Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 PANGGUNG TERBUKA
Pagi itu Amara melangkah ke kampus dengan hati-hati. Udara terasa lebih berat, seakan seluruh koridor tahu akan ada sesuatu yang meletus hari ini. Ia bisa merasakan bisik-bisik semakin keras, gosip tentang yayasan dan rumah tangganya sudah menyebar ke seluruh fakultas.
“Katanya kelas desain itu cuma trik biar dia kelihatan baik.”
“Aku dengar sponsornya hampir cabut gara-gara program itu.”
“Dia pintar sekali bertahan… tapi sampai kapan?”
Amara menarik napas panjang. Ia tahu gosip ini jelas ulah Selvia yang tidak pernah berhenti mencari cara mempermalukannya.
Di kelas besar, hari itu ada seminar fakultas. Semua mahasiswa dari jurusan arsitektur dikumpulkan di aula. Panggung utama terhias dengan spanduk bertuliskan “Masa Depan Desain Indonesia.”
Dosen pembimbing berdiri di depan. “Hari ini kita akan mendengar beberapa presentasi mahasiswa terbaik. Saya minta kalian menjaga sikap.”
Namun Selvia langsung mengangkat tangan. “Pak, saya ingin mengajukan topik tambahan. Tentang bagaimana reputasi pribadi bisa merusak nama baik institusi.”
Dosen menatapnya tajam. “Selvia, ini bukan tempat gosip.”
“Bukan gosip, Pak. Fakta.” Selvia menoleh ke arah Amara, suaranya nyaring. “Kita semua tahu ada mahasiswa di sini yang namanya terus jadi bahan berita. Apa pantas orang seperti itu berdiri di panggung mewakili kampus?”
Aula riuh. Bisik-bisik bergema. Semua mata beralih ke Amara.
Amara merasakan darahnya mendidih. Tapi kali ini, ia tidak akan menunduk. Ia berdiri, suaranya tenang tapi cukup keras untuk didengar semua orang.
“Kalau kau ingin bicara soal reputasi, Selvia, mari bicara dengan data. Aku memang sering disebut di berita, tapi bukan karena aku ingin. Karena ada yang memotret diam-diam, menyebar fitnah, dan mengubah fakta. Namun aku juga punya data: program yang kupimpin di yayasan melibatkan lebih dari seratus anak sekolah minggu lalu, dengan laporan dan video resmi. Mereka belajar, mereka tertawa, mereka punya karya. Itu kenyataan.”
Aula mendadak senyap. Dosen memperhatikan dengan wajah heran.
Selvia tertegun sejenak, lalu tertawa sinis. “Kau pikir orang akan percaya begitu saja?”
Beberapa mahasiswa lain mulai bersuara. “Saya lihat videonya di akun yayasan. Anak-anaknya memang senang.”
“Betul, itu nyata. Saya salut Amara masih kuliah sambil kerja sosial.”
Sorakan kecil terdengar. Selvia menegang, wajahnya memerah.
Usai seminar, kerumunan mahasiswa masih ramai membicarakan. Amara berjalan keluar aula, tapi Selvia menghadangnya di koridor. “Kau mungkin bisa menipu mereka dengan kata-kata manis, tapi aku tahu siapa dirimu sebenarnya. Jangan harap bisa lama berdiri di atas panggung ini.”
Amara menatapnya tajam. “Kalau kau yakin tahu siapa diriku, seharusnya kau tidak perlu berteriak setiap hari. Orang yang benar tidak butuh berisik.”
Kalimat itu menusuk. Selvia terdiam sesaat, lalu pergi dengan langkah cepat.
Sore harinya, Amara kembali ke rumah. Di ruang tamu, Meylani sudah duduk menunggu, ditemani beberapa kerabat keluarga Atmadja. Wajah mereka serius.
“Amara,” ujar salah satu kerabat, “kami mendengar gosip di kampus. Kau menciptakan masalah terlalu banyak. Keluarga tidak bisa terus-terusan menutup mata.”
Amara menatap sekeliling, lalu menjawab dengan suara mantap. “Saya tidak menciptakan masalah. Saya yang diserang. Tapi setiap fitnah sudah saya jawab dengan bukti. Jika Bapak Ibu mau, saya akan tunjukkan laporan yayasan lengkap, juga dokumentasi dari sekolah mitra.”
Meylani menyela dengan senyum sinis. “Kau selalu punya alasan, Amara. Tapi alasan tidak bisa menutupi fakta bahwa namamu kotor.”
