NovelToon NovelToon
BALAS DENDAM RATU MAFIA

BALAS DENDAM RATU MAFIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Kantor / Identitas Tersembunyi / CEO / Bullying dan Balas Dendam / Mafia / Balas dendam pengganti
Popularitas:6.7k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Ketika Violetta Quinn, saudari kembar yang lembut dan penurut, ditemukan tak sadarkan diri akibat percobaan bunuh diri, Victoria Thompson tak bisa menerima kenyataan itu begitu saja. Tidak ada yang tahu alasan di balik keputusasaan Violetta, hanya satu kenangan samar dari sang ibu: malam sebelum tragedi, Violetta pulang kerja sambil menangis dan berkata bahwa ia 'Tidak sanggup lagi'.

Didorong rasa bersalah dan amarah, Victoria memutuskan untuk menyamar menggantikan Violetta di tempat kerjanya. Namun pencarian kebenaran itu justru membawanya ke dalam dunia gelap yang selama ini Victoria pimpin sendiri; Black Viper. Jaringan mafia yang terkenal kejam.

Di sanalah Victoria berhadapan dengan Julius Lemington, pemilik perusahaan yang ternyata klien tetap sindikat Victoria. Tapi ketika Julius mulai mencurigai identitas Victoria, permainan berbahaya pun dimulai.

Victoria masuk dalam obsesi Julius.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21. BERTEMU

Ruang kerja DeLuca mulai sepi menjelang sore. Suara printer, ketikan, dan obrolan yang tadinya ramai kini hanya tinggal gema samar yang berbaur dengan dengung mesin pendingin udara.

Victoria duduk di ruang Julius dengan tatapan kosong ke layar CCTV yang baru saja mati. Ia baru bisa bernapas lega setelah memastikan Sean Headly telah meninggalkan gedung.

Namun sesuatu terus mengganggu pikirannya, gerakan kecil Sean tadi, ketika pria itu berhenti sejenak di meja Violetta.

Victoria memutar kembali rekaman CCTV, memerbesar gambar, dan di sana, pada detik ke-24 dari menit terakhir Sean di ruangan marketing, tangan pria itu menyelipkan selembar kertas di bawah keyboard.

Hening.

Jantung Victoria berdetak kencang.

"Julius ...," suaranya serak. "Dia menaruh sesuatu."

Julius menoleh dari kursinya, mendekat ke layar. Ia memerhatikan gerakan Sean dalam rekaman jelas, pasti, dan dengan kesengajaan yang dingin.

"Kau yakin dia tahu kau yang di sini, bukan Violetta?" tanya Victoria

Victoria mematikan layar.

"Aku yakin," jawab Julius datar. "Sean tidak pernah melakukan sesuatu tanpa makna. Setiap langkahnya selalu beralasan."

Julius menghela napas panjang, lalu menatap Victoria serius.

"Kalau begitu, pergilah lihat sendiri. Tapi hati-hati. Jangan panik di depan siapa pun. Bawa ekspresi Violetta, bukan Victoria," kata Julius.

Victoria berdiri, merapikan rambut, meraih berkas di meja agar terlihat seperti akan kembali bekerja.

"Aku tahu apa yang harus kulakukan," ujar Victoria.

Victoria meninggalkan ruangan Julius dengan langkah mantap. Namun di balik ketenangannya, hatinya berdebar tanpa kendali. Tangannya dingin. Pikirannya berputar antara ketakutan dan kemarahan.

Sean Headly.

Nama itu masih menjadi duri di pikiran Victoria. Dulu, hanya menyebutnya saja sudah cukup membuat Victoria ingin muntah, pria yang bisa memanipulasi siapa pun tanpa meninggalkan jejak.

Saat tiba di ruangan marketing, suasana sepi. Beberapa karyawan melakukan kerja lapangan seperti jadwal, bahkan Kelly.

Cahaya matahari menembus jendela, menciptakan bayangan panjang di lantai dan meja.

Meja Violetta tampak bersih, kecuali keyboard yang sedikit bergeser. Victoria menatapnya lama, memastikan tak ada seorang pun di sekitar, lalu menarik napas panjang dan mengangkat keyboard itu.

Dan di bawahnya, selembar kertas putih terlipat rapi. Tangan Victoria sedikit gemetar ketika ia mengambilnya. Ia membukanya pelan.

Tulisan tangan halus namun tegas, aroma tinta segar, dan kalimat yang membuat jantungnya nyaris berhenti.

Hallo Victoria, My Love.

