"Persahabatan adalah ikatan yang tak terpisahkan, hingga cinta datang dan menjadikannya sebuah pilihan."
Kisah ini berputar di sekitar dinamika yang rapuh antara dua sahabat karib yang datang dari kutub kehidupan yang berbeda.
Gabriella, gadis kaya raya dengan senyum semanis madu, hidup dalam istana marmer dan kemewahan yang tak terbatas. Namun, di balik sampul kehidupannya yang sempurna, ia mendambakan seseorang yang mencintainya tulus, bukan karena hartanya.
Aluna, gadis tangguh dengan semangat baja. Ia tumbuh di tengah keterbatasan, berjuang keras membiayai kuliahnya dengan bekerja serabutan. Aluna melihat dunia dengan kejujuran yang polos.
Persahabatan antara Gabriella dan Aluna adalah keajaiban yang tak terduga
Namun, ketika cinta datang mengubah segalanya
Tanpa disadari, kedua hati sahabat ini jatuh pada pandangan yang sama.
Kisah ini adalah drama emosional tentang kelas sosial, pengorbanan, dan keputusan terberat di antara cinta pertama dan ikatan persahabatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon JM. adhisty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
INSIDEN YANG MEMBUKA RAHASIA
Pesta sweet seventeen Ariana sudah hampir selesai, para tamu mulai berpamitan.
Jhonatan sedang berdiri di dekat area pengamanan, mengawasi. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari salah satu kepala keamanan yang ia tempatkan di pintu belakang.
Jhonatan membaca pesan itu. Matanya langsung menyipit, ekspresinya menjadi dingin dan tajam: "Insiden kekerasan, area gang sepi. Korban seorang pemuda dengan gitar. Pelaku dua orang haitu jovan dan temannya"
Jhonatan seketika tahu bahwa 'pemuda dengan gitar' itu pasti Justin, musisi yang baru saja mereka kagumi. Dan Jovan adalah putra dari rekan bisnis kelas dua, seseorang yang sering membuat masalah.
Jhonatan berbalik, berjalan cepat ke arah Axel yang sedang berbincang dengan Kevin dan Jay. Yoga berdiri sedikit menjauh, mengamati keramaian.
Jhonatan berbicara dengan suara rendah, tegas, dan mendesak "Kita harus pergi. Sekarang. Ada masalah keamanan di luar area."
Axel terkejut "Masalah apa, Jhonatan? Pestanya kan sudah mau selesai."
Jhonatan menciptakan alasan yang logis untuk menjaga ketenangan "Ini urusan yang tidak ada hubungannya dengan pesta. Hanya masalah kecil yang harus segera kita tangani sebelum melebar. Kalian semua, ikut aku. Kita harus memastikan area parkir aman. Jangan sampai merusak acara Ariana."
Kevin merasa ada yang tidak beres "Masalah keamanan? Serius?"
"Serius. Jangan tanya lagi." Jhonatan melirik ke arah Yoga, yang sudah memahami keseriusan nada Jhonatan dan tanpa bertanya langsung bersiap meninggalkan rooftop.
Mereka bergerak cepat menuju pintu keluar. Gabriella yang sedang berbincang dengan tunangan kakaknya, melihat pergerakan mendadak Big Five.
"Tunggu! Ada apa? Kenapa kalian buru-buru pergi? Aku ikut!" Gabriella merasa ada salah
Arjuna, yang berdiri di samping Gaby bersama Alana , melihat pertukaran mata antara Jhonatan dan Yoga. Arjuna mengenal Jhonatan lebih dari siapa pun—ketenangan Jhonatan dalam situasi mendesak selalu berarti ada sesuatu yang sangat tidak beres.
Arjuna tahu, jika Gabriella ikut, situasinya akan menjadi drama besar. Ia harus menahan adiknya.
Arjuna memegang lengan Gaby dengan lembut namun tegas "Jangan, Gaby. Biarkan mereka. Itu urusan laki-laki. Mereka sedang mengurus keamanan pesta. Kita selesaikan tugas kita di sini yaitu menemani Ariana hingga akhir."
Gabriella Cemberut menatap kakaknya "Tapi Bang, aku yakin ada sesuatu! Jhonatan tidak pernah seperti itu!"
"Abang tahu. Itu sebabnya kamu harus percaya pada keputusan mereka. Mereka akan mengatasinya dengan baik. Aku akan menyusul mereka setelah ini. Sekarang, kembalilah pada Ariana."
Arjuna tersenyum pada Gaby, memberikan kesan bahwa semuanya terkendali, padahal ia tahu Jhonatan sedang bergerak cepat untuk mengamankan "sesuatu" yang tidak terduga.
Arjuna mengambil peran 'penjaga ketenangan' untuk menjaga agar pesta tetap damai.
Axel, meskipun masih bingung, segera memimpin. "Ayo! Jangan buang waktu."
