Dua minggu yang lalu, Rumi Nayara baru saja kehilangan bayi laki-lakinya setelah melahirkan. Lalu, seminggu kemudian suaminya meninggal karena kecelakaan. Musibah itu menjadi pukulan berat bagi Rumi. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan bayi laki-laki yang alergi susu botol di rumah sakit, dan butuh ASI. Rumi pun menawarkan diri, dan entah mengapa ia langsung jatuh cinta dengan bayi itu, begitu juga dengan bayi yang bernama Kenzo itu, terlihat nyaman dengan ibu susunya.
Tapi, sayangnya, Rumi harus menghadapi Julian Aryasatya, Papa-nya baby Kenzo, yang begitu banyak aturan padanya dalam mengurus baby Kenzo. Apalagi rupanya Julian adalah CEO tempat almarhum suaminya bekerja. Dan ternyata selama ini almarhum suaminya telah korupsi, akhirnya Rumi kena dampaknya. Belum lagi, ketika Tisya— istri Julian siuman dari koma. Hari-hari Rumi semakin penuh masalah.
“Berani kamu keluar dari mansion, jangan salahkan aku mengurungmu! Ingat! Kenzo itu adalah anak—?”
Siapakah baby Kenzo?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Kenzo Membutuhkanmu, Rumi
“Jangan bilang begitu.” Mama Liora mengusap rambut hitam Rumi yang masih kusut. “Kamu punya Ibu. Kamu punya Kenzo. Kamu masih punya orang tua, dan kamu punya keluarga di sini, Sayang.”
“Tapi … saya lelah, Bu. Semua orang ternyata bermuka dua sama saya. Andaikan sejak awal tahu kalau … saya cuma dianggap boneka mainan dan dikhianati.” Rumi menggigit bibirnya, isakannya semakin kuat. “Saya sakit … bukan cuma di tubuh saya … tapi di hati saya. Rasanya … nggak sanggup lagi.”
Mama Liora menahan napas, air matanya ikut jatuh. Ia memeluk Rumi lebih erat, seolah ingin memindahkan semua luka yang ditanggung wanita yang terasa seperti menantu. “Ssst … jangan bilang begitu. Kamu kuat, Rumi. Kamu sudah berjuang melahirkan, walau anakmu telah tiada. Kamu sudah bertahan sejauh ini. Kamu tidak boleh menyerah. Ingat ... hidupmu sekarang ada Kenzo. Kenzo sangat membutuhkanmu.”
Rumi menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar hebat. “Saya bahkan nggak bisa jadi ibu yang baik ... anak saya telah meninggalkan saya ....”
“Jangan bilang seperti itu. Kenzo butuh kamu, Rumi. Dia rewel karena mencari ibu susunya. Dia menolak susu formula, karena yang dia mau cuma kamu.” Mama Liora mengusap pipi Rumi yang basah. “Jangan salahkan dirimu. Kamu sakit, wajar kalau tubuhmu butuh istirahat. Yang penting sekarang … sembuh dulu, ya.”
Untuk pertama kalinya, tatapan kosong Rumi sedikit berubah. Matanya menoleh perlahan, ada sinar kecil yang muncul saat nama Kenzo disebut. “Kenzo … dia … baik-baik aja, Bu?”
"Suhu badannya sedikit panas. Tapi tenang, kita sudah bawa dia ke sini. Sebentar lagi diperiksa dokter.”
Rumi menggigit bibirnya, air matanya kembali jatuh. “Bu … kalau sampai ada apa-apa sama Kenzo … saya nggak akan pernah maafin diri saya sendiri.”
Mama Liora meraih kedua tangan Rumi, menggenggamnya erat. “Tidak akan ada apa-apa. Anakmu akan sehat. Kamu juga akan sehat. Percaya sama Ibu. Dan ... semua masalah pasti ada solusinya.”
Rumi hanya bisa menangis lagi, kali ini di dalam pelukan hangat seorang Ibu yang belum lama ia kenal. Tangis yang lama ia tahan akhirnya pecah, memenuhi ruang IGD dengan suara lirih penuh luka.
Sementara itu, di ruang tunggu
Julian berdiri tegak, menatap pintu IGD yang masih tertutup. Wajahnya tetap dingin, tapi jemari tangannya mengepal. Ferdy dan Derry duduk tak jauh darinya, sementara Aulia terlihat merengut di sudut kursi, merasa diabaikan.
Baby Kenzo yang tadi digendong Nia mulai tenang setelah dicoba diberikan empeng. Suara tangisnya sudah mereda, tapi suhu tubuhnya tetap hangat.
Suara langkah perawat terdengar tergesa-gesa dari balik tirai, lalu tubuhnya muncul ke ruang tunggu dengan wajah serius. “Keluarga pasien bayi Kenzo … silakan dibawa ke dalam untuk pemeriksaan,” ucapnya sambil melihat ke arah rombongan.
Nia sontak bangkit dari kursi, menoleh pada Julian yang berdiri tak jauh dari pintu. “Saya saja yang bawa, Tuan,” katanya lirih.
Namun Aulia buru-buru ikut berdiri. “Aku juga ikut masuk, Kak,” ujarnya cepat, melangkah setengah berlari mendekat.
Julian langsung menoleh tajam. “Tidak, Aulia. Kamu tunggu di sini.” Suaranya datar, tapi tegas.
“Aku kan tante Kenzo, Kak! Kenapa nggak boleh?!” protes Aulia, nada suaranya meninggi, jelas kesal.