Kau selalu bisa menyamar dengan baik, tapi tidak pernah bisa menipuku. Aku tahu siapa yang duduk di kursi ini hari ini, bukan saudari kembarmu.

Temui aku malam ini di tempat yang tertulis di bawah, atau aku akan menyapa 'Violetta' secara langsung.

Kau tahu aku tidak suka menunggu.

- Sean.

Dan di bagian bawah kertas, tercantum alamat sebuah cafe kecil di pusat kota.

Darah Victoria seakan berhenti mengalir. Kakinya lemas. Kertas itu bergetar di tangannya, dan matanya menatap kosong ke arah layar komputer di depannya.

"Dia tahu," guman Victoria. "Dia tahu semua."

Jika Sean benar-benar tahu bahwa Violetta sedang koma, maka ancamannya bukan sekadar kata-kata. Sean bisa saja berbuat sesuatu yang tak terbayangkan.

Victoria buru-buru melipat kertas itu dan menyelipkannya ke dalam buku catatan. Ia menatap sekitar, memastikan tak ada yang memperhatikannya, lalu memaksakan diri untuk duduk dan menatap layar komputer seolah sedang bekerja.

Tapi pikirannya kacau.

Tangannya mengetik tanpa makna, matanya hanya terpaku pada jam di dinding yang berdetak pelan menuju pukul enam sore.

Setiap detik terasa menyesakkan.

Victoria mencoba bernapas teratur, mencoba menenangkan diri seperti yang diajarkan Julius. Tapi kali ini, ketenangan sulit didapatkan.

Sean bukan orang biasa. Ia tahu kelemahan setiap orang, dan kini, ia memegang kelemahan terbesar Victoria: Violetta.

Ketika jam pulang tiba, Victoria merapikan mejanya dengan cepat, mengambil tas, dan melangkah ke arah lift. Jantungnya berdegup kencang.

Di dalam lift, ia menatap bayangannya di cermin logam: wajah Violetta, lembut, rapuh, polos. Tapi di baliknya, mata Victoria menyala dengan ketegangan.

"Aku tidak bisa membiarkan dia menyentuh Violetta lagi," ucap Victoria berkali-kali.

Begitu lift terbuka di basement parkir, Victoria berjalan cepat menuju mobilnya. Namun sebelum ia sempat membuka pintu, sebuah tangan menariknya ke sudut gelap, ke titik buta CCTV.

"Victoria," suara itu berat dan tegas.

Victoria tersentak. Tubuhnya refleks hendak menepis, tapi saat melihat wajah di hadapannya, ia terdiam.

"Julius?! Apa yang-"

"Tenang dulu," potong Julius, menatapnya tajam. "Kau tidak bisa pergi sendirian malam ini."

Victoria memicingkan mata. "Kau mengikutiku? Kau tahu aku akan kemana?"

"Tentu saja," jawab Julius datar. "Aku tahu kau akan mencoba menemui Sean. Dan aku tidak akan membiarkanmu menghadapi dia sendirian."

Victoria menghela napas kesal. "Julius, dia mengancamku! Dia bilang kalau aku tidak datang, dia akan menyapa 'Violetta'. Dan kau tahu maksudnya apa itu!"

Julius memegang bahu sang gadis.

"Aku tahu. Tapi kalau kau datang dengan panik, dia akan menang. Sean bukan orang yang bisa diperlakukan dengan emosi. Dia akan mencium ketakutanmu," Julius mengingatkan.

Victoria menatap Julius dalam diam. "Jadi apa yang harus kulakukan?"

Julius menatapnya dalam. "Datang. Tapi kendalikan permainanmu. Jangan biarkan dia memimpin percakapan. Buat dia percaya kau masih punya kendali, meski sebenarnya tidak."

Victoria mengernyit. "Dan kalau dia benar-benar tahu soal Violetta?"

"Maka kita akan memastikan dia tidak bisa menyentuhnya. Aku akan menghubungi ayahmu untuk memberikan penjagaan untuk Violetta," Julius menjawab tenang, tapi ada bara di matanya. "Aku akan berjaga. Aku akan ada di dekat cafe itu, memantau dari jauh. Jika dia mencoba menyentuhmu, aku yang turun tangan."

Victoria menatapnya lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan.

"Baik. Tapi jangan ikut campur kalau tidak perlu. Dia belum tahu kalau kita berhubungan," kata Victoria.

"Baik," Julius mengangguk. "Tapi jangan lupa, Victoria, kau bukan korban. Kau dalang dari permainanmu sendiri. Jangan biarkan trauma membuatmu lupa siapa dirimu."

