Alisya, seorang gadis muda yang lulus dari SMA, memiliki impian untuk melanjutkan kuliah dan menjadi desainer. Namun, karena keterbatasan ekonomi keluarganya, ia harus bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah keluarga kaya. Di sana, ia bertemu dengan Xavier, anak majikannya yang tampan dan berkarisma. Xavier memiliki tunangan, namun ia jatuh cinta dengan Alisya karena kepribadian dan kebaikan hatinya.
Alisya berusaha menolak perasaan Xavier, namun Xavier tidak menyerah. Orang tua Xavier menyukai Alisya dan ingin agar Alisya menjadi menantu mereka. Namun, perbedaan status sosial dan reaksi orang tua Alisya menjadi tantangan bagi keduanya.
lalu bagaimana dengan tunangannya Xavier ?
apakah Alisya menerima Xavier setelah mengetahui ia mempunyai tunangan?
bagaimanakah kisah cinta mereka saksikan selanjutnya hanya disini.
setiap masukan serta kritik menjadi motivasi bagi author kedepannya.
Author ucapkan Terimakasih bagi yang suka sama ceritanya silahkan berikan like dan komen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kania zaqila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Alisya dan Xavier Menikah
Alisya merasa ada kekosongan yang tiba-tiba menghampiri, seolah-olah kenangan tentang Xavier masih berkeliaran di sekelarnya. Setelah acara "Hari Keluarga" di sekolah Xia, dia semakin sering tersentuh oleh hal-hal kecil yang mengingatkannya pada Xavier. Max, suaminya sekarang, adalah sumber kekuatan dan ketenangannya, tapi ada bagian dari Alisya yang masih merasa seperti sedang menjalani dua kehidupan.
Suatu sore, saat Max membawa anak-anak ke taman, Alisya memutuskan untuk membersihkan lemari Xavier yang sudah lama tidak disentuh. Dia membuka kotak-kotak yang tersimpan, menemukan pakaian-pakaian Xavier, buku catatan, dan sebuah kotak kecil yang belum pernah dilihatnya. Di dalamnya, ada cincin pernikahan Xavier, dan sebuah surat yang ditulis tangan.
"Alisya tersayang,
Jika kamu membaca ini, berarti aku tidak ada di sampingmu lagi. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi aku ingin kamu tahu bahwa setiap detik denganmu adalah kebahagiaan. Kamu adalah cinta sejatiku, dan Xia adalah anugerah yang kita ciptakan bersama.
Teruslah hidup, Alisya. Jangan berhenti mencintai. Aku akan selalu ada, di setiap tawa Xia, di setiap bintang di langit.
Aku cinta kamu, selama-lamanya.
-Xavier"
Alisya merasa napasnya terhenti, air matanya mengalir tanpa suara. Kenangan pernikahan mereka, yang dulu begitu indah, kini terasa seperti pisau yang menusuk lembut. Dia duduk di lantai, memelangi cincin itu, merasakan betapa Xavier pernah ada, tapi tak lagi.
Tiba-tiba, Max masuk ke kamar, melihat Alisya menangis. Dia langsung duduk di sebelahnya, memelangi Alisya dengan lembut.
"Alisya, apa yang terjadi?" tanya Max, suaranya penuh kepedulian.
Alisya menunjukkan surat itu, suaranya bergetar. "Dari Xavier... aku baru menemukannya."
Max membaca surat itu, mata yang empatik. "Alisya, aku ada di sini. Kamu tidak sendirian."
Alisya mengangguk, merasa rasa terima kasih yang besar pada Max. Suaminya yang sekarang, yang telah membantunya melewati kesedihan, yang mencintai Xia seolah anaknya sendiri, dan yang selalu ada untuknya.
"Max, aku... aku kadang merasa aku masih terikat dengan dia," bisik Alisya, suaranya hampir tidak terdengar.
Max memelangi wajah Alisya, tersenyum lembut. "Itu wajar, Alisya. Kamu mencintai dia, dan itu tidak akan pernah hilang. Tapi kita punya sekarang, punya anak-anak, punya kehidupan baru. Aku tidak ingin menggantikan dia, aku ingin berjalan bersamamu."
Alisya tersenyum melalui air mata, memelangi Max. "Aku cinta kamu, Max."
Max membalas pelangan, menarik Alisya dalam pelukan hangat. "Aku juga cinta kamu, Alisya. Selama-lamanya."
Mereka berdiam sejenak, hanya merasakan kehadiran satu sama lain. Xia dan Aran, yang masuk ke kamar, melihat Alisya menangis dan langsung berlari mendekat.
"Mama, kenapa nangis?" tanya Xia, suaranya khawatir.
Alisya tersenyum, memelangi Xia dan Aran. "Mama cuma ingat Ayah Xavier, sayang. Tapi kita bahagia sekarang, kan?"
Xia mengangguk, memelangi Alisya. "Ayah Xavier di langit, Mama. Kita punya Papa Max!"
Max tersenyum, mengangkat Xia dan Aran dalam pelukan. "Kita keluarga, semuanya. Aku, Mama, Xia, Aran... kita abadi."
Sore itu, mereka semua pergi ke taman, bermain, tertawa, dan membakar kenangan baru. Rachel, yang tahu tentang surat itu, mengirim pesan singkat: "Kamu kuat, Alisya. Cinta itu memang abadi."
Alisya tersenyum, menatap Max yang sedang mengayun Aran di atas jungkat-jungkit. Dia tahu, cinta dengan Xavier adalah bagian dari dirinya, tapi dengan Max, dia menemukan lanjutan yang indah.
