Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.
Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.
Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah. 
lanjut? 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
awal permusuhan
“Ya gue, Rakha. Kayaknya kita jodoh deh… ketemu terus,” ucap Rakha dengan tawa tengil khasnya.
“Hahaha, nggak gitu juga kali,” balas Syahnaz sambil terkekeh kecil.
Sementara itu, Darren hanya memperhatikan pria itu dari samping, pandangannya sinis dan dingin.
Rakha yang menyadari kehadiran Darren pun menatap ke arahnya. “Ini pacar lo?” tanyanya spontan sambil tertawa.
“Enak aja pacar. Nggak lah. Kenalin, ini sepupu aku,” jawab Syahnaz cepat, lalu menyenggol lengan Darren pelan, memberi isyarat untuk bersalaman.
“Salaman, Darren,” bisiknya lirih sambil melirik ke arah Darren yang masih menatap Rakha tanpa ekspresi.
Darren akhirnya mengulurkan tangan dengan malas. “Gue, Darren,” ucapnya singkat, nadanya ketus.
“Oh, Darren. Gue Rakha,” balas Rakha ramah.
“Udah tahu,” jawab Darren dingin sambil langsung menarik tangannya kembali dan melangkah menjauh.
Syahnaz tersenyum kikuk. “Hehehe, maaf ya, rakha. Darren emang gitu kalo belum akrab,” ucapnya merasa nggak enak.
Rakha hanya terkekeh pelan. “Santai aja, Naz. Gue ngerti kok… mungkin dia cemburu,” katanya, menurunkan suara pada kata terakhir sambil melirik Darren yang sedang membelakangi mereka.
Syahnaz ikut tertawa kecil. “Iya, mungkin,” sahutnya ringan.
Darren yang melihat keduanya masih asyik bicara mulai merasa panas. “Syahnaz, jadi nggak lo milih sayuran buat gue tadi?” serunya dengan nada ketus.
“Iya, jadi kok. Kalo gitu, aku pamit ya, Rakha. Assalamu’alaikum,” ucap Syahnaz sopan sebelum beranjak pergi bersama Darren.
Rakha hanya tersenyum tipis sambil melambaikan tangan. “Wa’alaikumussalam kak syahnaz,”ucap rakha sambil terkekeh kecil.
Begitu mereka menjauh, Darren masih diam dengan ekspresi kesal. Saat Syahnaz sedang memilih wortel, Darren tiba-tiba bertanya, suaranya terdengar tajam.
“Siapa dia?”
“Hah? Siapa?” Syahnaz menoleh sebentar. “Oh, orang tadi? Ya Rakha, lah. Dia sendiri juga bilang tadi.”
“Iya, gue tahu namanya Rakha, Syahnaz. Yang gue tanya tuh… dia siapa lo?” ucap Darren, nadanya sedikit menekan.
Syahnaz menatapnya bingung. “Hah? Dia bukan siapa-siapa, Darren! Ngapain sih tanya gitu segala?”
Darren hanya mendengus pelan, jelas nggak puas dengan jawabannya. “Gitu? Oke, terserah. Lo aja yang pilih semua kebutuhan gue. Nih uangnya.” Ia menyerahkan uang ke Syahnaz dengan nada datar. “Gue nunggu di sana. Kalo udah, telepon gue.”
Syahnaz menatap Darren yang langsung berjalan pergi tanpa menoleh. “Eh, aku ditinggal sendirian? Kamu mau ke mana, Darren?” serunya sedikit keras.
“Cari cewek!” teriak Darren dari kejauhan tanpa menoleh sedikit pun.
Syahnaz mendengus, menatap kesal ke arah punggung Darren yang menjauh. “Ihh… aneh banget tuh orang,” gumamnya sambil menghela napas berat. “Masa aku yang disuruh beliin kebutuhan dia? Kan dia yang butuh, bukan aku,” lanjutnya, menatap wortel di tangannya dengan ekspresi jengkel.
...****************...
Di kejauhan, langkah Syahnaz terhenti sejenak. Ia bisa merasakan tatapan asing menusuk dari arah belakang.
“Kenapa aku ngerasa kayak ada yang ngeliatin, ya?” batinnya bergumam, mulai cemas.
Ia mempercepat gerakannya, mengambil sayuran dan ayam potong, lalu segera menuju kasir.
“Duh Ya Allah… semoga cuma perasaan aku aja,” bisiknya pelan sambil menatap kanan kiri dengan gelisah.
Baru saja keluar dari pintu mall dan hendak menelpon Darren, suara berat memanggilnya dari belakang.
“Syahnaz!”
Jantungnya langsung berdegup kencang. Ia menoleh perlahan—dan di sana, berdiri seseorang yang sudah lama ingin ia hindari.
“Mau apa, Kak?” tanyanya waspada, menjaga jarak.
“Jangan panik,” ucap Reyhan lembut, tangannya terangkat sedikit. “Gue nggak mau apa-apa kok. Cuma mau bilang... maaf. Waktu itu gue bikin lo takut.”
Syahnaz terdiam, bingung harus bereaksi seperti apa.
“Hei? Dek?” Reyhan menjentikkan jarinya di depan wajah Syahnaz, membuatnya tersadar dari lamunan.
