NovelToon NovelToon
Sistem Game Uang Gratis

Sistem Game Uang Gratis

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sistem / Kebangkitan pecundang / Harem / Anak Lelaki/Pria Miskin / Dikelilingi wanita cantik
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: Quesi_Nue

Alvan hanyalah seorang anak petani yang baru lulus kuliah.

Hidup sederhana di desa, membantu orang tuanya di sawah sambil mencari arah hidup yang belum pasti.

Satu kalimat dari gurunya dulu selalu terngiang:

“Nak, ibu sarankan kamu lanjut kuliah"

Namun dunia Alvan berubah bukan karena gelar tinggi, melainkan karena satu tindakan kecil, menolong seorang anak yang terjatuh di sawah.

Ding!

[Sistem berhasil terikat]

Sejak hari itu, kehidupannya tak lagi sama.
Setiap kebaikan kecil memberinya “misi,” setiap tindakan membawa “hadiah”
dan setiap bibit yang ia tanam… bisa muncul nyata di hadapannya.

Namun, seiring waktu berjalan, Alvan menyadari sesuatu, bahwa selain hal-hal baik yang ia dapatkan, hal-hal buruk pun perlahan mulai menghampiri dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quesi_Nue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 - Sisi Menangis?

Sementara Alvan di sawah, di tempat lain…

Ia duduk sendirian di kamar, tepatnya di tepi ranjang.

Air matanya menetes pelan, tapi ekspresinya justru bingung seolah hatinya belum tahu apa yang sebenarnya ia rasakan.

Ia menatap parfum merk sama di tangannya.

Perasaan di dadanya campur aduk, sedih, kesal pada diri sendiri, namun juga tak mengerti kenapa Alvan bisa semarah itu.

“Kenapa dia marah…?” bisiknya lirih.

Padahal niatnya hanya memberi hadiah. Tapi kenapa balasan yang ia dapat justru pesan yang begitu dingin dan tegas.

Ia menarik napas panjang, tapi dadanya justru makin sesak.

"Huh… hhh…"

(suara napasnya tersendat, tersedak, seperti menahan tangis yang ingin meledak)

Sisi menggigit bibir nya, mencoba menahan suara yang sudah menggetar di tenggorokan.

Matanya berair, bahunya bergetar pelan.

“A-ku… aku cuma mau dia senang…”

Suaranya sedikit terbata -bata, serak, hampir hilang di antara napas yang tersengal.

“Kenapa sih… kenapa semuanya bisa jadi kayak gini…”

Air mata yang tadinya jatuh diam-diam kini mengalir deras.

Ia menutup wajah dengan kedua tangan, tapi suaranya tetap keluar parau, pecah, penuh sesak.

“Uwaaahhh!! Kenapaa!! Aku cuma ingin dia senang!! Hiks… hiks… uh… hhuhuhu…”

Isakannya menggema di kamar.

Napasnya terputus-putus, seolah setiap helaan memaksa keluar sisa perasaan yang campur aduk di dadanya.

Ia mencoba tenang, tapi yang keluar hanya suara sedu dan tarikan napas berat.

“Hhh… uuh… aku capek… ta-tapi aku nggak bisa benci dia…”

Kedua bahunya masih naik turun pelan, matanya sembab, dan di antara sesenggukan itu, hanya satu hal yang tersisa rasa yang nggak bisa ia hapus meski sudah mencoba.

Di kamar yang sunyi, hanya suara napasnya dan tetesan air mata yang terus menerus jatuh ke lantai.

“Hiks… hiks…”

Tangisnya semakin berlarut dalam… perlahan melemah, berubah jadi sesenggukan kecil yang nyaris tak terdengar, mata mulai berat, tubuh kelelahan.

Sebelum benar-benar tertidur, ia sempat berbisik pelan, hampir tak terdengar di antara napasnya yang pelan,

“Aku... tetap mencintaimu, Alvan…”

 

Pov : Alvan

“Iya, Nak, tunggu sebentar. Lagi tanggung, ini tinggal sedikit lagi,” sahut Pak Vandi tanpa menoleh, tubuhnya masih membungkuk mencabut rerumputan liar di antara batang padi muda.

Cahaya matahari pagi memantul di permukaan air sawah, membuat kulit tangannya yang legam tampak berkilau basah. Keringat menetes dari pelipisnya, namun wajahnya tetap tenang dan fokus.

Alvan duduk di pinggir pematang, menaruh nampan di rumput yang agak kering sambil memperhatikan pemandangan sekitarnya.

Sawah milik ayahnya memang tidak luas hanya sekitar seribu meter persegi, sepersepuluh dari sawah milik Pak Mamat, orang kaya desa yang punya hampir satu hektar lahan.