Kata-kata itu menenangkan Victoria. Ia menarik napas panjang, menatap Julius dengan sorot mata yang mulai tenang.

"Terima kasih," ucap Victoria jauh lebih tenang.

"Aku tidak melindungimu," Julius berkata, setengah tersenyum. "Aku hanya menikmati drama ini bersamamu."

Victoria menatapnya kesal, tapi tak menjawab, tahu kalau pria itu mencoba mencairkan suasana. Ia masuk ke mobilnya dan menyalakan mesin. Di kaca spion, ia sempat melihat Julius berjalan perlahan ke mobil hitamnya, beberapa meter di belakang.

Perjalanan menuju cafe terasa panjang dan berat. Lampu kota menyala satu per satu, bayangan gedung menari di kaca mobil. Victoria menggenggam setir erat, pikirannya penuh oleh kenangan kelam bersama Sean, suaranya yang dingin, tatapan matanya yang tajam, dan cara pria itu selalu tahu lebih banyak dari siapa pun.

Setiap kenangan itu membuat napasnya sesak. Tapi ia tak bisa mundur sekarang.

Jika Sean tahu tentang Violetta, maka ia harus berhadapan dengan Victoria langsung.

Cafe itu kecil, elegan, dengan jendela besar menghadap jalan. Lampu-lampunya temaram, aroma kopi bercampur hujan yang baru saja turun.

Dan di sana, di meja paling ujung, dekat jendela, Sean Headly duduk dengan tenang.

Tangan kirinya memegang cangkir kopi, matanya menatap ke arah pintu dengan senyum yang terlalu santai untuk disebut tulus.

Victoria berhenti sejenak di depan pintu. Ia menarik napas panjang, menyesuaikan wajahnya menjadi 'Violetta': lembut, tenang, sedikit gugup.

Namun ketika langkahnya masuk ke dalam cafe, Sean sudah menatapnya, seolah pria itu sudah tahu jam berapa Victoria akan tiba.

"Kau datang juga," katanya pelan, dengan nada setengah memuji. "Aku hampir mengira kau akan mengabaikanku seperti dulu."

Victoria menahan diri agar ekspresinya tidak berubah. Ia duduk perlahan di kursi di seberang Sean.

"Kau selalu tahu caranya memaksa orang datang, Sean," tukas Victoria.

Sean tertawa kecil, suaranya ringan namun mengandung racun. "Aku hanya ingin bicara. Kau tahu, kita punya banyak hal yang belum selesai, bukan?"

Victoria menatapnya tanpa suara. Matanya tajam, tapi suaranya lembut. "Aku tidak ingin membicarakan masa lalu."

Sean menyandarkan diri, menatap Victoria dengan senyum samar. "Sayang sekali. Karena masa lalumu adalah alasan aku di sini, Victoria."

Nama itu keluar dari mulut Sean dengan nada lembut tapi menusuk. Victoria menahan napas.

"Jangan pura-pura, aku tidak tertarik dengan sandiwara 'Violetta'-mu," lanjut Sean. "Kau bisa menipu semua orang, tapi tidak aku. Aku tahu siapa yang duduk di depanku ini."

Hening.

Hanya suara tetes hujan di luar yang memecah kesunyian di antara mereka.

Victoria menggenggam tangannya di bawah meja.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Victoria akhirnya.

Sean menatapnya lama, matanya berkilat. "Aku ingin kau berhenti bermain di tempat yang seharusnya bukan milikmu. DeLuca, Lemington, semua ini ... permainan yang terlalu berbahaya untuk seorang Victoria yang emosional."

Victoria menatap balik dengan dingin. "Dan kalau aku menolak?"

Sean tersenyum, tapi sorot matanya gelap.

"Maka aku akan menemui Violetta. Aku yakin kau tidak mau itu terjadi, bukan?" ujar Sean yang adalah ancaman tak langsung.

Dunia seakan berhenti. Napas Victoria tercekat. Tapi ia tahu, menunjukkan rasa takut hanya akan membuat Sean menang. Ia menatap Sean lurus, senyum tipis di bibirnya.

"Kau tidak akan menyentuhnya," kata Victoria.

"Aku tidak perlu menyentuhnya," Sean menjawab lembut. "Aku hanya perlu berbicara. Kau tahu, rahasia kecil sepertimu bisa jadi sangat berharga jika dibocorkan pada orang yang tepat."

Victoria menunduk sejenak, menarik napas dalam, lalu menatap Sean lagi, kali ini dengan ketenangan mematikan.

"Kalau begitu, katakan padaku apa yang kau inginkan, Sean. Jangan buang waktuku dengan ancaman," tantang Victoria.