Julian menarik napas panjang, menahan diri. “Karena bukan waktunya kamu ikut-ikutan. Biarkan dokter fokus. Kamu tunggu di sini.”
Wajah Aulia memerah, bibirnya manyun kesal. “Selalu saja aku diabaikan,” gumamnya pelan, tapi cukup terdengar oleh Derry yang duduk di kursi samping.
“Sudahlah, Nona,” bisik Derry pelan, mencoba menenangkan. Tapi Aulia hanya mendengus kesal dan kembali menjatuhkan diri ke kursi dengan kasar.
Sementara itu, Nia sudah masuk bersama perawat, menggendong baby Kenzo yang rewel. Tangis bayi itu kembali pecah, suaranya melengking memenuhi ruang IGD. Lampu neon putih yang terlalu terang seakan menyoroti setiap raut wajah yang tegang di ruangan itu.
Di dalam, dokter spesialis anak sudah menunggu. Pria paruh baya dengan kacamata bulat itu mendekat sambil mengenakan stetoskop. “Silakan tidurkan bayinya di atas ranjang periksa.”
Julian menurut, dengan hati-hati membaringkan Kenzo yang masih menangis. Bayi mungil itu menggeliat, wajahnya memerah, keringat membasahi pelipisnya.
“Panas tubuhnya sudah sempat diukur?” tanya dokter pada perawat.
“Sudah, Dok. Tiga puluh delapan koma dua,” jawab perawat yang berdiri di samping.
Dokter mengangguk, lalu menempelkan stetoskop ke dada kecil baby Kenzo, mendengarkan napasnya dengan seksama. Tangis baby Kenzo sedikit mereda, berganti dengan cegukan kecil.
“Pernafasannya cukup baik. Tidak ada tanda sesak. Untuk sementara, kita fokus menurunkan demamnya,” jelas dokter dengan suara tenang.
Julian yang sejak tadi memperhatikan dari dekat, akhirnya bersuara. “Apa harus diberi obat penurun panas, Dok?”
“Belum. Untuk bayi seusia Kenzo, kita utamakan dulu pemberian ASI. Jangan sampai dehidrasi. Biarkan cairan alami dari ibunya membantu. Kalau demamnya masih bertahan setelah beberapa jam, baru kita pertimbangkan pemberian obat,” jawab dokter sabar.
Julian mengangguk pelan, menyimpan setiap kata. “Berarti … dia harus bersama ibunya,” gumamnya, tatapannya berubah tajam, tapi bukan pada siapa-siapa, melainkan pada dirinya sendiri.
Dokter menoleh, memahami maksud Julian. “Kalau memang ada ibunya di sini, sebaiknya segera dipertemukan. Bayi akan lebih tenang.”
Sejenak ruangan hening. Julian menoleh ke arah tirai lain yang memisahkan ruang IGD itu—tempat Rumi dirawat. Ia menarik napas panjang, lalu berkata mantap, “Saya ingin menemui Rumi. Dia ibu susunya Kenzo.”
Dokter mengangguk, lalu menoleh pada salah satu perawat. “Tolong tunjukkan tirainya.”
Perawat berjalan pelan, membuka sedikit jalur di antara tirai putih yang menjuntai. Suasana IGD seketika berubah: tegang sekaligus penuh harap.
Julian menghampiri, lalu dengan hati-hati menggendong Kenzo dari ranjang periksa. Tangis kecil bayi itu kembali pecah seakan tahu bahwa ia akan dibawa ke tempat yang ia butuhkan.
“Nia, kamu tunggu di luar,” kata Julian pelan.
Nia sempat ragu, tapi akhirnya menurut, melangkah mundur. “Baik, Tuan.” Ia keluar perlahan, menutup tirai kembali.
Kini hanya ada Julian, perawat, dan suara tangis bayi mungil yang makin memecah keheningan.
Di balik tirai yang lain, Rumi masih terbaring pucat di ranjang, tubuhnya dibungkus selimut tipis. Mama Liora duduk di sisinya, masih memeluk erat bahu wanita muda yang lemah. Tangisan Rumi tadi belum sepenuhnya reda; mata sembabnya menatap kosong, hanya sesekali berkedip.
“Rumi … jangan lama-lama bersedihnya, nanti Ibu akan hubungi orang tuamu. Sekarang, kamu tidak boleh banyak pikiran, ya,” bisik Mama Liora, sambil mengusap rambut Rumi.
Tiba-tiba suara tangis bayi terdengar semakin dekat. Mama Liora menoleh, dan pelukannya sedikit mengendur ketika melihat Julian masuk dengan Kenzo di gendongannya.
Rumi sontak mengangkat kepala pelan. Begitu matanya jatuh pada sosok bayi itu, seakan ada cahaya kecil yang menyala di pupilnya yang redup.
“Kenzo ….” Suaranya lirih, hampir tercekat.
Bersambung ... 💔
tapi Kenzo juga bayi kandungnya Julian...? gimana ceritanta masi misteri...
Bagaimana Rumi terpaksa harus menikah disaat kuliah yg sudah sedikit lagi skripsi.. karena hamil...dan siapa sebenarnya yang menghamili...
Lalu Tisya.. apakah benar wanita yang sangat disayangi dan dicintai Julian?? knp dengan ipar dan mertuanya?
Jadi ibu susunya Kenzo aja dah luar biasa mana nyusu langsung lg... walaupun sebenarnya itu anak kandungnya Rumi sih...tp kan kondisinya skrg tidak asa yg tau
ataw tau ttg baby Kenzo?? 🤔🤔