⚠️ *Peringatan Konten:* Cerita ini mengandung tema kekerasan, trauma psikologis, dan pelecehan.
Keadilan atau kegilaan? Lion menghukum para pendosa dengan caranya sendiri. Tapi siapa yang berhak menentukan siapa yang bersalah dan pantas dihukum?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.H., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Keinginan Rafael
"Paman... Paman..." seru Rafael sambil terengah-engah, mencoba mengatur napasnya.
Aku membuka mata dan menoleh ke arahnya. "Kamu sudah temukan Adam?" tanyaku dengan nada serius.
"Sudah, Paman. Tapi..." Rafael terhenti sejenak. "Bentar, aku atur napas dulu," lanjutnya sambil berusaha tenang.
Beberapa detik kemudian, Rafael mulai menjelaskan. "Jadi gini, Paman. Adam sudah ditemukan oleh bodyguard ayahnya dan sekarang sudah dibawa pulang." Ia pun menceritakan semua yang dilihatnya. "Begitu ceritanya, Paman."
Aku melipat tangan sambil berpikir. "Oh, jadi begitu... Sepertinya aku berhasil membuat mentalnya down" batinku sambil tersenyum tipis.
"Paman... Kenapa senyum begitu?" tanya Rafael sambil melambaikan tangan, mencoba menyadarkanku dari sikap yang tiba-tiba berubah.
"Sudahlah, kamu pergi saja. Tak usah pikirkan Adam lagi," ucapku dingin, lalu kembali menenangkan pikiran.
Rafael pun pergi dengan heran, menggelengkan kepala.
Setelah merebahkan tubuh di kursi kayu, aku mengambil ponsel dari saku celana dan menelepon Antoni.
"Antoni, tak usah cari Adam lagi," kataku dingin. "Biarkan dia bebas."
"Hei, aku nggak salah dengar kan?" seru Antoni yang sedang menyetir, ekspresinya bimbang dengan keputusan ku. "Lion! Kamu nggak takut kalau Adam balas dendam? Dia licik dan bermuka dua. Tolong pikirkan baik-baik sebelum terlambat."
"Dari senyumnya saja aku yakin dia berbahaya. Tampangnya memang baik, tapi hatinya penuh kesesatan."
"Aku juga sudah lihat rekaman CCTV. Lion, pikirkan baik-baik. Aku tahu kamu baru kehilangan Pak Bruto, tapi kamu harus tetap jernih."
"Dia seolah punya kepribadian ganda. Dan sekarang dia tahu keberadaanmu. Kamu nggak takut, Lion? Aku harap kamu nggak gegabah."
Aku hanya diam, tersenyum smirk seolah punya rencana lain. "Antoni, aku tahu kamu khawatir. Tapi tenang saja, aku akan baik-baik saja di sini."
"Baiklah, kalau itu keputusanmu. Yang penting aku sudah memperingatkan," balas Antoni lalu memutuskan telepon.
***
Sudah seminggu aku sibuk menata kembali warung mie ayam peninggalan Pak Bruto.
Rasa mie ayam yang dulu sama yang sekarang rasanya tentu berbeda, karena kini aku yang mengurus semuanya.
Tiba-tiba arhan muncul, lelaki yang waktu itu ingin bernostalgia memakan mie ayam pak bruto namun tidak jadi karna pak bruto sudah meninggal.
Arhan masuk dan duduk di bagian ujung pojok seraya menatap sekeliling yang tampak tak berubah dari dulu.
Aku menyambutnya dengan senyum, dan ia membalas dengan senyum hangat.
"Katanya sekarang kamu yang urus warung ini, ya Lion?" tanya Arhan.
"Iya, ini hasil kesepakatan anak-anak Pak Bruto," jawabku ramah.
"Mungkin rasanya beda, nggak seperti dulu. Tapi kenangannya tetap ada. Aku masih ingat waktu SMA, sering kumpul di sini sama teman-teman. Sekarang tempatnya masih sama," ucapnya sambil tersenyum mengenang masa lalu.
"Lion, satu mangkuk mie ayam, ya." Lanjutnya.
Aku mengangguk sambil tersenyum lagi agar terlihat ramah. Suasana pak arhan kinj seperti kembali ke masa lalunya saat bersama teman-temannya saat pulang sekolah. Dan sekarang mereka tak bisa lagi bisa berkumpul karena sibuk dengan kehidupannya masing-masing.
Aku segera membuatkan mie ayam spesial. Aku berharap walaupun bukan pak bruto yang membuatnya, tapi aku akan tetap berusaha menjaga cita rasa yang sama. Meski bukan Pak Bruto yang meracik,
Beberapa menit kemudian, aku menyajikan mie ayam itu ke Arhan. Lalu aku duduk tak jauh darinya, menatap langit yang mulai gelap.
