Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Bab 26 -
“Jadi mereka itu… pernah pacaran ya?” tanya Aryo tiba-tiba, suaranya menahan panas tapi matanya melirik tajam penuh curiga.
“Sepertinya begitu, Pak,” jawab resepsionis paruh baya yang sudah lama bekerja di Andara Group. “Dulu sebelum Bu Meliana menjadi CEO, Tuan Thomas sering terlihat dekat dengannya. Waktu itu dia sudah menjadi pengusaha sukses, sering menemani beliau. Banyak yang bilang mereka sempat pacaran, meski sebentar.”
Aryo menegakkan tubuhnya, rahangnya tiba-tiba menegang. Dari sudut mata, ia melihat seorang pria berjas rapi melangkah membawa seikat bunga merah yang diikat pita perak. Tanpa banyak bicara, Aryo langsung melangkah masuk ke ruang kerja Meliana.
“Ada orang yang ingin bertemu denganmu,” katanya datar.
Meliana tetap fokus pada dokumennya, tak menoleh. “Siapa?” tanyanya singkat.
“Namanya Thomas.”
Meliana menghentikan pena di tangannya. Ia menoleh, ada nada cemas di suaranya. “Thomas? Suruh dia masuk.”
Aryo mengangguk, membuka pintu. Pria itu masuk dengan langkah percaya diri, senyum dibuat semanis mungkin.
“Meliana,” sapa Thomas ramah, seolah mereka tak pernah berpisah lama.
Meliana diam sesaat, lalu berkata, “Silakan duduk.” Tapi raut wajahnya tegang, ada kecanggungan yang jelas.
Thomas melirik Aryo, menatap dengan ekspresi merendahkan—seolah menyuruh Aryo keluar. Tapi Meliana memotong: “Biarkan dia di sini. Dia bodyguard-ku.”
Thomas tersenyum masam. “Baiklah.” Ia mengeluarkan bunga dari balik punggungnya. “Aku bawakan ini, untukmu.”
Meliana menatap bunga itu sebentar, lalu meletakkannya di pojok meja kaca. Pandangannya sempat ke Aryo, yang berdiri tegap dengan ekspresi dingin.
Dia cemburu, ya? pikir Meliana. Kalau iya, apa yang akan dia lakukan?
“Terima kasih. Kapan kamu datang ke Kota J?” tanya Meliana datar.
“Baru kemarin,” jawab Thomas santai. “Aku ingin memberi kejutan.”
“Dan cukup mengejutkan,” sahut Meliana. “Ada keperluan apa sebenarnya?”
Thomas tersenyum tipis. “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja, dan mendengar kabar tentang perusahaanmu. Aku dengar Andara Group makin besar. Aku bangga padamu.” Ia melirik Aryo sebentar. “Tapi bolehkah kita bicara berdua saja?”
“Tidak,” jawab Meliana tegas. “Dia tetap di sini.”
Thomas terkekeh kecil. “Satu-dua menit saja, tidak apa-apa kan?”
“Aryo, tetap di sini,” perintah Meliana, tatapannya tajam.
Thomas mengangkat bahu. “Baiklah. Dokumen yang sedang kamu baca itu tentang perusahaanku kan? Akhirnya, setelah sekian lama, kita bisa bekerja sama juga.”
“Benar,” jawab Meliana singkat.
Thomas menyandarkan diri, kaki disilangkan. “Bagaimana kalau setelah ini kita makan siang? Sedikit nostalgia. Kamu masih suka waffle es krim kan?”
“Maaf, aku sedang sibuk,” balas Meliana.
“Setelah jam kerja?” desak Thomas.
“Tidak bisa juga.”
Thomas terus mencoba membuka kenangan lama. Meliana semakin kesal. “Thomas, aku benar-benar sibuk. Tolong pahami.”
“Berikan saja pekerjaanmu ke asistenmu,” katanya enteng.
“Tidak semudah itu. Aku punya tanggung jawab.” Meliana berdiri, merapikan dokumen. “Kalau tidak ada hal penting, kamu bisa pergi.”
Thomas berdiri juga, memutar kunci mobil mewahnya di tangan. “Kalau begitu, aku antar saja.”
Aryo menegang. Meliana meliriknya dan berkata, “Tidak perlu. Aku diantar bodyguard-ku.”
“Sekali-kali tidak apa-apa kan?” Thomas masih memaksa.
Aryo hampir maju, tapi Meliana menahan dengan gelengan kepala. “Kamu masih sama saja, Thomas. Suka memaksa.”
Thomas tersenyum canggung. “Baiklah, aku pergi. Tapi kamu masih punya utang satu kencan denganku,” katanya sambil melangkah ke pintu.
Meliana tak menanggapi. Ia mengambil bunga dan menyerahkannya kembali. “Aku tidak suka bunga. Alergi.”
Thomas kecewa, tapi menerima lagi, lalu pergi. Aryo sempat melihat pria itu membuang bunga ke tempat sampah sebelum lift menutup.
Beberapa saat kemudian, Meliana menatap Aryo. “Tolong antar aku ke restoran.”
“Dia belum tahu tentang pertunangan kita?” Aryo bertanya.
“Thomas? Tidak,” jawab Meliana. “Dulu dia pacarku sebentar. Setelah pergi ke luar negeri, hubungan kami berakhir. Dia menyebalkan, tapi punya pengaruh besar. Jadi kalau dia muncul lagi seperti tadi, tolong kendalikan diri, jangan bikin masalah.”
