NovelToon NovelToon
MANTAN TENTARA BAYARAN: IDENTITAS ASLINYA SEORANG MILIARDER

MANTAN TENTARA BAYARAN: IDENTITAS ASLINYA SEORANG MILIARDER

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Mata-mata/Agen / Trauma masa lalu / Action / Romantis / Crazy Rich/Konglomerat
Popularitas:10.4k
Nilai: 5
Nama Author: BRAXX

Mereka memanggilnya Reaper.

Sebuah nama yang dibisikkan dengan rasa takut di zona perang, pasar gelap, dan lingkaran dunia bawah.

Bagi dunia, dia adalah sosok bayangan—tentara bayaran tanpa wajah yang tidak meninggalkan jejak selain mayat di belakangnya.

Bagi musuh-musuhnya, dia adalah vonis mati.

Bagi saudara seperjuangannya di The Veil, dia adalah keluarga.

Namun bagi dirinya sendiri... dia hanyalah pria yang dihantui masa lalu, mencari kenangan yang dicuri oleh suara tembakan dan asap.

Setelah misi sempurna jauh di Provinsi Timur, Reaper kembali ke markas rahasia di tengah hutan yang telah ia sebut rumah selama enam belas tahun. Namun kemenangan itu tak berlangsung lama. Ayah angkatnya, sang komandan, memberikan perintah yang tak terduga:

“Itu adalah misi terakhirmu.”

Kini, Reaper—nama aslinya James Brooks—harus melangkah keluar dari bayang-bayang perang menuju dunia yang tak pernah ia kenal. Dipandu hanya oleh surat yang telah lusuh, sepotong ingatan yang memudar, dan sua

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

UNDANGAN CALON MERTUA

Matahari pagi menembus jendela kaca universitas. Hari biasa kembali dimulai, perkuliahan berjalan satu demi satu—kata-kata, rumus, dan coretan-coretan di buku catatan.

Saat jam makan siang, kafetaria kampus dipenuhi suara percakapan, baki-baki beradu, dan aroma makanan murah serta kopi dari mesin otomatis.

James masuk, lalu pandangannya berhenti pada sebuah meja di bagian belakang.

“Hai, anak mama... makan apa itu?” sebuah suara keras terdengar mengejek.

Seorang anak laki-laki duduk sendiri sambil memegang kotak makan plastik. Itu Bravy, mahasiswa pendiam dari kelas James. Tiga mahasiswa, dua laki-laki dan satu perempuan, sedang membullynya.

“Makan makanan murah dari kantin? Ayolah, hargai dirimu sedikit,” salah satu pembuli mencibir.

“Ayolah, Bravy, kami hanya menemanimu,” tambah si perempuan sambil menyeringai. “Siapa lagi yang mau duduk denganmu, huh? Harusnya kau berterima kasih pada kami.”

Bravy bergumam, “Tinggalkan aku saja.”

Di meja lain, Alicia sedang tertawa bersama teman-temannya. James sempat melirik dan mengirim pesan singkat. Alicia mengecek ponselnya dan tersenyum.

Namun James tidak menuju tempat biasanya, juga tidak mengambil kopi hitam andalannya.

Sebaliknya, dia berjalan ke meja makanan dan mengambil satu nampan makan murah lalu menuangkan nasi, kari, dan sedikit sayuran.

Kemudian, dia berjalan ke meja Bravy.

Para pembully terdiam di tengah tawa mereka.

James menarik kursi dan duduk. Dia meletakkan nampan, menunduk sejenak, lalu perlahan mengangkat wajah.

Sebelum para pembully sempat bereaksi, kursi lain bergeser. Alicia duduk di sampingnya.

Lalu Jenny dan Grace menyusul.

Bravy menatap dengan mata tidak percaya.

Kafetaria menjadi sedikit lebih hening, beberapa mahasiswa melirik ke arah mereka.

James mengambil sendoknya, mengaduk makanan pelan.

“Kalau mau duduk, duduk diam-diam.” katanya dengan tegas.

Dia mengangkat pandangannya, menatap mereka satu per satu. “Aku tidak suka ada yang menggangguku... saat aku sedang makan.”

