Sejak usia tujuh tahun, Putri Isolde Anastasia diasingkan ke hutan oleh ayahandanya sendiri atas hasutan selir istana. Bertahun-tahun lamanya, ia tumbuh jauh dari istana, belajar berburu, bertahan hidup, dan menajamkan insting bersama pelayan setia ibundanya, Lucia. Bagi Kerajaan Sylvaria ia hanyalah bayangan yang terlupakan. Bagi hutan, ia adalah pewaris yang ditempa alam.
Namun ketika kerajaan berada di ujung kehancuran, namanya kembali dipanggil. Bukan untuk dipulihkan sebagai putri, melainkan untuk dijadikan tumbal dalam pernikahan politik dengan seorang Kaisar tiran yang terkenal kejam dan haus darah. Putri selir, Seravine menolak sehingga Putri Anastasia dipanggil pulang untuk dikorbankan.
Di balik tatapannya yang dingin, ia menyimpan dendam pada ayahanda, tekad untuk menguak kematian ibunda, dan janji untuk menghancurkan mereka yang pernah membuangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tawa Anastasia
Alexius melangkah cepat di belakang Anastasia yang berjalan limbung menuju Paviliun Trianon.
“Kakak ipar, tunggu dulu,” serunya, tapi Anastasia tak menoleh.
“Jangan ikuti aku, Alexius,” katanya dingin tanpa menghentikan langkahnya.
“Terlambat,” balas Alexius ringan, menyusulnya hingga ke tangga paviliun. “Kakak ipar hampir jatuh tadi, dan aku tidak mau dimarahi kaisar karena membiarkanmu pingsan di jalan.”
“Aku baik-baik saja. Jangan menyebut nama kaisar sialan itu di depanku.” Anastasia menatapnya tajam. Alexius langsung kaku, jika sedang marah begini tatapan Anastasia sedikit mirip dengan kakaknya.
Anastasia berjalan masuk, namun tiba-tiba saja lututnya goyah. Alexius refleks menangkapnya sebelum jatuh.
“Ya, kelihatannya memang baik-baik saja,” gumamnya sarkastis, membantu Anastasia duduk di kursi.
“Tidak perlu, Alexius. Pergilah, aku bisa berjalan sendiri.” Anastasia menepis tangannya, lalu bangkit berdiri. Langkahnya sedikit terhuyung, namun tetap keras kepala menolak bantuan dari Alexius.
Alexius mendengus. “Mereka berdua sama-sama keras kepala.”
Uap hangat memenuhi kamar pemandian Paviliun Trianon. Lentera-lentera kecil di dinding memantulkan cahaya kekuningan di permukaan air. Anastasia duduk berendam diam, separuh tubuhnya tenggelam di dalam air, rambut panjangnya terurai, sebagian menempel di bahu.
Tangannya perlahan terangkat, menyentuh leher sendiri. Jemarinya berhenti di bekas cekikan Kaisar Lexus, “Sssshhh…” desisnya pelan, masih terasa nyeri bila ditekan.
“Begitu rupanya caramu membuktikan kekuasaan, Yang Mulia Kaisar Lexus…” suaranya parau, nyaris berbisik. “Menaklukkan seorang wanita dengan cara licik.”
Air beriak saat ia mengepalkan tangan di dada. “Cabul.” bibirnya mengucap kata itu pelan namun tajam. “Kaisar cabul.”
Ia terdiam sejenak, lalu tertawa sumbang. “Dan orang-orang menyembahmu seolah kau dewa.” Tatapannya menajam, “Mereka tidak tahu, dewa mereka hanyalah monster yang menyamar dalam jubah emas.”
Anastasia menunduk lagi, membenamkan wajahnya perlahan ke dalam air. Uap mengepul di sekelilingnya. Ia terdiam lama di dalam air seolah berharap bisa menghapus semua bekas tangan kasar itu, juga semua yang terjadi malam itu.
Pagi di taman istana Agartha berembun lembut. Cahaya matahari baru menembus sela pepohonan ceri, menciptakan bayangan keemasan di antara dedaunan muda. Burung-burung berkicau, udara segar, dan aroma bunga liar memenuhi udara.
Anastasia berlari menyusuri lapangan berumput. Mengenakan gaun linen putih yang ringan dan memudahkannya untuk bergerak bebas. Napasnya teratur, gerakannya lincah dan anggun seperti penari. Ia berlari bukan untuk kesehatan, tapi untuk menenangkan hati dan menghapus sisa amarah dari pertengkaran semalam.
“Pagi yang indah, bukan?” suara riang itu datang dari belakang.
Anastasia memutar bola matanya malas, tidak menoleh. “Aku tidak minta ditemani berlari, Jenderal Alexius.”
Alexius muncul di sisi kirinya, berlari dengan gaya berlebihan. “Kau tidak minta, tapi aku menawarkan diri. Bukankah kebaikan itu tak perlu diundang?”
Anastasia mendengus, mempercepat langkahnya. “Kalau begitu, kau bisa menunjukkan kebaikanmu dengan menghilang dari jangkauan mataku.”
“Tapi kalau aku pergi, siapa yang akan memastikan selir terhormat kita tidak tersesat di taman istana?” Alexius menyengir lebar, napasnya ngos-ngosan tapi terkesan seperti dibuat-buat. “Kau tahu, taman ini begitu luas. Seekor rusa saja bisa tersesat di sini.”
