NovelToon NovelToon
My Enemy, My Idol

My Enemy, My Idol

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Enemy to Lovers
Popularitas:372
Nilai: 5
Nama Author: imafi

Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.

Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.

Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5

Bab 5

Pak Juki, penjaga sekolah, yang baru saja membuka pintu gerbang, bengong terkejut melihat Quin datang pagi sekali.

“Pagi, Pak Juki!” sahut Quin yang jalan setengah berlari ke arah kelasnya.

Quin masuk ke dalam kelas, lalu mengeluarkan buki catatan puisi milik Dima dari tasnya dan menyimpannya di laci meja Dima yang paling dalam. Dia lantas bergegas pergi ke Perpustakaan.

“Sial, masih ditutup,” umpat Quin seraya pergi ke kantin.

Dia duduk di salah satu kursinya, berharap tidak ada murid yang melihatnya. 

‘Apa aku ke masjid aja ya?’ pikir Quin sambil melihat sekeliling. ‘Bilang aja pura-pura solat duha. Eh tapi aku lagi dapet,’ kata Quin dalam hati sambil menepok jidatnya.

Tadi pagi pas pamit jalan lebih pagi ke sekolah, orang tuanya heran dan curiga pada Quin. Dengan alasan mau mengerjakan peer sama Nisa, akhirnya orang tuanya percaya.

Quin membuka tasnya, ‘Astaga!’ Handphonenya ketinggalan. Quin menundukkan kepala di atas mejanya pasrah. 

Tiba-tiba datang Dima dan teriak, ‘Quin!’ 

Quin menoleh ke arah Dima yang perlahan mendekatinya. Jantungnya berdebar. Apakah Dima marah atau membencinya? 

Dima kemudian memberikan hape padanya.

“Kok bisa ada sama kamu?” tanya Quin heran. Tapi dia juga heran karena hapenya yang pake casing pink jadi hitam.

“Makanya, bangun!” teriak Dima menggebrak meja.

“HAH,” Quin mengangkat kepalanya terbangun kaget. 

Di hadapannya ada Bu Iyem, salah satu petugas kantin, menatap Quin dengan khawatir. “Kenapa, Neng? Sakit?” tanyanya bergetar.

“Eh nggak, Bu. Cuma ketiduran,” jawab Quin lalu bergegas ke kamar mandi untuk mencuci mukanya dengan air. 

Air keran kamar mandi terasa dingin. Mungkin karena semalam habis hujan. Quin menepuk pipinya, “Ayo bangun!” katanya pada dirinya di cermin.

Murid kelas 1 masuk, tapi keluar lagi karena melihat ada Quin. Quin tertegun, sedikit bingung kenapa anak kelas satu tadi tidak jadi masuk. Quin keluar dari kamar mandi dan melihat anak kelas satu tadi di depan pintu.

“Kenapa?” tanya Quin ramah.

“Nggak apa-apa, Kak,” jawab anak itu lalu buru-buru masuk ke kamar mandi.

Begitu duduk di kursinya, Quin menceritakan apa yang terjadi barusan pada Nisa yang sudah ada di sebelahnya.

“Kamu gak tau?” tanya Nisa sambil menunjukkan hapenya pada Quin.

Quin melihat hape Nisa yang menampilkan layar noveltoon fanfic story antara Quin dan Dima.

“Astaga! Sumpah, ya! Siapa yang bikin?” tanya Quin kesal matanya melotot seperti marah pada Nisa.

“Nama penanya UmiSusu. Nggak jelas siapa. Katanya sih yang nulisnya sama kaya yang suka bikin fanfic soal kakak kelas kita. Tapi nggak tau deh. Ini orang yang sama atau gak.”

“Ngapain sih?”

“Mereka tuh ngeshipin kalian tau! Mungkin anak kelas satu tadi, malu ketemu elu di kamar mandi, jadi dia keluar lagi deh!” jelas Nisa.

“Ngesipin gimana?”

“Elu sama …” Nisa melihat Dima yang baru datang. 

Dima melirik Nisa dan Quin yang melihatnya jalan dari pintu masuk ke kursinya, sampai lehernya Nisa dan Quin berputar.

“Kenapa sih?” tanya Dima heran diperhatikan sampai sebegitunya.

Nisa dan Quin buru-buru memalingkan wajahnya.

“Nah! Ini dia buku gue!” teriak Dima sambil mengangkat buku catatan puisinya ke udara, bersamaan dengan bel masuk berbunyi.

Nisa melirik Quin. Quin mengeluarkan buku pelajaran pertama, Bahasa Indonesia.

Nisa masih melirik Quin. Quin menoleh ke Nisa. Nisa menggelengkan kepalanya.