Para pembully menggerutu pelan, lalu pergi.

Bravy menunduk pada makanannya, masih tidak yakin apa yang baru saja terjadi.

James mengambil sesuap nasi. “Makanlah,” katanya pelan. “Tidak baik membuang makanan.”

Bravy pun mengangguk.

Alicia mendekat sedikit sambil tersenyum miring. “Barusan sangat keren, James.”

James mengangkat bahu. “Aku hanya membenci kebisingan saat makan siang.”

Bravy melirik meja itu, lalu berkata dengan ragu-ragu, “Terima kasih... semuanya, kalian tidak harus melakukan ini. Sekarang mereka akan menargetkan kalian... gara-gara aku.”

Jenny terkekeh ringan.

Grace menyeringai nakal. “Apakah mereka bisa melakukan itu? Bravy, kau sadar tidak kenapa mereka pergi begitu saja?”

Bravy mengedipkan mata dengan bingung.

“Mereka bukan pergi karena kami, mereka pergi karena dia yang duduk.” lanjut Grace sambil menunjuk ke arah James.

“Kau terlihat tidak baik, Bravy,” kata James, “Apakah ada yang mengganggumu? Pasti bukan hanya tentang dibully...”

Bravy ragu-ragu, lalu menjawab, “Sebenarnya... ini tentang ayahku, ayahku seorang tentara dan saat ini sedang bertugas di perbatasan.”

“Kami terakhir berbicara dua minggu lalu... Dia mengatakan akan ikut operasi. Sejak saat itu, tidak ada kabar lagi tentangnya. Kami berusaha menghubungi, tapi pihak berwenang mengatakan itu rahasia. Mereka bahkan tidak mau mengatakan apakah dia baik-baik saja.”

“Aku tidak peduli makan sendirian,” lanjut Bravy. “Aku hanya... aku hanya khawatir dengan ibuku. Dia tidak makan dengan benar, jarang berbicara dan terus-terusan menatap ponsel.”

Hening sejenak, lalu James bicara. “Aku mengerti, Bravy.”

“Operasi bisa rahasia karena alasan. Kadang-kadang mereka berada di zona berbahaya. Kadang-kadang juga mereka tidak diizinkan berbicara, bahkan pada keluarga. Itu prosedur standar.”

Dia menatap Bravy. “Ayahmu sedang melakukan hal penting. Sesuatu yang mungkin tidak bisa ia ceritakan. Itulah harga melindungi negara. Kau harus bangga padanya.”

Bibir Bravy bergetar sedikit. “Terima kasih, James... Tapi aku bukan takut untuk diriku. Aku takut untuk ibuku. Dia tidak kuat.”

“Kita akan mencari solusi,” kata James. “Tenang saja kau tidak sendirian.”

James mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya terdengar rendah “Apakah ibumu akan tenang... kalau mendengar suara ayahmu? Meski sebentar saja?”

Bravy mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”

James menatapnya sambil bertanya “Siapa nama ayahmu?”

Bravy ragu sejenak, lalu menjawab, “Kapten Ruben, Batalyon 17, Sektor Utara.”

Alicia yang memperhatikan James dengan penasaran sambil tersenyum kecil. “Telepon. Itu saja yang dia butuhkan.”

James mengambil ponsel hitam rampingnya dan berdiri. Dengan gerakan cepat, dia mengetikkan sebuah kode khusus.

 

Pangkalan Keamanan Perbatasan – Perbatasan Utara

Seorang prajurit muda di pos komunikasi langsung membeku.

“P-Pak, kami menerima sinyal prioritas... Tidak bisa dilacak.”

Sersan yang mengawasi mengerutkan kening. “Minta autentikasi. Nomor tag.”

Kembali ke kafetaria, James mengangkat ponsel ke telinganya.

"Ini pangkalan keamanan perbatasan," suara operator terdengar. "Karena ini saluran prioritas tinggi, mohon verifikasi identitas Anda. Nomor tanda tentara provinsi?"

Jawab James dengan tegas. "77777."

