Satu Atap Dua Rumah

Erick lebih dulu tiba di rumah mewah yang ia tinggali bersama Emily. Rupanya, wanita yang berstatus istrinya itu belum menampakkan batang hidungnya. Erick tahu persis, berdasarkan laporan mata-matanya yang terpercaya, Emily memang akan pulang hari ini. Namun, sang mata-mata juga menambahkan satu detail, yaitu Emily sedang melipir untuk kegiatan wajib para sosialita, shopping bersama teman-temannya.

Sembari menunggu kedatangan sang istri, Erick memutuskan untuk memanfaatkan waktu luangnya. Dia membersihkan diri dari lelahnya perjalanan. Setelah itu, dia mengambil ponsel, memainkan jemarinya di atas layar. Awalnya dia memantau pergerakan pasar saham yang belakangan terasa datar, lalu mengecek reputasi perusahaannya--perusahaan milik ayah mertuanya, tentu saja. Kemudian, ia bergulir sebentar melihat linimasa media sosial.

Dahulu media sosial adalah medan tempur rahasianya. Ia sering stalking kompetitor, menganalisis strategi, dan mencari celah. Namun, Erick yang sekarang sudah berbeda. Ia tidak lagi demikian. Loyalitasnya terhadap perusahaan itu sudah jauh menurun. Ia kini menjalani hidup dengan prinsip tidak ngoyo. Semangat membara, kerja keras tanpa kenal waktu, dan dedikasi total yang ia tunjukkan sebelum menikah dengan Emily, semuanya perlahan pudar. Padahal dulu ia adalah aset terbaik yang dimiliki perusahaan tersebut, bahkan bisa dibilang the golden boy.

Karena kontribusi dan dedikasi luar biasanya itulah, ia dijodohkan dengan Emily, anak tunggal sang CEO. Jelas, ini adalah perjodohan yang berlandaskan pertimbangan untung rugi, sebuah pernikahan bisnis. Sang CEO berharap dengan menikahkan putri kesayangannya dengan karyawan paling loyal dan cerdas ini, perusahaan akan terus maju dan semakin kuat. Erick yang gigih, setia, dan punya trik jitu seperti stalking kompetitor menjadi nilai plus di mata calon mertuanya. Erick dulunya memang tangan kanan andalan ayah Emily, orang yang paling bagus untuk diandalkan.

Saat itu, Erick tidak keberatan dijodohkan dengan wanita yang tidak ia cintai. Ia berharap seiring waktu rumah tangga berjalan, benih-benih cinta itu akan tumbuh. Sebuah harapan yang lumrah bagi manusia. Tapi kenyataannya tidak demikian. Emily ternyata jauh dari kata istri yang menghargai suaminya. Bagi Emily, Erick hanyalah seorang karyawan yang beruntung, dan ia pun memperlakukan Erick seolah ia adalah bawahan, bukan kepala keluarga. Erick begitu rendah di mata sang istri.

Di sisi lain, Emily bersedia dinikahkan oleh ayahnya hanya karena ingin mempertahankan gelimang harta dan fasilitas mewah. Sang Ayah mengancam akan mencabut semua fasilitas jika Emily menolak. Apalagi, Emily tahu persis bahwa Erick adalah pekerja keras, dan yang lebih penting, ia adalah tipe pria penurut yang tidak banyak menuntut. Kombinasi sifat ini menjadikan Erick sasaran empuk, dan Emily pun dengan rela hati melangkah ke pelaminan.

Awalnya Erick memilih untuk tidak menyentuh haknya sebagai suami. Ia menghormati batasan, meskipun Emily sempat mengizinkannya. Namun pada akhirnya ada situasi tak terhindarkan di mana mereka akhirnya melakukan hubungan layaknya suami istri.

Di masa-masa awal pernikahan, hubungan mereka tampak hambar, seperti umumnya pernikahan di atas kertas. Erick sering dijadikan sasaran pembulian Emily, bahkan kerap dipermalukan di hadapan teman-teman istrinya. Dengan kejam, teman-teman Emily bahkan terang-terangan menganggap Erick hanya sebagai anjing setia Emily. Namun Erick diam tidak membalas. Ia hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk mengakhiri semua ini.

Sebab, sesungguhnya di balik pernikahan itu, tersimpan sebuah perjanjian kesepakatan tertulis yang isinya hanya diketahui oleh Erick dan Papanya Emily. Emily sama sekali tidak tahu tentang ini. Isi perjanjian itu cukup jelas, jika dalam jangka waktu tertentu cinta tidak tumbuh, mereka diizinkan bercerai setelah usia pernikahan mencapai lima tahun. Jika mereka berani bercerai sebelum masa lima tahun itu, Papa Emily mengancam akan membuat Erick susah luar dalam. Ancaman itu sangat serius. Entah mengapa batas waktu yang diberikan adalah lima tahun, hal itu masih menjadi misteri yang belum terpecahkan bagi Erick sendiri.

