“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 20. Menunaikan janji
Pagi Hari
Suara alarm ponsel berdering pelan, diikuti cahaya matahari yang menembus tirai tipis kamar. Arman membuka mata lebih dulu. Tubuhnya agak pegal, tapi hatinya terasa ringan. Ia menoleh ke samping—Widya masih terlelap, punggungnya menghadap Arman, napasnya teratur.
Arman menatap lama. Kalimat semalam masih terngiang jelas: “Mas… jangan bikin aku sakit hati, bisa nggak?”
Arman menghela napas dalam. “Aku janji,” gumamnya pelan, meski tahu Widya tidak mendengar.
Tak lama, Widya menggeliat. Matanya setengah terbuka, melihat jam, lalu buru-buru bangun. “Astaga, udah jam segini…” Ia langsung melangkah ke kamar mandi dengan rambut yang sedikit berantakan.
Arman menyandarkan kepala ke sandaran ranjang, nyengir sendiri. Capek-capek aku mikirin kalimat romantis, eh, dia malah sibuk ngejar waktu kuliah.
Beberapa menit kemudian, Widya keluar lagi, wajahnya basah tapi lebih segar. Ia sempat melirik Arman.
“Mas nggak mandi?”
“Nunggu kamu dulu.”
“Kenapa nunggu aku?”
Arman mengangkat bahu, pura-pura santai. “Biar bisa gantian. Rumah tangga itu kan tim.”
Widya mendengus kecil, tapi sudut bibirnya hampir naik. Ia bergegas menyiapkan tas kuliah.
Saat mereka akhirnya bersiap berangkat, Arman sudah memanaskan motor di teras. Widya keluar dengan langkah agak terburu-buru. Ia menyerahkan helm pada Widya.
“Udah siap, Bu Mahasiswi?”
Widya mengenakan helm, lalu naik ke jok belakang. “Udah. Ayo buru, Mas. Entar telat.”
Motor melaju pelan keluar gang. Angin pagi menyapu wajah mereka. Tangan kecil Widya secara otomatis meraih ujung jaket Arman supaya nggak oleng. Bukan merangkul, tapi cukup buat bikin Arman merasakan sesuatu di dadanya.
Arman menahan senyum, fokus ke jalan. Ini udah kemajuan.
Widya di belakang, meski diam, sesekali melirik ke samping jalan. Ada rasa aneh, semalam ia mengucapkan sesuatu yang jujur, sesuatu yang bikin dadanya lebih lega. Dan pagi ini, entah kenapa, suasana di antara mereka terasa lebih ringan.
Arman akhirnya membuka suara di tengah deru motor.
“Nanti pulang kampus kamu mau aku jemput, nggak?”
Widya sempat terdiam dua detik, lalu menjawab pelan. “Boleh.”
Jawaban sederhana, tapi Arman hampir bersorak dalam hati. Yes, dia bilang boleh!
Di sepanjang jalan menuju kampus, mereka tidak banyak bicara. Tapi justru heningnya kali ini tidak lagi kaku—lebih seperti jeda yang nyaman.
Sampai di depan kampus, motor yang Arman kendarai berhenti di depan gerbang kampus. Mahasiswa sudah ramai lalu-lalang dengan tas ransel di punggung. Arman menurunkan standar motor, menoleh sedikit.
“Udah sampai, Bu Mahasiswi.”
Widya membuka helm, jilbab bagian depannya sedikit berantakan. Ia buru-buru merapikan jilbab sambil turun dari jok belakang.
“Makasih, Mas.”
Arman mengangguk, tapi matanya tidak lepas dari Widya. Ada sesuatu yang beda—Widya tidak langsung lari meninggalkan motor seperti biasanya. Ia sempat menoleh sebentar, tatapannya singkat tapi nggak dingin.
“Jangan lupa makan siang, Mas. Jangan cuma kopi.”
Arman hampir kaget. Itu pertama kalinya sejak mereka menikah, Widya ngomong hal remeh tapi terasa… peduli.
“Iya, siap, Bu istri,” jawab Arman dengan senyum lebar yang tidak bisa ditahan.
Widya mendengus kecil, menutupinya dengan langkah cepat menuju gedung. Tapi dari belakang, Arman bisa melihat gerakan tangan Widya yang sedikit gugup saat merapikan tas. Dia malu sendiri, pasti.
Arman menyalakan motor lagi, namun senyumnya belum hilang. Nggak perlu banyak-banyak, secuil perhatian begini aja rasanya udah bikin aku kuat kerja seharian.
Dengan hati riang, Arman melajukan motornya menuju ke kantor.