Bravy dan yang lainnya memperhatikan. Jenny berbisik, "Itu lima angka tujuh... Apa yang sedang dia lakukan?"

Operator memasukkan nomornya.

Tiba-tiba, layar berkedip merah—peringatan kontrol darurat.

Sersan bergegas mendekat lalu melihat kode tanda tersebut, dan langsung merebut headset.

"Hubungkan sekarang!"

Dia menarik napas dalam-dalam. "Selamat siang, Jenderal. Ini Sersan West. Ada yang bisa kami bantu, Jenderal?"

 

James langsung ke inti. "Aku mencari Kapten Ruben. Apakah dia sedang bertugas?"

"Ya, Jenderal. Dia dan timnya akan kembali minggu depan. Mereka saat ini sedang ditugaskan dalam misi penjagaan dan pengawasan rahasia."

James mengangguk. "Aku perlu berbicara dengannya. Tanpa mengganggu operasi."

"Dimengerti. Kami bisa mengalihkan ke saluran komunikasi aman. Tidak ada perangkat pribadi yang diizinkan di lokasi—kau tahu protokolnya."

"Aku tahu. Siapkan salurannya. Dua menit. Aku tunggu."

"Baik, Jenderal."

 

James kembali ke meja, lalu dia menyodorkan ponselnya pada Bravy. "Hubungi ibumu. Dalam dua menit, dia bisa bicara dengan ayahmu."

Bravy menatapnya, terkejut. "A-Apa...? Benarkah?"

Alicia tersenyum hangat. "Ayo, Bravy."

Tangan Bravy sedikit gemetar saat dia menekan nomor. "B-Bu... angkat... Halo? Iya, ini aku. Aku masih di kampus, tapi—dengarkan aku dulu... seseorang ingin menghubungkanmu dengan Ayah... Ya, Ayah... tunggu sebentar..."

James berdiri di dekatnya, tangan terlipat, lalu mengamatinya. Di belakangnya, Alicia, Grace, dan Jenny saling bertukar pandang.

Grace berbisik, "Dia baru saja membuat sambungan rahasia lintas perbatasan... saat jam makan siang..."

Jenny menyeringai. "Aku tidak akan bolos kafetaria lagi."

Sambungan terhubung.

Bravy mendekatkan ponsel, suaranya bergetar karena tidak percaya. "Ayah...? Benarkah ini kau Ayah?"

Di ujung sana, suara Kapten Ruben terdengar.

"Bravy... nak, apakah benar ini kau? Apakah ibumu ada juga disana?"

Bravy menyodorkan ponsel pada ibunya di sambungan lain. Dalam hitungan detik, terdengar suara tawa dan tangis bercampur dari sang ibu.

"Aku sudah mengatakan pasti Ayah baik-baik saja, Bu..."

Lalu air mata menggenang di mata Bravy saat dia duduk di tepi meja.

 

Sementara itu, di meja, Alicia menyipitkan mata melihat nampan James dan mencondongkan tubuh.

"Tunggu sebentar... itu jamur teman, kan?"

James mengangkat alis. "Apa lagi itu?"

Alicia menunjuk dramatis. "Benda kecil goreng bermata itu. Itu jamur teman. Dia memiliki perasaan, James. Kau serius mau memakannya?"

James memasang wajah datar. "Dia menatapku dengan cara yang salah. Dia tahu resikonya saat dia melompat ke penggorengan."

Sebelum dia mengambil sendok, Alicia merebut piringnya.

"Berikan. Kau sudah melakukan cukup banyak kejahatan hari ini, biarkan yang satu ini hidup."

James tertawa kecil. "Aku akan melapor pencurian nampan."

Jenny mendekat. "Hati-hati, Alicia. Jamur itu mungkin memiliki kisah tragis. Seperti... dia melihat seluruh keluarga jamurnya ditumis di depan matanya."

Grace menambahkan sambil menyeringai, "Sekarang dia akan dimakan oleh orang kaya yang manja. Pengkhianatan tingkat tinggi."

Alicia terkejut. "Aku tidak manja!"