“Eh—afwan, Kak. Maksudnya... maaf,” ujarnya gugup.
Reyhan tersenyum tipis. “Ngelamun apa?”
“Enggak, nggak ngelamun apa-apa kok,” elaknya cepat.
Tatapan Reyhan bergeser ke dua kantong belanjaan besar yang dipegang Syahnaz.
“Lo belanja bulanan ya? Sini, gue bantu.”
“Eh, nggak usah Kak, itu—” tapi tangan Reyhan sudah lebih dulu mengambilnya.
“Itu bukan punya aku,” ucap Syahnaz hati-hati.
“Terus punya siapa? Lo sendirian bawa beginian? Mana berat lagi,” nada suaranya berubah protektif.
“Eee... tadi sepupuku keluar sebentar, ada urusan,” jawab Syahnaz gugup.
“Cowok?”
“Iya... cowok, sepupuku rata-rata cowok semua,” ujarnya berusaha terdengar santai.
Mereka melangkah keluar dari mall menuju parkiran. Dari kejauhan, Darren berlari menghampiri dengan napas tersengal.
“Syahnaz! Kenapa lo nggak nelpon gue tadi?!” ucapnya dengan wajah khawatir.
Sebelum Syahnaz sempat menjawab, tatapan Darren langsung tertuju pada Reyhan yang berdiri di sampingnya, hanya berjarak satu meter.
“Lo siapa?” nada suaranya langsung berubah dingin.
“Itu punya gue,” Darren merampas kantong belanjaan dari tangan Reyhan tanpa basa-basi.
“Woi! Santai aja kali!” balas Reyhan menatapnya tajam.
Langkah Darren yang sempat berbalik berhenti. Ia menatap balik, penuh amarah.
Reyhan tak tinggal diam, “Perempuan disuruh beliin keperluan lo, ditinggal sendirian, bawain belanjaan berat sendiri. Cowok macam apa lo, hah?”
Rahang Darren mengeras. “Tau apa lo tentang gue, hah?!” teriaknya, nyaris melayangkan tangan sebelum pergelangan tangannya ditahan oleh Syahnaz.
“Darren! Jangan!” suara Syahnaz bergetar.
Darren menatapnya sejenak, lalu menurunkan tangannya dengan napas berat. Reyhan masih diam menatap dingin, seringai tipis tersungging di bibirnya.
“Udah, ayo pulang Syahnaz,” ucap Darren pelan tapi tegas, melangkah menjauh.
Syahnaz hanya bisa menunduk dan mengikutinya tanpa berkata-kata. Tapi baru beberapa langkah, suara Reyhan terdengar lantang dari belakang.
“Jangan deket-deket sama orang kayak gitu, Syahnaz!”
Darren berhenti. Rahangnya menegang, matanya membara.
“*njing ya lo!!!” teriaknya sebelum berlari kembali menghampiri Reyhan yang berdiri di tengah parkiran dengan ekspresi dingin dan tak gentar.
Dbukk!!
Sebuah pukulan keras melayang tepat ke wajah Reyhan, membuat tubuhnya sedikit tersentak ke belakang. Namun hanya butuh sepersekian detik baginya untuk membalas—pukulannya jauh lebih kuat, cepat, dan brutal.
Darren terhuyung, mencoba melawan, tapi jelas kalah tenaga. Reyhan menangkis, memukul, lalu mendorong hingga Darren terjatuh ke aspal. Nafas mereka memburu, amarah menyala di mata masing-masing.
Tak heran — Reyhan bukan orang biasa. Ia adalah ketua geng motor yang ditakuti di ibu kota; kekuatannya bukan sekadar gaya, tapi pengalaman bertahun-tahun di jalanan.
“Darren!!!” teriak Syahnaz panik, langkahnya tergesa menghampiri dua lelaki yang kini saling baku hantam. Ia mencoba menarik tubuh Reyhan, memeluk dari belakang sambil berteriak,
“Stop!! Udah!! Cukup, Kak Reyhan!!”
Namun Reyhan tak langsung berhenti. Tangannya masih menghujani pukulan ke wajah Darren yang kini sudah tersungkur.
“Kak!! Udah, please!!” teriak Syahnaz lagi, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menampar lengan Reyhan, menarik jaketnya dengan sekuat tenaga.
Akhirnya Reyhan berhenti. Napasnya tersengal, matanya menatap Syahnaz beberapa detik — penuh amarah yang perlahan mereda saat melihat gadis itu menatapnya dengan takut.
Ia berdiri tegak, lalu melirik dingin ke arah Darren yang babak belur di tanah.
“Lo... macem-macem sama orang yang salah,” ucapnya tajam, membenarkan jaketnya yang berantakan.
Tanpa menoleh lagi, Reyhan melangkah pergi. Suara knalpot motor besarnya meraung keras, menghilang di kejauhan — meninggalkan udara tegang dan tubuh Syahnaz yang masih gemetar.
Syahnaz segera berjongkok di sisi Darren.
“Aduh, Darren! Kenapa sih kamu kepancing emosi segala?!” ucapnya cemas, membantu Darren duduk sambil mengelap sedikit darah di sudut bibirnya dengan tissue.
Darren hanya terdiam, napasnya berat, genggamannya mengepal kuat di atas aspal.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.
Salam literasi.
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.