Yoga adalah yang paling cepat mencapai lift, ekspresinya dingin. Ia tahu 'masalah keamanan' yang dimaksud Jhonatan pasti serius. Ia hanya ingin tahu insiden apa yang terjadi.
Mereka meninggalkan rooftop tanpa menimbulkan keributan besar, menyisakan Gabriella yang cemas dan Arjuna yang memainkan peran tenangnya
Mereka kini sedang dalam perjalanan menuju lokasi insiden, sementara Justin terkapar di gang gelap.
Big Five tiba di lokasi yang dilaporkan. Jhonatan memimpin dengan senter ponselnya. Begitu cahaya menyentuh sudut gang, mereka semua membeku.
Seseorang yang tergeletak di aspal yang kotor itu adalah Justin, musisi yang baru saja memukau mereka. Wajahnya babak belur, ada darah kering di sudut bibir dan pelipisnya. Pakaiannya kotor dan berantakan. Di sebelahnya, puing-puing gitar usang yang pecah berkeping-keping menjadi pemandangan yang memilukan.
Axel adalah yang pertama bereaksi. Wajahnya yang hangat seketika berubah menjadi marah dan kaget.
Axel berlari menghampiri Justin "Justin! Ya Tuhan! Siapa yang melakukan ini padamu?!"
Justin, yang sudah berusaha merangkak dan mengumpulkan sisa-sisa gitarnya, tersentak oleh suara-suara itu. Ia berusaha berdiri, rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya.
Justin berusaha keras bicara, suaranya parau "Tidak... tidak apa-apa. Saya baik-baik saja. Saya harus... saya harus pulang sekarang."
Ia mencoba meraih amplop bayarannya yang basah terkena sedikit darah, tetapi Axel lebih dulu memegang lengannya.
"Pulang? Jangan gila, Justin! Kamu harus segera ke rumah sakit!" Axel sedikit menaikan suaranya
Jhonatan sudah melangkah cepat, memeriksa sekeliling gang, matanya mencari tanda-tanda pelaku. "Kevin, Jay! Amankan area! Axel, jangan biarkan dia bergerak. Yoga, cari mobil. Kita bawa dia ke rumah sakit keluarga , sekarang!"
Justin panik. Rumah sakit berarti biaya besar, dan yang lebih penting, kehilangan waktu. Aluna akan segera pulang. Jika Aluna melihatnya seperti ini, rahasia bayaran dan keputusannya untuk tampil di pesta akan terbongkar.
Justin mencoba melepaskan diri dari Axel "Tidak! Tolong, Jangan! Saya tidak butuh rumah sakit! Saya hanya butuh pulang! Kakak saya... dia akan pulang sebentar lagi, dia tidak boleh tahu!"
Kevin mencelah "Kami tidak mendengarmu, Bro! Tubuhmu bisa patah di dalam. Yoga, cepat!"
Yoga sudah kembali dengan mobil SUV hitam. Ia membuka pintu belakang. Wajahnya, yang biasanya dingin, kini menunjukkan ketegasan yang mutlak.
"Kita tidak punya waktu untuk berdebat, Justin. Masuk." Tegas Yoga
Axel dan Jhonatan, yang terkuat di antara mereka, dengan hati-hati mengangkat tubuh Justin yang menolak dan memasukkannya ke kursi belakang mobil Yoga. Justin tidak berdaya melawan kekuatan gabungan mereka.
Saat pintu ditutup, mata Justin tertuju pada puing-puing gitar di tanah. Itu adalah lambang pengorbanan dan kegagalannya.
Jhonatan melirik ke puing-puing gitar "Ambil gitarnya, Jay. Ini barang bukti."
Jay mengambil puing-puing gitar yang patah, lalu segera masuk ke kursi depan. Yoga menyalakan mesin dan melesat pergi, meninggalkan gang gelap itu.
Justin terbaring di kursi belakang, wajahnya menoleh ke Axel dan Kevin. Ia menatap mereka dengan tatapan campuran rasa sakit dan putus asa, bukan karena pemukulan, tetapi karena rahasianya kini berada dalam bahaya terbesar.
Axel Mencoba menenangkan Justin "Tenang, Justin. Kami akan mengurus semuanya. Kami tidak akan membiarkan ini lolos. Kamu baru saja menghibur adikku dengan tulus, dan kamu dihajar oleh sampah. Kami akan segera mengurusnya"
Yoga mengemudi dengan fokus, tetapi pikirannya berputar. Ia mendengar Justin memohon, menyebutkan kakaknya dan waktu kepulangan.
Kakaknya akan pulang sebentar lagi...
Entah mengapa pikiran nya tertuju pada Aluna.
Meskipun masih belum menyadari bahwa Justin dan Aluna bersaudara, Yoga merasa ada benang merah gelap yang menghubungkan kedua kisah ini.
Justin kini berada di bawah kendali Big Five, dan mereka menuju rumah sakit keluarga.
*
Aluna baru saja bersiap untuk pulang, hatinya terasa sedikit lega karena shift hari ini berjalan lancar berkat intervensi yang tidak ia ketahui. Ponselnya berdering. Nomor anonim.
