat untuk keluar dari kamar, mencari tempat lain untuk beristirahat. Tetapi, niat itu sirna begitu saja saat Xander malah menahan lengannya.
Tanpa peringatan, Xander merebahkan tubuh mereka ke ranjang, membuat Naomi terkesiap.
Dengan posisi membelakangi Xander, Naomi merasakan lengan pria itu melingkari pinggangnya, memeluknya erat dari belakang.
Hangat tubuh Xander merambat ke punggungnya, menciptakan sensasi yang aneh sekaligus mendebarkan.
Naomi sempat meronta dan protes, takut Xander akan melakukan sesuatu yang tidak diinginkan. Ia mencoba melepaskan diri dari dekapan kuat itu, tetapi Xander terlalu kuat.
“Anda lama-lama ngelunjak ya!” seru Naomi.
“Aku hanya ingin ditemani tidur, apa salahnya?” ucap Xander dengan santai.
“Ditemani sih, ditemani! Tapi bukan–”
“Kalau tidak mau menurut dan tidur, aku akan membuatmu hamil anakku malam ini, bagaimana?” bisik Xander tepat di telinga Naomi.