NovelToon NovelToon
The Thousand Faces Of The Demon Sage

The Thousand Faces Of The Demon Sage

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Action / Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:498
Nilai: 5
Nama Author: Demon Heart Sage

Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 — Pelajaran dari Kekalahan

Langit masih kelabu ketika hujan berhenti. Butiran air menetes dari ujung genting, jatuh satu per satu ke tanah yang berlumpur, memantulkan bayangan lembut dari sinar pagi yang enggan muncul sepenuhnya. Di depan aula utama Sekte Langit Tenang, Shen Wuyan duduk bersila, tanpa jubah luar, hanya mengenakan pakaian dalam latihan yang sudah basah sebagian oleh embun dan darah kering.

Ia tak mengingat bagaimana pertarungan itu berakhir. Yang ia ingat hanyalah kilatan mata makhluk itu—atau mungkin wajah Liang Yu—sebelum kabut jiwa memudar dan darah menguap di udara. Sejak saat itu, setiap kali ia memejamkan mata, ia selalu melihat tatapan itu, dingin, menyalahkan, seolah menembus dinding pikirannya sendiri.

Suara rintik terakhir hujan jatuh di atap bambu, pelan tapi berirama, menenangkan bagi sebagian orang, namun bagi Wuyan, suara itu justru terdengar seperti gema napas seseorang yang tak lagi hidup.

Ia menatap tanah, diam.

“Jadi ini kekuatan yang kuinginkan,” gumamnya pelan. “Tapi kenapa terasa seperti kutukan?”

Dari dalam aula, suara langkah pelan bergema. Pintu berat dari kayu tua bergeser terbuka, dan cahaya lilin dari dalam menyorot sosok Elder Ming Zhao. Wajah tua itu tampak lebih suram dari biasanya, garis-garis di dahi semakin dalam, matanya menatap Wuyan dengan ekspresi yang sulit dijelaskan — bukan marah, bukan kecewa, tapi seperti seseorang yang baru saja melihat sesuatu yang seharusnya tak pernah ada.

“Masuklah,” katanya pendek.

Wuyan menunduk dan melangkah masuk. Aroma dupa menyambutnya, menenangkan tapi juga menyesakkan dada. Aula meditasi itu gelap, hanya diterangi belasan lilin yang meneteskan cahaya lembut di dinding batu. Di tengah ruangan, di atas alas batu, terdapat lingkaran simbol kuno — lambang Hun dan Po — dua sisi jiwa yang harus dijaga seimbang oleh setiap murid sekte.

Wuyan berhenti di tepi lingkaran itu. “Guru,” katanya, suaranya serak.

Elder Ming Zhao tidak langsung menjawab. Ia menatap ke arah simbol itu, lalu berkata, “Aku sudah melihat luka di tubuhmu. Tapi luka di tubuh bisa sembuh. Yang kupikirkan sekarang adalah luka di dalam jiwamu.”

Wuyan menegakkan tubuhnya, menahan rasa canggung yang tumbuh di tenggorokan. “Aku hanya berusaha melindungi sekte.”

“Dan kau menggunakan kekuatan yang bukan milikmu,” potong Elder Ming Zhao tanpa menaikkan suara. “Hun–Po Refinement bukan sekadar alat untuk memperkuat roh, Wuyan. Ia adalah jalan menuju keseimbangan. Kau melangkah terlalu jauh, terlalu cepat.”

Sunyi. Hanya suara hujan dari luar yang menyelinap masuk, menetes perlahan ke lantai batu.

Wuyan mengepalkan tangannya. “Jika aku tak menggunakan kekuatan itu, aku sudah mati. Atau lebih buruk—murid lain akan mati.”

Ming Zhao menatapnya lama, lalu berjalan mendekat. “Dan apakah itu membuatmu tenang?” tanyanya lirih. “Apakah membunuh dengan kekuatan orang lain membebaskanmu dari tanggung jawab? Atau justru menambah beban yang tak akan bisa kau tanggung?”

Pertanyaan itu membuat napas Wuyan tercekat. Ia mencoba menjawab, tapi kata-kata seolah tersangkut di tenggorokan.