“Kenapa?”tanya Quin berbisik, karena Guru Bahasa Indonesia sudah masuk ke kelas.

“Elu yang ngambil bukunya Dima?” Nisa tahu apa yang ada di kepala Quin. Soal lomba puisi dan buku catatan puisinya Dima, pasti saling berkaitan.

“Idih, nggak!” Quin memalingkan muka, menyimpan hapenya ke dalam tasnya. Pura-pura sibuk, padahal tidak ingin menjawab pertanyaan Nisa.

“Sumpah demi?” tanya Nisa yang kini wajahnya hanya berjarak tiga centi dari wajahnya Quin.

Quin tidak menjawab dan fokus mendengarkan penjelasan Guru Bahasa Indonesianya. Nisa melirik ke belakang. Dima sedang sibuk mengeluarkan buku pelajaran. Nisa kembali menatap Quin.

Quin akhirnya menghela napas, lalu mengarahkan wajah Nisa ke depan kelas.

Posisi kantin ada di bagian belakang area kelas. Meski ada penutup jalannya, kalau hujan deras, tetap saja air menyiprat ke mana-mana. Akibatnya kantin sepi. Tidak banyak anak yang pergi ke kantin. Belum lagi ada bagian kursi dan meja yang kena tempias air hujan. Sudah lama sebetulnya masalah ini harusnya diperbaiki. Tapi pihak sekolah tampaknya lebih mendahulukan lapangan basket indoor.

Karena malas, Quin dan Meta nitip dibelikan makanan oleh Nisa. Di kantin, Nisa bertemu dengan Dima yang tidak peduli kalau harus makan sambil basah-basahan.

“Nis!” Dima memanggil Nisa untuk duduk di sebelahnya.

Nisa cuek, berdiri menunggu makanan pesanannya di sebelah display makanan.

Dima akhirnya berdiri menghampiri Nisa.

Nisa gugup, takut ditanyai soal buku catatan puisinya, malah keceplosan, “Bukunya udah ketemu?”

“Hah?” tanya Dima heran. Kenapa Nisa tiba-tiba tanya buku, padahal Dima mau bertanya soal kenapa Quin tidak bikin video bernyanyi lagi.

“Eh, elu mau nanya apaan emangnya?”tanya Nisa gugup karena sadar kalau sepertinya dia salah mengira.

“Elu tau buku gue ilang?”

“Tau lah, kan elu kemaren teriak-teriak, nyariin.”

“Iya sih. Tapi ternyata ada di laci.”

“Oh.”

Dima terdiam sejenak.

“Tadi elu mau tanya apa?” tanya Nisa.

“Kenapa Quin nggak update lagi nyanyi di youtubenya?”

“Emangnya kenapa?”

“Nanya aja.”

“Tanya aja sama orangnya.”

“Ah tau ah,” Dima pergi meninggalkan Nisa yang menyesal tidak menjawab langsung pertanyaan Dima. 

Nisa tahu sebetulnya Quin sudah tidak mau bernyanyi lagi. Quin bahkan menghindari ajakan bernyanyi oleh beberapa youtuber yang mau collab. Nisa tahu kalau sejak neneknya meninggal, Quin jadi sedih dan tidak mau lagi bernyanyi, kecuali acara sekolahan.

Hujan awet menyirami bunga di halaman sekolah. Murid yang pulang jalan kaki atau ojol terpaksa menunggu sampai benar-benar reda. Quin, Nisa, Meta, Dima, dan Randi masih di dalam kelas.

“Quin, elu nggak ikut You Are My Idol?”tanya Meta memecah keheningan, secara tiba-tiba.

Nisa memberikan kode mata ke Meta, harusnya tidak tanya soal bernyanyi ke Quin. 

Meta malah tampak heran, “Mata elu kenapa, Nis?”

Nisa menghela napas, lalu membuang muka.

“Quin, nggak ikutan?” tanya Meta lagi. Penasaran. Meta dan murid-murid lain sebetulnya tahu kalau Quin bisa dengan mudah menjadi penyanyi. Setidaknya akan setara dengan Bernadya, hanya saja jauh lebih muda.

“Nggak.”

“Kenapa?” tanya Randi.

“Quin nggak mau nyanyi di panggung lagi sejak neneknya meninggal,” jawab Nisa.

“Udah lah, nggak usah dibahas,” jelas Quin lalu bangkit mengambil tas dan pergi berdiri di depan pintu. 

Dima memperhatikan dan jadi bertanya-tanya sendiri. Apa jadinya kalau Quin lolos audisi dan tahu bahwa dia yang mendaftarkannya.

Bersambung.

1
Leni Manzila
hhhh cinta rangga
queen Bima
mantep sih
imaji fiksi: makasih udah mampir. aku jadi semangat nulisnya.🥹
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!