Empat bulan terakhir, Pak Vandi menjalani double job. Selain mengurus sawahnya sendiri, ia juga bekerja di sawah milik Pak Mamat.

Sebenarnya, penghasilan dari sawah pribadinya sebelumnya cukup. Namun, karena beberapa kegagalan panen, Pak Vandi mau tak mau harus membayar dua gaji pekerja nya, salah satunya adalah sahabat karibnya sendiri.

Karena itu, ia memilih tetap bekerja ekstra, membagi waktunya antara sawah milik sendiri dan sawah Pak Mamat, untuk memastikan semua kebutuhan keluarga dan gaji pekerjanya tetap terpenuhi.

Alvan memperhatikan ayahnya dari pematang, merasakan beban yang terlihat di pundaknya. Meskipun lelah, Pak Vandi tetap tekun menyiangi rumput liar dan merawat padi dengan telaten.

Biar kecil, sawah itu hasil kerja keras keluarga.

Alvan ingat, dulu setiap jengkal tanah di sana pernah ia injak sejak kecil dari belajar berjalan sampai bantu menanam bibit untuk pertama kalinya.

“Bentar lagi, Ya Van!” seru Pak Vandi dari tengah sawah, sambil berdiri menegakkan badan dan melambai tangan.

Alvan tersenyum tipis.

“Iya, Yah! tapi kopinya keburu dingin tuh!” balasnya sambil tertawa kecil, memandang sosok ayahnya yang sederhana tapi teguh di bawah sinar matahari yang mulai meninggi.

Beberapa saat kemudian, Pak Vandi selesai membereskan rerumputan liar, lalu berjalan pelan ke pematang sawah mendekati Alvan.

Dengan gerakan hati-hati, ia mengambil teko kopi dari nampan dan menuangkannya ke cangkir sederhana yang sudah tersedia.

“Gila… kopi emang paling cocok kali sambil bersihin sawah,” gumam Pak Vandi sambil menghirup aroma kopi panas itu, mata sedikit menyipit karena nikmatnya.

Alvan tersenyum, menyaksikan ayahnya menikmati kopi pagi itu. Uap kopi nya mengepul di udara pagi nan sejuk ini.

Setelah kopi habis, Pak Vandi menatap Alvan sebentar, lalu membuka percakapan.

“Oh iya, Van… kamu tahu kan uang yang diberikan Pak Wandi, ayahnya Zania?” tanyanya.

“Iya, tahu… emang ada apa, yah?” Alvan menjawab, nada suaranya sedikit bingung.

Pak Vandi mencondongkan tubuh, menurunkan suara agar tidak terdengar warga sekitar. “Itu loh, Van… nominalnya… 25 juta.”

Mata Alvan membesar sekejap. Kejutannya terlihat, tapi ia segera menenangkan diri.

“Kamu mau pakai buat kuliah? Atau beli sawah atau tanah aja? Biar kamu yang urus sendiri, kan lumayan bisa,” lanjut Pak Vandi, tetap pelan tapi tegas.

“Ayah juga bisa bantu kalau nanti terasa sulit, tapi intinya… ini kesempatan buat kamu, Van.”

Alvan menerka angka itu sejenak, lalu pikirannya langsung berlari kesana kemari.

Ia tahu, ayahnya sudah bekerja ekstra, menanggung dua pekerjaan sekaligus tidak mungkin ia membebani lagi dengan pilihan nya sendiri apalagi biaya di kota tidak semurah di desa.

“Beli sawah atau tanah saja, Yah,” jawab Alvan cepat, tegas. “Kalau kuliah, bisa nanti dulu… yang penting sekarang alvan bisa bantu ayah.”

Pak Vandi tersenyum tipis, menepuk bahu Alvan. “Baik, Van… itu keputusan bijak.”

Alvan menelan napas, merasa lega karena bisa mengambil langkah yang benar, meski kecil, ini berarti ia ikut meringankan beban bapaknya.

1
Syahrian
👍😍
black
lanjutkan thor, jangan berhenti di tengah jalan, ceritanya menarik,
ALAN: iya bener tuh Thor 👍
total 2 replies
ALAN
lanjut Thor 💪😍
ALAN
hadir Thor 😍👍
Aryanti endah
ET buset, Mak bapak adek JD transparan 🤣🤣🤣🤣
ALAN: iya, alvan tak ada malu - malu nya dengan mertua 🤣
total 1 replies
Syahrian
👍💪😍
ALAN
Bagus, lumayan
ALAN
lanjut Thor
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Lala Kusumah
lanjuuuuuuuuut, semangat sehat ya 💪💪
Lala Kusumah
sepertinya bakal seru nih, lanjutkan 👍👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!