Yang muncul di pikirannya hanya darah. Wajah Liang Yu. Tatapan itu lagi.

“Guru,” ucapnya pelan, “jika aku kehilangan kendali... apakah itu tetap salahku?”

Ming Zhao menatapnya, lalu duduk di hadapan Wuyan. Cahaya lilin bergetar di antara mereka, memantulkan dua wajah — satu tua dan tenang, satu muda tapi penuh luka batin.

“Keputusan untuk kehilangan kendali adalah keputusan yang tak disadari, tapi tetap keputusan,” kata Ming Zhao tenang. “Kau tidak bersalah karena membunuh, tapi kau bersalah karena membiarkan dirimu diambil alih. Penolakan terhadap sisi Po dalam dirimu membuatnya mencari jalan keluar.”

Wuyan menunduk. Urat di tangannya menegang. “Po... sisi naluriku... kau ingin aku menerimanya?”

“Tidak,” jawab Ming Zhao. “Aku ingin kau mengenalinya. Karena jika kau tak mengenalnya, ia akan mengenalimu lebih dulu.”

Ucapan itu menggema lama dalam kepala Wuyan. Di balik kata-kata itu ada ancaman, tapi juga kebenaran yang tak bisa ia tolak. Ia teringat bagaimana, di tengah pertempuran, kekuatannya meledak seolah ada yang menarik dari dalam tubuhnya — bukan ia yang mengendalikan, tapi sesuatu yang lain yang meminjam tubuhnya untuk bertarung.

Sesuatu yang memiliki ingatan, rasa amarah, dan kesedihan.

Sesuatu yang memanggil namanya dari dalam kabut.

Ia menggigit bibirnya sendiri. “Aku... mendengarnya,” katanya akhirnya. “Suaranya. Ia memanggilku. Kadang aku merasa itu Liang Yu. Kadang aku merasa itu diriku sendiri.”

Elder Ming Zhao menutup mata sejenak. “Maka dengarkan baik-baik. Jiwa yang retak tidak selalu berarti kehancuran, tapi jika serpihan itu dibiarkan tanpa arah, mereka akan mencari tuan baru. Dan jika kau tidak memimpin mereka, mereka akan memimpinmu.”

Kata-kata itu masuk seperti pisau. Dingin. Tajam.

Wuyan menatap ke bawah. Suara detak jantungnya berpadu dengan ritme tetes hujan di luar.

“Apakah aku masih bisa diselamatkan?” tanyanya.

Ming Zhao membuka mata. Pandangannya tajam namun tenang. “Jiwa bukan sesuatu yang diselamatkan, Shen Wuyan. Ia sesuatu yang harus kau bentuk kembali dengan kesadaranmu sendiri. Tapi aku tak yakin kau siap melakukannya.”

Kata terakhir itu menusuk lebih dalam dari teguran mana pun.

Wuyan berdiri perlahan. “Kalau begitu... biarkan aku mencoba.”

Ming Zhao menghela napas panjang. “Cobalah. Tapi ingat, setiap kali kau melawan bagian dirimu sendiri, kau memperkuatnya.”

Wuyan tidak menjawab. Ia membungkuk hormat, lalu berjalan keluar dari aula dengan langkah berat. Saat pintu tertutup di belakangnya, cahaya lilin di dalam bergoyang, seolah ikut menahan napas.

Di luar, langit masih kelabu. Udara lembap menyelimuti sekte seperti kabut tipis. Wuyan berjalan tanpa tujuan, melewati jalan berbatu yang masih licin oleh hujan. Setiap langkah terasa seperti gema kesalahan yang tak bisa diperbaiki.

Di kepalanya, suara Liang Yu terdengar lagi — lembut, tapi getir.

“Kau tak tahu rasanya menjadi bagian dari seseorang yang tak mengenal dirinya sendiri.”

Tubuh Wuyan menegang. Ia berhenti di tepi tebing, menatap lembah yang diselimuti kabut.

Angin dingin meniup rambutnya, membawa aroma tanah basah dan darah lama.

“Diam,” bisiknya. Tapi suaranya sendiri terdengar ragu.