Waktu bergulir, tahun-tahun pernikahan mereka sudah memasuki usia empat tahun lebih. Seiring berjalannya waktu, fakta bahwa Emily tidak kunjung hamil justru membuat sikap pembangkangnya terhadap Erick makin menjadi-jadi. Ia seakan menyalahkan Erick atas ketidakmampuan mereka memiliki keturunan.

Setelah sekitar lima belas menit asyik menggulir layar ponsel, Erick tiba-tiba merasakan sensasi aneh di perutnya. Perutnya terasa tidak nyaman, rasanya isi perut bergolak ingin dikeluarkan. Setelah berhasil memuntahkan isi perut, ia langsung merasakan lapar yang mendadak, sangat mendesak. Sialnya, yang ia inginkan bukanlah makanan biasa. Ia menginginkan nasi goreng estetik yang baru saja lewat sekilas di Instagram-nya. Keinginan itu datang tiba-tiba, dan tampilannya harus semirip mungkin dengan yang ia lihat di media sosial.

Dia segera memanggil koki di dapur mereka. Dengan detail yang aneh, ia meminta sang koki untuk menyiapkan nasi goreng estetik yang disajikan mirip seperti bekal anak kecil. Koki tersebut hanya manut tanpa banyak bertanya. Setelah jadi, nasi goreng plating sempurna itu diletakkan di hadapan Erick. Baru menyantapnya hanya dua sendok, nafsu makannya langsung hilang.

Erick mengerutkan kening. Ia merasa heran dengan dirinya sendiri.

Lah, kok gue kenapa kepengen nasi goreng yang bentuknya kaya bekal anak kecil begini? batinnya.

Saat ini, Erick berada dalam fase aneh. Apa pun yang ia lihat, ia langsung kepengen. Begitu sudah dicoba sedikit, keinginannya langsung lenyap, dan meninggalkan rasa heran yang mendalam. Yang lebih parah, jika permintaannya tidak sesuai harapan, misalnya bentuknya beda, atau plating-nya kurang mirip, ia akan merasakan kesedihan yang tidak tahu kenapa. Perasaan ini biasanya hanya dialami oleh ibu hamil, alias ngidam, dan kini Erick yang mengalaminya.

Sementara itu, yang di rasakan Zara di kehamilan trimester pertamanya hanya merasa pusing sedikit dan lebih sering mengantuk. Ia tidak menunjukkan gejala ngidam seperti kebanyakan wanita hamil.

Setelah menyantap dua suap nasi goreng yang penuh drama itu, Erick kembali meminta makanan lain.

"Tolong bikinin saya rujak buah buni, ya."

Sekali lagi, koki di dapur itu hanya menurut saja tanpa menuntut penjelasan atas keanehan tuannya. Ia bahkan tidak berani membantah, meskipun wajahnya menunjukkan kecemasan, karena malam-malam begini dimana dia harus mencari buah buni?

...***...

Sementara Erick sibuk dengan drama ngidamnya, Emily yang sudah selesai shopping bergegas menuju rumah. Sebelum berpisah, temannya sempat nyeletuk sebuah pertanyaan usil.

"Em, kenapa buru-buru pulangnya? Kenapa harus hari ini? Bukannya kamu bilang pulangnya lusa?"

Emily tertawa meremehkan. "Tadi aku nelpon ke rumah, nanyain jam tangan aku yang ketinggalan. Eh, si Erick ternyata juga pergi, dia tidak ada di rumah."

"Wooah, bahaya banget Erick." Celetuk si teman.

"Intinya, aku mau dia ngerasa bersalah. Aku mau nyiksa dia. Kalau aku pulang dan dia belum pulang, dia pasti akan panik dan ngerasa bersalah. Dia kan tahunya aku pulang lusa. Hahahaha!"

Temannya ikut tertawa, menikmati game licik yang dimainkan Emily. Dalam hati Emily, ia merasa berhasil menjadi ratu drama, mengatur skenario kepulangan yang akan membuat suaminya merasa tertekan dan ketakutan karena tidak menyambutnya. Tanpa Emily sadari sedikit pun, Erick sudah selangkah lebih maju darinya. Hanya saja laki-laki itu saat ini sedang ngidam.

"Parah kamu, Em. Udah gitu Erick tuh diam aja lagi kalau kamu siksa. Bodoh banget ya."

"Siapa suruh bikin aku hamil aja tidak bisa. Aku juga butuh pewaris kali." sahut Emily.

Si teman manggut-manggut, dan kemudian teringat satu hal. "Em, bukannya kamu juga udah tidur sama Darren ya? Tapi belum hamil juga tuh. Mending ke rumah sakit aja sih, periksa kesuburan deh."

Emily langsung terdiam, benar juga kata temannya. Padahal dia juga tidur dengan Darren, pacarnya, tapi tak kunjung hamil.

Dia langsung kepikiran sesuatu.

.

.

Bersambung.