Aku menghela napas panjang. Rasanya bosan saat tak ada mangsa yang bisa kuincar.
Apalagi, aku melihat kejanggalan yang di alami oleh Rafael sendiri. Biasanya anak itu begitu cerewet atau kadang iseng kepadaku. Tapi entah kenapa setiap pulang sekolah wajahnya muram dan seperti tak ada semangat hidup.
Aku ingin bertanya tentang keadaannya tapi aku terlalu gengsi untuk sekedar menanyakan kondisinya yang begitu tak baik-baik saja.
Disisi lain. Di belakang sekolah, Rafael kini berhadapan dengan empat pemuda yaitu Erlan dan tiga temannya.
Rio Febrian Feat, lelaki tampan memiliki wajah yang nyaris sempurna, mempunyai pipi congkak dan dua adalah anak polisi.
Arnaldo Christina Perri, lelaki berambut cokelat yang dikenal sebagai playboy. Anak juragan sapi.
Sandi Ossetti Aguilera Putra, teman dekat Erlan. Anak dari keluarga terpandang.
Erlan berdiri di depan, ketiganya di belakang dengan senyum meremehkan. Mereka berlagak seperti penguasa sekolah, menindas Rafael yang kini yatim piatu. Dan sekarang Rafael hidup bersama orang yang pernah menolongnya.
"CK, serahkan uangnya," perintah Erlan sambil menyodorkan tangan.
Rafael menatapnya dengan kecut, lalu tertawa.
"Hhhh... Jangan bilang kamu udah Hhhh miskin Hhhh." Ucap Rafael ditengah tawa mencoba untuk meremehkan.
Erlan mengerutkan kening, jengkel. "Mulai berani, ya? Apa pamanmu yang nggak berpendidikan itu ngajarin kamu melawan?"
"Gais, kasih pelajaran biar kapok," saran Sandi maju ke depan.
"Percuma sandi, sepertinya Rafael sudah Kabal dari pukulan kita." Balas arnaldo sambil terkekeh.
"Tapi kali ini kita harus bikin dia tunduk," tambah Sandi.
Rafael mulai waspada takutnya mereka memukuli dengan brutal. Kemarin saja mereka menguncinya di toilet. Untung saja ada Bu Rina yang tau itu langsung menolongnya.
"Erlan," panggil Rio. "Langsung aja, nggak usah banyak omong."
"Iya juga," ucap Erlan, maju ingin menakuti Rafael.
"Jangan mendekat, atau..." ancam Rafael sambil menunjuk mereka.
"Atau apa, ha?" ejek Erlan.
"Aku... bakal... buat kalian... menyesal," ucap Rafael dengan nada gemetar.
Baru saja mengatakan itu, Rio yang dikenal bar-bar karna status ayahnya seorang polisi langsung maju. Dengan gerakan cepat langsung memukuli Rafael tampa aba-aba.
Rafael terlonjak kaget, sambil memegang perutnya. Dia begitu muak karna terus menjadi sasaran mereka.
"Jangan keroyokan! Kalau berani, satu-satu!" tantang Rafael, meski ketakutan.
Erlan mengepalkan tangannya emosi. Ketiga teman-temannya langsung maju. Dan mengkroyoki Rafael dengan membabi buta, tapi Rafael dengan sigap menangkis pukulan-pukulan mereka satu-persatu.
Hingga Rafael memukuli sandi hingga terjatuh dan memukulinya hingga sandi tak berdaya. Erlan kemudian menyuruh kedua temannya itu untuk mundur tapi Rio yang dikenal bar-bar itu langsung mendorong Erlan.
"Gila, itu teman kita! Bantuin!" bentak Rio lalu maju memukul Rafael.
"Erlan, kamu benar-benar yah? Sandi dipuki sama Rafael kamu malah nyuruh kita mundur. Kalau dia Kenapa-kenapa gimana?" Bentak Arnaldo emosi.
"Kamu benar-benar jadi ketua ngak guna, mending Rio aja yang jadi ketua." Sambungnya dengan nada tinggi. Lalu menemui sandi untuk menolongnya.
Erlan diam, menatap Rafael dengan emosi. "Bawa Sandi ke UKS. Rafael, biar aku yang urus."
Arnaldo membantu Sandi, sementara Rafael terengah-engah melawan Rio. Saat terpojok, Erlan memukul Rafael dari belakang, diikuti Rio yang brutal.
Tubuh Rafael ditendang berkali-kali. Rio berhenti sejenak, lalu merekam Rafael yang babak belur.