Bayangan di tanah bergerak sedikit tertinggal dari tubuhnya, mengikuti tapi tidak sepenuhnya serempak. Wuyan melihatnya sekilas, lalu berpaling.

Namun dari sudut mata, ia tahu — bayangan itu tersenyum.

Malam datang perlahan, seperti kabut yang turun tanpa suara. Sekte Langit Tenang tertidur di bawah sisa-sisa hujan. Cahaya bulan setengah tertutup awan, hanya memantulkan kilau samar di atas genting basah dan pepohonan lembap. Di kamar kecil di lereng timur, Shen Wuyan duduk di atas tikar jerami, berusaha bermeditasi untuk pertama kalinya setelah pertempuran.

Hening. Tapi bukan ketenangan.

Hening yang penuh suara tak kasatmata — bisikan samar, nafas asing, gema langkah yang tak ada wujudnya.

Ia menutup mata, menenangkan napasnya. “Hun dan Po... dua sisi, satu kesadaran,” ia mengulang seperti mantra yang diajarkan gurunya. Tapi di setiap jeda antara napas masuk dan keluar, ada sesuatu yang ikut berbisik: “Dua sisi? Kau bahkan tak tahu mana sisi yang masih hidup.”

Bahunya menegang. Ia tahu itu bukan pikirannya sendiri.

Udara di dalam kamar terasa berat. Suara hujan yang menetes dari atap menandai waktu perlahan, sementara dupa di sudut ruangan membentuk jejak asap seperti benang perak yang menari di udara. Wuyan memusatkan kesadarannya ke dalam — ke laut jiwanya.

Namun malam ini, laut itu berbeda.

Biasanya, lautan jiwanya berwarna perak lembut, tenang, berkilau seperti cermin yang memantulkan pikirannya sendiri. Sekarang... gelap. Hitam pekat, dengan pusaran samar di tengahnya, berdenyut seolah bernapas.

Ia berdiri di atas permukaan itu, atau mungkin hanya kesadarannya yang berdiri. Di sekitarnya, wajah-wajah samar mulai muncul dari permukaan air — wajah dirinya sendiri, wajah Liang Yu, dan entah siapa lagi. Semua menatapnya, tanpa suara, tanpa ekspresi, tapi dengan mata yang sama: kosong, haus, dan mengenalinya terlalu dalam.

Wuyan menarik napas dalam. “Aku datang untuk menenangkan kalian.”

Suara tawa kecil menjawabnya — rendah, menyeret, dan berasal dari segala arah. Dari balik bayangan, seseorang berjalan keluar. Sosok itu memiliki bentuk tubuhnya sendiri, tapi dengan mata gelap, bibir pucat, dan senyum tipis yang menirukan setiap gerakan Wuyan.

“Tenangkan kami?” Bayangan itu menunduk sedikit, suaranya menyerupai dengung di dalam kepala. “Kau bahkan tak bisa menenangkan dirimu sendiri.”

Wuyan mundur setengah langkah. “Aku tak ingin melawanmu.”

“Lucu,” jawab bayangan itu. “Padahal selama ini, yang kau lakukan hanyalah melawanku. Kau menolak wajahmu sendiri. Kau menolak sisi Po-mu. Tapi kau juga memakainya untuk bertahan hidup.”

Wuyan terdiam. Ia tahu bayangan itu benar.

Ketika pertarungan melawan monster itu terjadi, ia memang tak sempat berpikir — semua bergerak begitu cepat. Tapi bagian dari dirinya menikmati kekuatan itu. Bagian dari dirinya merasa hidup ketika darah mengalir dan dunia menjadi sunyi selain suara napasnya sendiri.

Bayangan itu mendekat. Setiap langkahnya menimbulkan riak di air perak, tapi riak itu tidak memantul, melainkan menelan cahaya di sekitarnya.

“Elder Ming Zhao memintamu menjaga keseimbangan,” katanya lirih. “Tapi apa yang terjadi jika keseimbangan itu sendiri sudah rusak sejak awal? Jika kau diciptakan dari pecahan yang tak pernah utuh?”