James mengangguk pura-pura serius. "Tentu saja tidak. Kau hanya memiliki kediaman mewah, seorang pengawal, tiga anjing bernama dewa Yunani, dan dua belas rutinitas perawatan kulit."

Jenny menepuk tangan. "Drama kafetaria ini lebih seru daripada TV."

Mereka semua tertawa ketika Bravy kembali ke meja, mengusap matanya.

Dia menatap James. "Terima kasih... Aku tidak tahu bagaimana kau melakukannya. Tapi ibuku—dia menangis. Dia sangat bahagia sekarang. Jauh lebih tenang. Aku sudah lama tidak melihatnya tersenyum seperti itu."

James tersenyum dan mengangguk. "Tidak apa-apa, Bravy. Aku hanya senang ibumu baik-baik saja."

Bravy duduk kembali, lalu ponsel James bergetar.

Dia melihat layar: "Paman Alexander"

Alicia, yang masih memegang nampan hasil rampasan, langsung melihat nama itu.

"Hmm... kenapa ayahku meneleponmu?" godanya sambil mengangkat alis.

Jenny dan Grace menyeringai.

"Oooh," Jenny mendekat. "Ternyata kalian sudah sejauh itu? Sudah bertemu dengan calon mertua rupanya?"

"Sepertinya pertemuannya sukses," tambah Grace, "sampai-sampai dia menelpon untuk undangan kedua."

James memutar mata tapi tersenyum kecil sambil menjawab panggilan. "Halo, Paman Alexander."

Suara Alexander terdengar santai. "James, besok malam akan ada acara amal di The Apex Ballroom. Ini untuk para pengusaha muda dan calon pemimpin dan itu sangat cocok denganmu. Kenapa kau tidak pergi bersama Alicia? Kesempatan bagus untuk bertemu orang-orang penting."

James mengerjap. "Besok malam? Kedengarannya menarik."

Alexander melanjutkan, "Alicia ada di dekatmu sekarang?"

James melirik ke arahnya, yang sedang minum kopi. "Ya, dia ada di sini. Perlu aku berikan ponselnya?"

Alexander: "Tolong."

James menyodorkan ponsel. "Yang Mulia, Raja memanggilmu."

Alicia memutar mata sambil tersenyum, lalu mengambil ponsel. "Hai, ya, aku di sini. Uh-huh. Ya, aku akan pergi. Tidak, aku tidak akan menggunakan gaun merah muda itu. Ya, aku akan mengajak dia—dia lebih bertanggung jawab dari yang kau kira... Oke, oke, love you too."

Dia memberikan ponsel kembali dengan senyum lembut. "Baiklah, Tuan Brooks, sepertinya kau akan menjadi pendampingku besok."

James membungkuk pura-pura. "Aku merasa terhormat, Nona Remington."

Grace menyeringai. "Ini mulai romantis."

Jenny tertawa. "Kalau kalian berdansa pelan di acara itu, aku akan merekamnya."

Alicia menyeringai. "Asal kalian berdua jangan menangis kalau kami tampil paling bersinar."

James menyandarkan tubuh. "Aku tidak akan menggunakan tuxedo."

"Oh yaa?? Kau pasti akan menggunakannya." Balas Alicia

"Kita lihat saja nanti." jawab James menantang.

Jangan lupa terus like dan komen di setiap bab ya!

1
Zandri Saekoko
author
kapan lanjutan sistem kekayaan itu author tiap hari saya liht tapi blm ada lanjutan
Rocky
Ternyata ini misi terakhir secara tersirat yang dimaksudkan Sang Komandan..
Zandri Saekoko
mantap author
lanjutkan
Zandri Saekoko
mantap author
king polo
up
king polo
update Thor
king polo
up
king polo
update
july
up
july
update
Afifah Ghaliyati
up
Afifah Ghaliyati
lanjutt thorr semakin penasaran nihh
eva
lanjut thor
eva
up
2IB02_Octavianus wisang widagdo
upp lagi broo💪
Zandri Saekoko
lanjut thor
Wulan Sari
lanjut Thor semangat 💪👍❤️🙂🙏
Coffemilk
up
Coffemilk
seruu
sarjanahukum
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!