Tiba-tiba Bagas masuk. Ia berdiri di belakang kursinya, suaranya tegas. “Cukup. Amara bekerja, bukan bicara kosong. Aku sudah lihat sendiri. Kalau kalian ingin menilai, nilai dengan fakta, bukan gosip.”
Ruangan hening. Kerabat-kerabat itu terdiam, lalu perlahan berdiri pamit. Meylani menahan amarah, namun tak bisa membantah langsung.
Malamnya, Amara duduk di meja kamarnya, menulis di buku catatan.
“Hari ini aku berdiri di depan semua orang, dan untuk pertama kali, sebagian memilih mendengarkan. Gosip mungkin masih ada, tapi kebenaran mulai mendapat tempat. Aku akan terus berdiri, sampai tidak ada lagi ruang untuk fitnah.”
Ia menutup buku itu, lalu menatap cermin. Wajahnya letih, tapi sorot matanya penuh nyala.
Untuk pertama kali, Amara merasa dirinya bukan lagi korban. Ia mulai menjadi lawan yang diperhitungkan.
Setelah menutup catatan, Amara berjalan ke balkon. Angin malam menyapu wajahnya, membawa aroma bunga melati dari taman belakang. Ia menatap langit gelap, lalu menarik napas panjang. Semua yang terjadi hari ini berputar di kepalanya: sorakan kecil mahasiswa di aula, tatapan kerabat yang meremehkan, dan suara Bagas yang akhirnya membelanya di depan keluarga.
Pintu kamar diketuk pelan. Bagas masuk, masih dengan kemeja yang belum diganti. Wajahnya terlihat letih, namun matanya tenang. “Kau baik-baik saja?” tanyanya.
Amara menoleh. “Tidak sepenuhnya. Tapi aku merasa lebih kuat dibanding kemarin.”
Bagas duduk di kursi dekat balkon, menatapnya lama. “Kau tahu, keberanianmu tadi di kampus mulai mengubah pandangan orang. Aku menerima beberapa email mahasiswa yang bilang mereka mendukungmu.”
Amara terbelalak. “Benarkah?”
“Ya,” jawab Bagas singkat. “Itu bukti kalau kau tidak berdiri sendirian.”
Ada keheningan hangat di antara mereka. Amara merasakan dadanya bergetar, seakan tembok dingin antara dirinya dan Bagas mulai retak sedikit demi sedikit.
“Terima kasih… sudah membelaku di depan kerabat,” kata Amara pelan.
Bagas menatapnya lurus. “Aku tidak membelamu. Aku hanya membela kebenaran. Tapi kalau kau terus begini, aku tidak ragu lagi untuk berdiri di sisimu.”
Amara menunduk, bibirnya melengkung samar. Kata-kata itu sederhana, tapi lebih kuat daripada seribu janji.
Malam semakin larut. Di taman belakang, Meylani berdiri sendiri, menggenggam ponselnya erat. Wajahnya dingin, matanya berkilat marah. “Kau pikir kau sudah menang hari ini, Amara?” gumamnya. “Tunggu saja. Aku punya cara lain.”
Ia menekan layar ponselnya, mengirim pesan singkat ke seseorang: “Siapkan langkah berikut. Jangan sampai dia sempat bernafas tenang.”
Di kamar, Amara berbaring, akhirnya membiarkan tubuhnya beristirahat. Meski ia tahu badai baru sedang menunggu, malam itu ia memeluk satu keyakinan: dirinya sudah bukan korban. Ia adalah lawan yang mulai diperhitungkan.
Subuh menjelang, Amara terbangun oleh suara azan dari kejauhan. Ia duduk di tepi ranjang, merasakan ketenangan sesaat setelah hari-hari penuh riuh gosip. Tangannya meraih buku catatan, lalu menulis baris singkat:
“Hari ini aku berdiri di panggung, dan untuk pertama kali aku tidak jatuh. Besok aku akan berdiri lagi, lebih tegak.”
Ia menutup buku itu dengan senyum tipis. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa sendirian menghadapi semua serangan. Ada mahasiswa yang mulai melihat kebenaran, ada Bagas yang diam-diam berdiri di sisinya. Dan meski bayangan Meylani masih mengintai, Amara tahu satu hal: dirinya tidak akan mudah dijatuhkan lagi.
Ia menatap cermin. Wajahnya lelah, tapi matanya menyimpan api. Hari ini adalah awal, bukan akhir.