*
*
Jam Istirahat – Kafe Dekat Kantor
Arman sengaja keluar kantor di jam istirahat, melangkah cepat menuju kafe kecil di seberang jalan. Ia sudah janjian singkat via chat dengan Priya, memenuhi janjinya pada Widya, untuk menyelesaikan urusan dengan Priya secara baik-baik. Tangan Arman sedikit gemetar waktu mendorong pintu kaca.
Priya sudah duduk di sudut, dengan segelas latte di depannya. Wajahnya menoleh begitu Arman datang, senyum miring langsung tersungging.
“Cepet banget kamu nyamperinnya. Kangen, ya?”
Arman tidak menyahut, hanya langsung menarik kursi, dan duduk dengan wajah datar.
“Priya, aku nggak mau basa-basi. Aku ngajak ketemu cuma buat ngomong satu hal.”
Priya menyandarkan punggung, memainkan sedotan di tangannya. “Santai dong, Man. Kamu tegang banget.”
Arman menatapnya lurus, suaranya rendah tapi tegas.
“Tolong jangan ganggu Widya lagi. Jangan datang ke rumah kami, jangan coba provokasi dia. Hubungan kita udah selesai. Aku milih rumah tangga aku, aku milih Widya… karena dia istriku. Aku mohon pengertianmu.” ucap Arman tanpa jeda.
Senyum Priya melebar, seperti menikmati setiap kata yang Arman ucapkan.
“Wah, heroik banget ya. Sampai rela pasang badan buat dia.” ejek Priya, sambil mencondongkan tubuh ke depan, suaranya berbisik tapi penuh racun. “Tapi yakin, Man? Hati kamu beneran udah buat dia sepenuhnya?”
Arman menghela napas panjang, lalu menggeleng.
“Priya, jangan buang energi kamu buat sesuatu yang udah lewat. Aku nggak mau lagi ada drama masa lalu nyeret-nyeret kehidupan aku sekarang. Jadi tolong, cukup sampai di sini.”
Priya terkekeh pelan, seperti anak kecil yang berhasil menemukan mainan baru.
“Lucu ya, kamu ngomong gini malah bikin aku makin penasaran. Kalau bener udah selesai, kenapa kamu masih ngerasa perlu ketemu aku?”
Arman mengepalkan tangan di bawah meja. “Karena aku nggak mau istriku terluka.”
Sejenak tatapan mereka saling mengunci. Priya akhirnya menyandarkan tubuh lagi, senyumnya tetap ada. “Baiklah, Man. Kita lihat aja nanti… apakah Widya sekuat yang kamu kira.”
Arman berdiri, malas berlama-lama. “Aku serius, Priya. Jangan bikin aku kehilangan respek terakhir yang aku punya buat kamu.”
Tanpa menunggu jawaban, Arman melangkah keluar dari cafe, meninggalkan Priya yang masih tersenyum licik sambil mengaduk lattenya.
Pintu kaca berayun, suara bel kecil terdengar sebentar sebelum kembali hening. Priya masih duduk di sudut, matanya menatap punggung Arman yang menjauh, lalu hilang di balik kaca transparan.
Tangannya masih memegang sedotan, memutar-mutar tanpa arah. Senyum miring yang tadi ia pamerkan perlahan luntur.
“Hm… jadi sekarang kamu setegas itu, Man?” gumamnya lirih, nyaris hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
Ada rasa panas di dadanya, campuran antara kesal, gengsi, dan… kehilangan yang tidak mau ia akui. Ia mengangkat cangkir latte, meneguk pelan, padahal rasanya pahit menusuk lidah.
Kepalanya menoleh ke luar jendela, memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang.
Widya. Nama itu muncul otomatis di pikirannya. Gadis itu—yang dulu bahkan nggak pernah ia anggap saingan—kini sudah resmi jadi istrinya Arman. Dan yang lebih menyakitkan, Arman dengan mantap memilih dia.
Priya menutup mata sejenak, lalu tertawa pendek, getir.
“Kenapa sih aku nggak bisa nerima? Arman sudah memutuskan, untuk apa mengemis?”
Priya menghela napas panjang, jemarinya mengetuk-ngetuk meja. Senyum licik tadi masih bisa ia tarik lagi, meski jauh lebih tipis.
“Yaudah, Man. Kalau kamu pikir ini game udah selesai… kita lihat aja siapa yang terakhir ketawa.”
Priya lalu menyeruput sisa latte-nya, meski rasanya semakin hambar. Di balik wajah tenang yang ia pamerkan, Priya justru semakin gelisah—karena untuk pertama kalinya, ia merasa kalah sebelum perang benar-benar dimulai.
“Dasar syalan kau, Man. Belum apa-apa kau udah kalah, Arman breng*sek.” maki Priya dalam hati.
Sekarang ini, ia bukan hanya membenci Widya, tapi juga Arman.
---
Eh... kan memang😂