“Sayangnya aku bukan rusa.” Anastasia menatap lurus ke depan.
“Tapi wajahmu merah seperti rusa yang ketakutan,” sahut Alexius cepat, lalu menepuk dadanya sendiri. “Ah, tapi jangan khawatir. Aku sang pemburu gagah yang siap men…”
“Jika kau terus bicara,” potong Anastasia tajam, “aku yang akan memburumu, Jenderal.”
Alexius terdiam sejenak… lalu tersenyum nakal. “Lalu apakah aku boleh berlari lebih lambat agar mudah tertangkap?”
Anastasia menatapnya tak percaya. Sekilas bibirnya nyaris terangkat tapi ia buru-buru memalingkan wajah, menahan tawa. Alexius menangkap itu dan berseru penuh kemenangan.
“Kakak ipar tersenyum! Aku melihatnya! Sekilas, tapi nyata!”
“Tidak ada yang perlu dibanggakan,” jawab Anastasia dingin, namun kali ini suaranya tidak setajam biasanya.
Alexius menunduk mengambil sesuatu dari semak bunga liar di sisi jalan. Ia lalu menyodorkan setangkai bunga kecil berwarna ungu lembut padanya.
Anastasia menatapnya curiga. “Apa maksudmu memberiku rumput liar ini?”
“Bukan rumput liar,” bantah Alexius, menaruh bunga itu di telapak tangannya. “Kau tahu, bunga ini hanya mekar kalau mendengar tawa. Jadi mungkin... kalau Kakak Ipar terus tertawa, bunga ini akan ikut mekar lebih indah.”
Bibir Anastasia perlahan bergetar menahan tawa.
“Kau benar-benar pandai berbicara omong kosong,” katanya akhirnya, sambil mengambil bunga itu.
Alexius mengangkat kedua tangannya berpura-pura tersinggung.
“Omong kosong yang berhasil membuatmu tersenyum, berarti tak sepenuhnya sia-sia, bukan?”
Tak menyerah sampai disitu, Alexius pura-pura tersandung batu. Hampir jatuh, lalu menepuk debu di lututnya sambil mengaduh berlebihan. “Demi para dewa, bahkan tanah pun memihak padaku. Mereka ingin aku gagal membuatmu tertawa.”
Anastasia akhirnya tak tahan, tawa kecil lolos dari bibirnya. Ia menutupi mulut dengan tangan, tapi Alexius sudah mendengarnya. Tatapan lelaki itu melembut, seolah melihat pemandangan terindah.
“Teruslah tertawa, Kakak Ipar” katanya sambil berdiri tegak. “Dunia ini masih bisa berputar dengan normal… kalau kau tertawa.”
Anastasia memandangnya sebentar, lalu berbalik dan mulai berlari lagi. “Kau terlalu banyak bicara.”
“Hei… Kakak Ipar, tapi aku membuatmu tertawa,” balas Alexius cepat sambil ikut berlari di belakangnya, suara tawanya memantul di antara pepohonan.
Anastasia tak menjawab, tapi kali ini tawanya benar-benar pecah… ringan dan tulus, membuat Alexius memandang punggungnya lekat lebih lama dari yang seharusnya
Di kejauhan, dua pasang mata memperhatikan mereka dari arah berlawanan. Kaisar Lexus berdiri di balik deretan pepohonan tinggi di sisi barat taman istana. Pandangannya menyorot tajam pada mata Anastasia yang tertawa lepas. Tawa yang belum pernah terdengar sebelumnya, sangat indah namun membuat dadanya panas dingin. Rahang Lexus mengeras, jemarinya menggenggam erat sarung pedang di pinggang.
Alexius sudah terlalu berani. Terlalu jauh melewati batasan seorang Jenderal terhadap wanita yang menyandang gelar Selir Kaisar. Dan Anastasia, wanita yang semalam menatapnya dengan kebencian kini tampak… bahagia di sisi orang lain.
Sementara itu di sisi timur taman istana, Selir Bahrana bersandar di balik pilar batu, bibirnya melengkung licik.
“Dasar jalang,” bisiknya pelan, “Setelah menggoda kaisar, kini ia mencoba menjerat adiknya juga. Aku sudah menduga ini sebelumnya, dia hanya berlagak sok cuek di depan Kaisar. Kenyataannya ia mengincar kedudukan tinggi di istana ini.”
Ia menoleh pada pelayannya yang berdiri di belakang, menatapnya dengan senyum samar.
“Tapi mungkin… ini justru keuntungan bagiku,” ucapnya lebih lembut, matanya menyipit penuh perhitungan. “Jika Alexius tergoda, maka aku tak perlu mengotori tangan untuk menjatuhkan wanita itu. Cukup satu bisikan… dan seluruh istana akan memanggilnya pengkhianat.”
Selir Bahrana menatap sekali lagi ke arah Anastasia dan Alexius yang tertawa di bawah sinar matahari pagi. Lalu ia berbalik perlahan, menghilang di antara koridor batu, meninggalkan aroma bunga melati dan rencana busuk yang baru tumbuh di benaknya.
hahaaaa pria jelekk
seruuuu👍👍👍👍👍👍❤❤❤❤❤❤❤❤
btw siapa ya sir Wilhelm 🙏