Sean menatapnya dalam diam. Tatapan itu lama, menelusuri setiap garis wajah Victoria, seolah mencoba membaca pikirannya.

"Kau masih seperti dulu," katanya akhirnya. "Selalu keras kepala, selalu berpura-pura kuat."

"Dan kau masih sama," balas Victoria. "Selalu menikmati rasa takut orang lain."

Sean tertawa pelan. "Mungkin itu sebabnya aku masih mengingatmu, Victoria. Kau satu-satunya yang tidak berlutut saat semua orang melakukannya."

Victoria menatapnya tanpa ekspresi. Tapi di balik ketenangannya, jantungnya berdetak kencang. "Aku tidak datang untuk bernostalgia. Katakan saja kenapa kau di DeLuca."

Sean bersandar, mengaduk kopinya perlahan.

"Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Bahwa permainan yang kau mainkan tidak mengancam Lemington. Karena kalau iya ...."

Sean menatap Victoria tajam.

"... aku akan menghancurkannya."

Hening panjang membentang di antara mereka.

Victoria tidak menjawab. Ia hanya menatap Sean, menyembunyikan kemarahan yang bergolak di dadanya.

Di luar, hujan semakin deras.

Dan di seberang jalan, Julius yang duduk di dalam mobil hitamnya memerhatikan dari kejauhan, matanya tak lepas dari bayangan Victoria di balik kaca cafe

Badai itu baru saja dimulai.

1
Miss Typo
awas Julius nanti ditelan Victoria hidup² 🤣
makin seru Victoria luar biasa mendalami peran nya hehe
semoga rencana Julius dan Victoria berhasil
Miss Typo
semangat Victoria kamu pasti bisa 💪
semangat juga thor 💪
Archiemorarty: Siapp 🥰
total 1 replies
Miss Typo
good Victoria
Miss Typo
bisakah Victoria bebas dari Sean yg gila itu, dan kapan waktunya kalau menang bisa?
Sean obsesi bgt ke Victoria
Ima Ima wulandari
Bagus banget
Archiemorarty: Terima kasih udah baca ceritanya kak 🥰
total 1 replies
Jelita S
wah ternyata Victoria lebih licin dari belut y thor🤣🤣🤣🤣🤣
Archiemorarty: Ohh...tentu 🤭
total 1 replies
PengGeng EN SifHa
Q bacanya kok nyesek sampek ulu hati thooorr...

boleh nggak sih ku gempur itu retina si sean thooorr ??😡😡😡😡
Archiemorarty: Silahkan silahkan 🤣
total 1 replies
Jelita S
lnjut thor
Archiemorarty: Siap kakak 🥰
total 1 replies
Miss Typo
hemm semuanya akan berakhir
LB
pada akhirnya mereka tetap lebih bodoh dibandingkan sikopet 😮‍💨
Archiemorarty: Hahahaha...
total 1 replies
Pawon Ana
kenapa para psikopat diberi otak genius sih...🤔😔
Archiemorarty: Karena dia jenius itu makanya jadi sikopet karena gx sesuai kehendak dia jadi cari cara biar bisa sesuai 😌
total 1 replies
Pawon Ana
percayalah jika kau masih bisa bersikap tenang dan berfikir bijak saat berhadapan dengan sumber trauma, itu luar biasa ✌️💪
Archiemorarty: Benarr setujuu 🤭
total 1 replies
Jelita S
lnjut thor😍😍
Archiemorarty: Siap kakak
total 1 replies
Miss Typo
badai baru di mulai dan kapan ya
badai pasti berlalu
Miss Typo
gmn cara menyingkirkan Sean? dan pasti tidak akan mudah dan Victoria semoga kamu bisa menghadapi Sean bersama Julius
Miss Typo: semangat
total 2 replies
Miss Typo
Victoria semangat-semangatnya balas perbuatan Kelly, eh orang yg membuatnya trauma muncul.
semangat Vivi, pelan-pelan pasti kamu bisa .
Julius selalu bantu Vivi biar dia kuat dan bisa menghadapi semuanya
Miss Typo: cemangat juga buat othor 💪
total 2 replies
Pawon Ana
hal yang sulit adalah ketika bertemu dengan seorang atau sesuatu yang pernah menjadi trauma
Archiemorarty: Bener itu...😌
total 6 replies
Jelita S
good job victoria🤣
Deyuni12
misi berlanjuuut
Pawon Ana
ini masih jauh dari jalan untuk menjangkau Sean 😔
Archiemorarty: Ndak juga 🤭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!