Wuyan mengepalkan tangan. “Aku tidak rusak.”

“Tentu,” jawab bayangan itu lembut, menyeringai. “Itu yang selalu dikatakan oleh mereka yang sedang retak.”

Kata-kata itu menggema panjang, lalu lenyap ditelan hening.

Laut perak mulai bergetar, dan dari dalamnya muncul wajah pertama — Liang Yu — tubuhnya hanya sebatas dada, matanya kosong tapi bibirnya bergerak pelan. “Wuyan...” suaranya serak, “kau tidak menyelamatkanku. Kau hanya mengambilku.”

Tubuh Wuyan kaku. “Tidak! Aku hanya—aku ingin...”

Liang Yu menggeleng pelan. “Kau ingin menjadi lebih kuat. Itu saja. Dan sekarang aku hidup di antara serpihan jiwamu, terjebak di antara Hun dan Po. Rasakan apa yang kurasakan, Wuyan. Mati tapi tetap ada.”

Permukaan laut mulai berwarna merah. Aroma besi memenuhi udara. Bayangan di sisi lain menatapnya puas. “Inilah harga kekuatanmu. Hun yang retak, Po yang haus. Tak ada keseimbangan, hanya penyangkalan.”

Wuyan berteriak, tapi suara itu tak terdengar di luar pikirannya.

Ia merasakan dadanya sesak, seperti ditarik dari dua arah: satu ingin membebaskan, satu ingin menelan. Di antara mereka, kesadarannya terbelah — antara rasa bersalah dan rasa lapar akan kekuatan yang sama.

Ia berlutut di permukaan air yang kini berubah menjadi darah.

“Kalau memang aku bersalah,” katanya dengan suara gemetar, “biarkan aku menebusnya. Tapi jangan ambil diriku sepenuhnya.”

Bayangan mendekat, menatapnya dari jarak dekat, begitu dekat hingga Wuyan bisa melihat dirinya sendiri di mata hitam itu.

“Aku tidak perlu mengambilmu,” bisiknya. “Aku hanya akan menunggumu menyerah.”

Lalu segalanya runtuh.

Cahaya hilang. Lautan jiwanya lenyap. Hanya tersisa gelap, napas, dan suara hujan.

Ketika Wuyan membuka mata, ia sudah kembali di kamarnya. Dupa hampir habis terbakar, lilin bergetar lemah, dan tubuhnya basah oleh keringat. Nafasnya terengah, tapi yang paling membuatnya takut bukan itu — melainkan bayangannya di lantai.

Bayangan itu bergerak sedikit lebih lambat darinya.

Ketika ia menoleh, bayangan itu belum menoleh. Ketika ia mengangkat tangan, bayangan itu diam sesaat sebelum meniru.

Dan ketika ia akhirnya berhenti bergerak, bayangan itu tersenyum.

“Semakin kau menolak,” bisik suara di telinganya, lembut tapi menusuk, “semakin aku mengambil alih.”

Wuyan menatap lurus ke depan, mata melebar, tapi tubuhnya tak bergerak. Suara hujan di luar kembali terdengar, tapi kini terdengar seperti bisikan ribuan jiwa di kejauhan. Ia tak tahu apakah ia masih sepenuhnya sadar... atau hanya menjadi penonton dalam tubuhnya sendiri.

Angin malam masuk melalui celah jendela, meniup sisa asap dupa yang membentuk garis tipis di udara. Di antara gelap dan cahaya lilin, wajahnya terlihat tenang — tapi di matanya, ada dua pantulan berbeda: satu milik Shen Wuyan, satu lagi milik sesuatu yang menunggu di balik dirinya.

Dan di bawah napas terakhirnya malam itu, sebuah suara samar terdengar lagi, nyaris seperti lirih kasih sayang tapi dingin seperti pisau:

“Kau belum tahu apa itu kehilangan.”

Lilinnya padam.

Dan malam di Sekte Langit Tenang menjadi lebih sunyi dari sebelumnya.

1
knovitriana
update Thor, jangan lupa mampir
knovitriana
keren Thor, jangan lupa mampir 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!