"Lihat anak miskin yang berani lawan kita," ucap Rio sambil mendekatkan kamera ke wajah Rafael. "Ini sebagai contoh pelajaran karena berani macam-macam sama kita." Lanjutnya lalu meludahi wajah Rafael.
"Yuk cabut," kata Erlan. "Biarin dia kapok."
Rio menatap Rafael dan berbisik, "Mulai besok kamu jadi babu kita. Kalau nggak mau, hidupmu bakal kayak neraka."
Mereka pergi, meninggalkan Rafael yang menatap penuh dendam.
"Kalian lihat aja, kesembongan kalian akan dibalas lebih dua kali lipat." Batin Rafael.
***
Malam itu aku duduk menonton berita, sesekali melirik jam di dinding. Jarum pendek menunjuk angka tujuh, dan jarum panjang sudah melewati dua puluh. Pukul 19:20. Rafael belum juga pulang.
"Anak itu kenapa? Apa dia dibully? Jam segini belum juga pulang," gumamku, mulai cemas.
Namun aku mencoba menenangkan diri. Toh, dia bukan siapa-siapaku. Mau dia pulang atau tidak, itu bukan urusanku, pikirku, berusaha tak peduli.
Baru saja pikiran itu terlintas, pintu depan terbuka. Rafael masuk dengan langkah lesu. Wajahnya penuh lebam, seperti habis dipukuli.
"Dari mana saja kamu?" tanyaku, namun Rafael hanya diam, menunduk.
"Apa dia habis dibully oleh anak-anak itu? Anak keluarga berpengaruh yang katanya suka menindas," batinku, mengerutkan kening.
Aku tersenyum kecut. "Dasar lemah," ucapku sengit, lalu tertawa kecil.
Rafael langsung reflek menatapku dengan penuh tanya, sementara aku mulai mematikan tv lalu berjalan ke arah dapur.
"Paman!" teriaknya kesal. "Aku nggak lemah! Mereka aja yang main keroyokan!"
Di dapur, aku tersenyum tipis sambil meneguk segelas air. Saat kutaruh gelas itu, Rafael sudah berdiri di ambang pintu.
"Ada apa?" tanyaku datar.
"Paman... Aku mau bilang sesuatu."
"Apa?"
"Paman, aku tahu kita miskin. Tapi anak-anak kaya itu selalu membully aku karena status ekonomi," curhatnya.
"Kamu aja yang miskin, bukan saya." batinku terkekeh.
"Lalu?" tanyaku, tetap dengan ekspresi datar.
"Jadi gini, Paman..." ucap Rafael sambil menyatukan kedua telunjuknya. "Aku mau Paman hukum mereka. Paman mau, kan? Mereka nggak cuma bully aku, tapi juga orang-orang miskin lainnya. Aku mohon bantuannya. Lagian, aku juga sering bantu Paman. Jadi sekarang aku minta Paman bantu aku kasih mereka hukuman... di Penghakiman Ruang Dosa itu. Paman mau, kan?"
"Tadi saja Erlan ngatain paman orang yang tak berpendidikan."
Aku terdiam dan juga emosi. "Kamu serius?" Tanyaku, Rafael menganguk.
Aku mulai menimbang-nimbang permintaannya. Apa yang mereka lakukan memang kejam, apalagi terhadap anak seusia Rafael. Mereka masih sekolah, tapi sudah menindas karena status orang tua mereka.
'mereka anak orang kaya dan mempunyai kekuasaan, aku takutnya karna status orang tua mereka kejadian tak diinginkan terjadi. Tapi kalau dipikir-pikir boleh juga.'
"Bagaimana, Paman? Mau, kan?" tanya Rafael, membuyarkan lamunanku.
"Iya, tapi ada syaratnya," jawabku sambil mengangkat satu jari.
"Apa?" tanyanya tak sabar.
"Mainnya harus rapi. Dan kamu... aku nggak akan biarkan kamu masuk ke ruangan itu. Takutnya mereka tahu kamu."
"Soal itu aku mengerti," jawab Rafael mantap.
*
*
📢 Pemberitahuan untuk Pembaca
Maaf, author jarang _update_ cerita _Penghakiman di Ruang Dosa_ karena sempat bingung mau melanjutkan ke arah mana. Tapi tenang saja, cerita ini akan terus berkembang hingga tamat.
Dukung dan beri apresiasi untuk cerita ini dengan like dan komentar kalian. Setiap dukungan sangat berarti untuk kelanjutan kisah Rafael dan Lion!
iblis✔️
mampir juga yuk ke cerita ku "Misteri Pohon Manggis Berdarah"