Malam itu, di bawah bintang-bintang, Max memelangi Alisya.
"Kita akan buat cerita baru, Alisya. Untuk kita, untuk anak-anak."
Alisya tersenyum, merasa damai. "Aku siap, Max."
Dan di langit, seolah ada bintang yang berkelip, membisikkan: cinta yang abadi, terus berlanjut.
Malam itu, setelah anak-anak tidur, Alisya masih duduk di teras, memelangi surat Xavier yang tergenggam di tangannya. Bintang-bintang di langit berkelap-kelip, seperti ribuan mata yang menyaksikan kesedihan dan kenangannya. Max keluar dengan dua cangkir teh hangat, duduk di sebelah Alisya, dan menyodorkan satu cangkir.
"Kamu mau bicara lebih banyak tentang itu?" tanya Max, suaranya lembut, tanpa tekanan.
Alisya menarik napas dalam-dalam, mencoba merapikan pikirannya. "Aku tidak tahu, Max. Aku merasa seperti aku baru benar-benar mengikhlaskan dia, tapi surat ini... membuatku merasa dia masih ada, tapi tak bisa disentuh."
Max memelangi tangan Alisya, memberikan tekanan lembut. "Itu wajar, Alisya. Cinta tidak pernah benar-benar hilang, dia hanya berubah bentuk. Dan kamu, kamu telah membuat bentuk baru itu—dengan kita, dengan Xia dan Aran."
Alisya tersenyum getir, air matanya kembali menetes. "Aku gak tahu bagaimana caranya berhenti merasa bersalah. Aku merasa aku melupakan dia."
Max menarik Alisya ke dalam pelukan, membiarkan dia menangis di bahunya. "Kamu tidak melupakan, Alisya. Kamu menghormati kenangan itu. Dan aku... aku ada di sini untuk membantu kamu menjaganya, dalam cara yang berbeda."
Mereka berdiam sejenak, hanya suara napas dan jangkrik yang mengisi malam. Lalu, Alisya menarik diri, matanya merah tapi lebih tenang.
"Aku ingin melakukan sesuatu," kata Alisya, suaranya lebih tegas. "Aku ingin yayasan kita, 'Cinta untuk Masa Depan', fokus pada anak-anak yang kehilangan orang tua seperti Xia. Bukan hanya bantuan materi, tapi juga dukungan emosional, seperti kenangan yang bisa mereka simpan."
Max tersenyum, mata yang berbinar. "Itu ide yang luar biasa, Alisya. Aku akan bantu kamu mewujudkannya."
Keesokan harinya, Alisya, Max, dan Rachel bertemu di kantor yayasan, membahas rencana baru itu. Rachel, yang sudah lebih tenang setelah terapi, mendengarkan dengan antusias.
"Aku ingin terlibat lebih banyak," kata Rachel, suaranya penuh semangat. "Aku ingin bantu anak-anak itu menceritakan kisah mereka, seperti Xia nanti menceritakan tentang Xavier."
Alisya tersenyum, merasa ada kesembuhan yang mulai terjadi. "Kita akan buat itu jadi nyata, Rachel. Untuk mereka, untuk kita."
Proyek itu mulai berjalan, dengan Alisya yang lebih fokus, Max yang mendukung penuh, dan Rachel yang menemukan tujuan baru. Anak-anak di yayasan mulai membuka hati, berbagi cerita, dan Alisya merasa ada bagian dari Xavier yang tetap hidup melalui mereka.
Satu bulan kemudian, yayasan mengadakan acara "Malam Kenangan" di taman, di mana anak-anak dan keluarga bisa berbagi cerita tentang orang-orang yang mereka cintai. Alisya, dengan Xia di sampingnya, berdiri di depan mikrofon, suaranya bergetar.
"Ini malam untuk mengingat, untuk mencintai, dan untuk terus melangkah. Xavier, suamiku yang pergi terlalu cepat... ini untuk kamu."
Alisya berhenti sejenak, air matanya mengalir, tapi senyumnya muncul. "Dan untuk semua yang pernah kehilangan, kita tidak sendirian. Cinta abadi, itu nyata."
Terdengar tepuk tangan, tangisan, dan suara anak-anak yang bernyanyi lembut. Max memelangi Alisya, Xia memegang tangannya, dan di langit, bintang-bintang seolah bersinar lebih terang.
Malam itu, di rumah, Alisya duduk di kamar Xia, memelangi anaknya yang sudah tidur. Xia menggulung boneka Xavier, tersenyum lembut.
"Ayah Xavier ada di sini, Mama," bisik Xia, mata yang terpejam.
Alisya tersenyum, memelangi Xia. "Iya, sayang. Selalu ada. Dan kita punya Papa Max sekarang."
Xia mengangguk, tertidur. Alisya keluar kamar, ke teras di mana Max menunggu. Mereka duduk berdampingan, menatap bintang.
"Kamu tahu, Max?" kata Alisya, suaranya pelahan. "Aku merasa cinta itu memang abadi. Tapi abadi bukan berarti tidak berubah. Dia berubah menjadi kita, menjadi anak-anak kita."
Max tersenyum, memelangi Alisya. "Aku suka itu. Kita akan terus menulis ceritanya, Alisya."
Dan di malam yang tenang itu, mereka berdua membiarkan cinta mengalir—cinta yang pernah, cinta yang ada, dan cinta yang akan selalu abadi.
boleh mampir juga baca novel baru akuuu yaa🤭😄