Aryo mengangguk, dalam hati ada rasa lega. “Baik, Meliana.”
Sore harinya, Thomas muncul lagi. Kali ini yang menghadang adalah Chris, kepala keamanan Andara Group.
“Maaf, Bu Meliana sedang tidak bisa diganggu,” kata Chris tegas.
Thomas menatap sinis. “Dan kamu siapa berani melarangku?”
“Saya dari tim keamanan perusahaan.”
“Oh, satpam ya?” Thomas menyeringai.
“Bisa dibilang begitu. Tapi saya menjaga ketertiban Andara Group,” jawab Chris.
“Meliana yang menyuruhmu?”
“Oh, saya diperintahkan oleh Pak Kamal,” jelas Chris. “Kalau Anda keberatan, saya bisa antar ke komisaris.”
Thomas akhirnya pergi, jelas-jelas kesal.
Hari-hari berikutnya, Thomas Maraja terus datang. Chris selalu berusaha mencegah. Jika Aryo sedang keluar, Chris menggiring Thomas ke lantai lain agar tidak bertemu Meliana.
“Tuh orang rese banget,” kata Chris suatu hari.
“Tuan Thomas?” tanya Aryo.
“Iya, mantan pacarnya Bu Meliana,” jawab Chris. “Sudah ditolak tapi masih nekat datang.”
“Ya, orang kaya kadang merasa bisa lakukan apa saja,” Aryo menimpali.
Chris terkekeh pelan, menyipitkan mata sambil menatap Thomas Maraja. “Jangan-jangan… maksudmu mau melamar lagi?” ucapnya dengan nada main-main, tapi tajam. Ada kilatan nakal di matanya, seolah ingin menguji kesabaran Thomas.
Aryo menatap tajam ke arah Thomas, dadanya berdebar tapi tetap tenang. Pikirannya bergerak cepat. Dia jelas masih ingin merebut Meliana. Tidak bisa dibiarkan. Aku harus tetap di sini, menjaga, tapi tanpa membuat masalah lebih besar.
Chris menyeringai tipis, menepuk bahu Aryo dengan santai. “Sainganmu berat nih, Aryo. Kau calon tunangannya Bu Meliana, kan? Sepertinya pertarungan ini tidak akan mudah.”
Aryo hanya menatap, bibirnya tipis menahan senyum pahit. “Menurutmu?” jawabnya pelan, nada suaranya datar tapi penuh arti. Matanya tetap fokus pada Thomas, yang kini mulai merasa dikontrol, tapi tidak mau menunjukkan rasa kesal di hadapan Aryo dan Chris.
Sejak hari itu, Chris semakin sering berurusan langsung dengan Thomas Maraja. Ia menghalangi setiap langkah Thomas yang mencoba menyelinap ke ruang Meliana, memutar arah pria itu, atau mengalihkan perhatiannya ke urusan lain. Chris tahu ini lebih dari sekadar tugas keamanan—ini soal menjaga ketenangan Meliana dari orang yang jelas masih memiliki niat pribadi.
Sampai suatu sore, kesabaran Thomas benar-benar habis. Ia menghentikan langkahnya di depan lift, menatap Chris dengan mata menyala, wajahnya memerah menahan amarah. “Kau jangan terus menghalangiku!” bentaknya, suaranya bergema di lobi. “Kau tahu siapa aku? Aku pemegang saham Andara Group sekarang! Kalau kau terus menolakku, kubuat kau dipecat!”
Chris tetap tegap, tidak bergeming satu inci pun. Bahunya lurus, dadanya sedikit maju seolah menantang Thomas. “Saya hanya menjalankan tugas, Tuan. Selama Bu Meliana belum memberi izin, tidak ada satu pun yang boleh mengganggunya. Itu perintah yang jelas dan tidak bisa ditawar.”
Thomas menggertakkan gigi, tubuhnya gemetar menahan emosi. Ia melangkah maju satu langkah, pandangannya menembus tajam ke mata Chris. “Kau akan menyesal!” ancamnya, suaranya kini lebih rendah tapi berat, penuh intimidasi.
Chris tetap tenang, napasnya teratur. “Saya hanya menjaga aturan, bukan mencari musuh,” jawabnya tegas. Tapi di balik ketenangannya, ada getaran energi waspada—siap bertindak jika Thomas bertindak sembrono.
Udara di sekeliling mereka seakan menegang. Orang-orang yang lewat di lobi menahan langkah, melihat pertarungan diam-diam antara dua pria itu. Tidak ada suara lain kecuali detak jam besar di dinding dan napas berat Thomas yang masih menahan amarah.
Dan sejak saat itu, jelas bahwa pertarungan yang terjadi bukan hanya soal bisnis atau saham perusahaan. Ini soal pengaruh, kontrol, dan yang paling penting… hati Meliana.
Karena di tengah semua ketegangan, Aryo sadar satu hal: menjaga Meliana bukan sekadar melindungi dari bahaya fisik. Ini soal memastikan tidak ada yang bisa merusak ketenangan, kebahagiaan, dan hatinya.
Thomas Maraja mungkin memiliki kekayaan dan pengaruh, tapi Aryo tahu… hatinya, tekadnya, dan kesetiaannya pada Meliana adalah pertahanan yang lebih kuat daripada apa pun.
Bersambung…