Dengan ragu, ia menjawab. Suara di seberang sana, meskipun samar, menyampaikan berita yang seketika membuat jantungnya berhenti: "Adik Anda berada di Rumah Sakit Arthala, bagian UGD. Datang sekarang."
(Rumah Sakit Arthala adalah—milik keluarga Yoga)
Tanpa berpikir panjang, rasa cemas seketika melenyapkan rasa lelah. Ia tidak peduli bahwa ia masih mengenakan seragam pelayan kaus polo gelap dan celemeknya. Ia menyambar kunci lokernya, berpamitan seadanya pada manajer, dan berlari secepat mungkin keluar dari restoran.
Sepanjang perjalanan, otaknya diserang pertanyaan: Kenapa Justin ada di sana? Apa yang terjadi? Justin seharusnya di rumah, aman.
Aluna tiba di rumah sakit, napasnya tersengal. Ia berlari panik, seragam pelayan dan celemeknya kontras dengan koridor rumah sakit yang steril. Setelah menemukan nomor ruangan, ia membuka pintu tanpa mengetuk dan tanpa melihat siapa pun di dalamnya.
Perhatiannya hanya tertuju pada satu sosok: Justin. Adiknya sedang bersandar di ranjang, wajahnya yang biasanya bersih kini babak belur dan diperban di beberapa tempat.
Aluna Berlari ke ranjang, suaranya tercekat dan menahan tangis "Justin! Ya Tuhan! Apa yang terjadi padamu?! Kenapa kamu di sini?! Kenapa tidak ada di rumah?!"
Ia menyentuh pipi Justin yang memar. Air matanya langsung tumpah.
"Kenapa? Siapa yang melakukan ini? Kenapa kamu sampai seperti ini?!" Aluna memarahi adiknya bukan karena marah, tetapi karena kekhawatiran yang meluap.
Justin yang kesakitan, melihat kepanikan kakaknya, akhirnya memutuskan untuk jujur.
"Maafkan aku, Kak. Aku... aku tidak mau Kakak tahu. Aku melakukan ini untuk Kakak. Aku tahu Kakak kerja keras. Aku hanya ingin bantu."
Justin menunduk, malu dengan pengakuannya. "Aku tampil di pesta. Ulang tahun Ariana... aku tampil di sana demi uang. Aku mau bayarannya untuk biaya kuliah kita."
Aluna tertegun, otaknya berusaha memproses informasi itu: Pesta Ariana? Pesta adik Axel?
"Dan... dan setelah selesai, aku diserang. Oleh Jovan. Aku tidak tahu dia mengikutiku." Justin terdiam, lalu menunjuk ke beberapa sosok yang berdiri kaku di sekeliling ruangan. "Mereka yang menolongku, Kak. Mereka yang membawaku ke sini."
Aluna mengikuti arah tunjuk Justin. Ia akhirnya mengangkat wajahnya, menyadari bahwa ia tidak sendirian.
Di sekeliling ruangan—di sofa, di dekat jendela, dan di sudut—berdirilah:
* Axel, dengan ekspresi terkejut total. Ia melihat Aluna dalam seragam pelayan, dan Justin "si musisi yang ia kagumi" adalah adiknya. Dua kepingan rahasia yang ia cari akhirnya bersatu, namun dalam kondisi yang paling menyakitkan.
* Jhonatan, kaget, tetapi cepat menutupinya dengan ekspresi pragmatis. Ia menyimpulkan semua teka-teki status Aluna dalam sekejap.
* Kevin dan Jay, mulut mereka sedikit terbuka, wajah mereka dipenuhi ketidakpercayaan. Mereka melihat gadis beasiswa pintar yang mereka goda dengan jaket denim, kini berdiri di hadapan mereka dengan seragam pelayan kafe.
* Dan Yoga. Yoga adalah satu-satunya yang tidak terkejut dengan seragam itu. Namun, ia tersentak oleh realisasi yang lain: Justin adalah adik Aluna. Yoga akhirnya mengerti kenapa Justin memohon untuk cepat pulang kepada kakaknya.
Aluna melihat semua tatapan itu—tatapan yang kini tahu bahwa ia berbohong tentang 'urusan mendesak' dan tentang status keuangannya. Ia berdiri di sana, di hadapan Big Five, dengan seragam kerjanya yang basah oleh air mata dan rahasianya yang telanjang bulat.
Yoga, yang pertama memecah keheningan, meskipun hanya dengan tatapan. Ia menatap Aluna, lalu ke Justin yang terluka. Tatapannya seolah berkata: Aku sudah berjanji diam, tetapi takdirmu sendiri yang mengungkap semuanya.
Aluna merasakan seluruh tubuhnya dingin. Ia telah kehilangan semua harga dirinya. Pesta Ariana, seragam pelayan, dan Justin yang terluka—tiga rahasia besar mereka telah meledak di ruangan yang sama.